Seorang penembak jitu tewas kerena usia tua,dia mendapatkan dirinya bereinkarnasi kedunia sihir dan pedang sebagai anak terlantar, dan saat dia mengetahui bahwa dunia yang dia tinggali tersebut dipenuhi para penguasa kotor/korup membuat dia bertujuan untuk mengeksekusi para penguasa itu satu demi satu. Dan akan dikenal sebagai EXONE(executor one) / (executor utama) yang hanya mengeksekusi para penguasa korup bahkan raja pun dieksekusi... Dia dan rekannya merevolusi dunia.
Silahkan beri support dan masukan,pendapat dan saran anda sangat bermanfaat bagi saya.
~Terimakasih~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aegis zero, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
new friends
“Baiklah. Kita akan keluar dari tempat menyeramkan ini,” ujar Arya dengan suara tenang namun penuh ketegasan.
“Baik,” jawab mereka serempak.
“Gamma, bisa bungkus jenazah tiga wanita ini dengan benangmu?” Arya menyerahkan selembar kain padanya. “Gunakan ini juga.”
“Siap, bro arya!” seru Gamma. Ia segera berlutut, jemari kecilnya yang cekatan mulai memintal benang dan membungkus tubuh-tubuh yang telah dingin itu dengan penuh kehati-hatian.
Tak lama kemudian, ia berdiri. “Selesai, bro.”
“Terima kasih.” Arya mengangkat salah satu dari jenazah itu. “Dina, Venus, bisakah kalian bawa dua sisanya?”
“Baiklah,” jawab keduanya tanpa ragu.
Arya menoleh pada para tahanan yang kini berdiri terpaku. “Ayo semuanya. Ikuti kami.”
Mereka pun melangkah keluar dari mansion itu tempat di mana mimpi buruk tak lagi mengendap, melainkan telah mengalir bersama darah yang belum sempat mengering.
Begitu melihat lantai 1 langkah para tahanan terhenti. Dunia seolah membeku sesaat.
Potongan tubuh berserakan di lantai, layaknya daging di meja jagal. Darah melukis dinding dan mengering di sela-sela karpet.
Namun tak satu pun dari mereka menjerit. Tak satu pun memuntahkan isi perut.
Tak ada simpati dalam wajah-wajah itu.
Sebaliknya, mata mereka yang hampa menatap pemandangan mengerikan itu dengan tenang seolah berkata, 'Sudah biasa'.
Mereka telah melihat lebih buruk. Mereka telah merasakan yang lebih kelam. Dan kini... mereka hanya ingin berjalan menuju cahaya, walaupun cahaya itu masih bernoda merah.
Beberapa korban akhirnya dipulangkan bagi mereka yang masih memiliki keluarga dan tempat untuk kembali.
Tangis pun pecah, bukan karena kesedihan, tetapi karena kebahagiaan yang tak mampu ditampung.
Para orang tua memeluk anak-anak mereka sambil mengucap terima kasih tanpa henti kepada kelompok Arya.
Namun di antara kerumunan itu, dua anak berdiri diam. Tatapan kosong, tubuh gemetar.
Arya menoleh pada mereka. “Kalian... tidak punya tempat untuk pulang?” tanyanya pelan.
“T-Tidak... orang tuaku sudah meninggal,” jawab anak laki-laki dengan suara lemah.
“Orang tuaku juga...” ucap gadis kecil di sebelahnya, menunduk.
Gamma menatap Arya penuh harap. “Big bro, jadi... bagaimana?”
“Kirim mereka ke kota lain? Sepertinya cocok jika ke Kerajaan Belmera yang sekarang sudah damai,” usul Venus.
“Tapi... apa trauma mereka bisa sembuh di tempat asing?” Dina terlihat bimbang.
Arya menarik napas dalam, lalu menatap kedua anak itu. “Maukah kalian ikut bersama kami?”
Keduanya terkejut. “Eh?!”
“Aku melihat... kalian berbakat,” ujar Arya sambil berlutut di hadapan mereka. Tatapannya lembut, namun tegas.
“Ba-Bakat?!” Mereka menatapnya dengan bingung.
“Serius, Ar?!” Dina nyaris tak percaya.
“Ya. Tapi... sebelumnya, boleh aku tahu nama kalian?” Arya tersenyum kecil. “Kita pindah dulu dari sini.”
mereka berpindah ke hutan sebelumnya dengan jalan kaki, karena raius dan yui belum bisa sihir.
Sesampainya dihutan.
arya menatap raius dan yui. "jadi, nama kalian siapa? Dan berapa umur kalian?" tanya arya pelan menatap mata mereka.
“Namaku Raius... sepuluh tahun,” jawab anak laki-laki itu gugup.
“Na-Namaku Yui! Sepuluh tahun juga!” ucap si gadis dengan nada gugup pula.
“Salam kenal. Namaku Arya,” ucapnya memperkenalkan diri sambil menunjuk rekan-rekannya. “Wanita cantik berambut biru itu Dina, yang berambut emas itu Gamma, dan yang berambut ungu serta tampak... mencurigakan, itu Venus.”
“Salam kenal,” sapa Gamma dan Dina ramah.
“Sa-salam kenal...” jawab keduanya gugup.
“Hei, Nak! Bir, dong! Aku mau minum!” sela Venus tiba-tiba sambil menggeliat malas.
“Iya, nih.” Arya mengeluarkan dua botol dari penyimpanannya. “Jangan ganggu dulu. Sana.”
“Makasih, Nak!” Venus berlalu dengan ceria.
“Aku juga mau makan, Ar!” rengek Dina sambil mengusap perutnya.
“Iya, ini,” sahut Arya sambil menyerahkan makanan dari penyimpanan sihirnya.
“Thanks!” Dina pun pergi sambil bersenandung.
“bro arya, keluarin kendaraannya dong! Aku mau tiduran!” pinta Gamma sambil meregangkan tubuh.
“Iya, iya...” Arya kembali membuka penyimpanannya dan mengeluarkan kendaraan.
"Makasih bro arya!" Gamma mulai masuk.
Raius dan Yui hanya bisa berdiri terpaku.
“…Apa mereka selalu seperti ini?” bisik Raius pada Yui.
Yui mengangguk pelan. “…Kayaknya hidup kita bakal lebih aneh mulai sekarang.”
“Apa yang kalian tunggu? Masuklah.”
Nada suara Arya lembut namun jelas, seolah menyambut dua jiwa yang telah terlalu lama berada dalam kegelapan.
“B-Boleh?” tanya mereka hampir bersamaan, suaranya menggantung penuh keraguan.
Arya mengangguk, senyumnya menenangkan. “Tentu. Kita akan lebih nyaman bicara di dalam.”
Keduanya melangkah perlahan, seolah masih tak percaya bahwa dunia di balik pintu itu benar-benar bisa menerima mereka. “Permisi...” bisik mereka pelan, hampir tak terdengar.
Saat itulah Gamma, dengan semangat khas anak-anak, menggandeng tangan Yui.
“Ayo masuk! Kita sekarang teman!” serunya ceria, seolah itu adalah hal paling wajar di dunia.
Yui menoleh, terkejut. “T-Teman?”
Suara kecilnya bergetar, seakan kata itu terlalu asing untuk diucapkan.
Gamma hanya memiringkan kepala sambil tersenyum lebar, lalu menoleh ke Arya. “Kita teman sekarang, kan, Bro Arya?!”
Tatapan Arya melembut. Ia melihat dua anak itu seperti cermin masa lalu Gamma penuh luka, namun masih memiliki cahaya.
“Iya,” jawabnya. “Kalian adalah teman.”
Di dalam hatinya, ia menambahkan, “Akhirnya... Gamma punya teman seumurannya.”
“Yay! Tuh, kan!” Gamma langsung menarik tangan Yui masuk ke dalam kendaraan dengan semangat membara.
Arya kemudian menoleh pada Raius, yang masih berdiri mematung di ambang pintu.
“Kamu juga, Raius. Silakan masuk.”
Anak lelaki itu menunduk dalam-dalam. “T-Terima kasih banyak...”
Langkahnya ragu, tapi penuh harap.
Di dalam ruang tamu kendaraan sihir itu, suasana terasa hangat jauh dari dinginnya dinding-dinding tempat mereka diselamatkan. Arya berdiri di tengah, memandang satu per satu wajah yang kini menjadi bagian dari hidupnya.
“Baiklah. Semua sudah berkumpul, kan?”
“Sudah!” jawab mereka serempak, suara mereka bergema kecil di dalam kabin.
Arya mengangguk. Ia menarik napas dalam, lalu mulai bicara.
“Pertama-tama, aku ingin kalian tahu alasan kami ada di sini. Tujuan kami sederhana: menumbangkan para penguasa korup. Bahkan jika itu berarti menghadapi raja sendiri... maka ia pun harus tumbang.”
Raius mengangkat kepala, matanya penuh kebingungan. “Tapi... kenapa kami dibawa serta?”
“Karena kalian memiliki bakat.”
Arya menyampaikan itu tanpa keraguan, seolah keyakinannya sudah tertulis di bintang-bintang.
“Bakat?” gumam Raius. “Kalau kami punya bakat... kenapa orang tua kami harus mati? Kenapa kami harus menderita?”
Suaranya pecah, tubuhnya mulai bergetar.
Arya mendekat dan menunduk sejajar dengannya. “Karena bakat... bukanlah jaminan keselamatan. Tapi jika dilatih, jika diarahkan bakat bisa menjadi kekuatan. Kekuatan untuk melindungi.”
Ia menyentuh bahu Raius dengan lembut. “Bakatmu adalah Penghalang.”
“P-Penghalang?” wajah Raius terlihat bingung.
“Apa itu, Bro Arya?” tanya Gamma, ikut penasaran.
“Seperti namanya kekuatan untuk menciptakan penghalang. Ia dapat melindungi dari serangan fisik maupun sihir. Kemampuan langka yang bisa menyelamatkan banyak nyawa.”
Tiba-tiba, Venus muncul dari balik pintu kamar, berjalan oleng sambil memegang botol. “Hoo~ Penghalang ya? Langka banget itu... Bahkan Seven Eclipse aja lebih suka nyerang daripada bertahan.”
Ia lalu tertawa kecil sebelum kembali menghilang ke kamarnya.
“Kalau pun aku benar-benar punya kekuatan itu... aku tetap tak bisa menyelamatkan orang tuaku...”
Raius menunduk, air matanya jatuh tanpa suara.
Arya mengusap kepalanya pelan. “Itulah kenapa kau harus belajar. Kita akan melatihmu... agar tak ada lagi orang yang kehilangan seperti yang kau alami.”
Kemudian ia menatap Yui.
“Kau juga, Yui. Bakatmu adalah Penyembuhan.”
Yui terbelalak. “Apa...?! Tapi kalau aku benar punya kemampuan itu... kenapa aku tak bisa menyelamatkan mereka...? Orang tuaku... mereka hanya butuh ditolong... saat itu...”
Suaranya retak. Air matanya tumpah, mengalir perlahan seperti luka lama yang akhirnya terbuka.
“Yui-chan...”
Gamma memeluknya erat, tangan kecilnya mencoba menyampaikan kehangatan yang selama ini mereka berdua rindukan.
Dina berjalan mendekat, membisik pelan.
“Ar... benarkah mereka punya bakat itu? Itu kemampuan langka. Rasanya menyakitkan melihat mereka baru tahu setelah semuanya terlambat.”
Arya menatap langit-langit kendaraan sejenak, lalu tersenyum tipis.
“Aku tahu ini menyakitkan, tapi... begitulah kenyataannya. Bakat kadang baru muncul saat kita berada di ambang putus asa. Sama seperti Gamma.”
Gamma menoleh dengan mata bersinar.
“Iya...” katanya pelan. “Aku dulu juga kecewa. Tapi akhirnya aku mengerti. Bakatku untuk menghilang... bukan untuk kabur, tapi untuk menyelamatkan.”
Arya kembali menatap dua anak itu.
“Sekarang aku ingin tahu... apa kalian mau percaya padaku? Bergabung bersama kami?”
Raius menggigit bibirnya, lalu bertanya dengan suara lirih. “Kalau kami ikut... apa yang bisa kami lakukan?"
Senyum Arya kembali muncul. “Pertanyaan bagus. Yui akan menyembuhkan mereka yang terluka—tahanan, teman, siapa pun. Sedangkan kau, Raius, akan menjadi tameng. Pelindung. Kalian akan jadi bagian penting dari tim ini.”
Mata keduanya membulat. Itu pertama kalinya sejak tragedi itu... mereka merasa dibutuhkan. Merasa hidup mereka memiliki arti.
“B-Baiklah... kami... mohon tampung kami...”
Suara mereka pelan, namun penuh tekad.
Arya mengangguk mantap. “Selamat datang. Tapi... sepertinya kita butuh dua kamar lagi.”
“Yui bisa tidur di kamarku!” seru Gamma, langsung mengacungkan tangan.
Arya tertawa kecil. “Tidak, masing-masing dari kalian berhak atas privasi. Aku akan membuat kamar baru.”
Belum sempat ia bergerak, suara rengekan muncul dari arah dapur.
“Ar~ aku lapar! Tambah makanan, dong!” keluh Dina sambil memeluk perut.
“Birku juga habis!” sambung Venus dari kejauhan. “Tolong yaaa!”
Arya menghela napas panjang.
“Tidak! Nanti saat makan malam!”
“Ehhh?! Peliiiit!” seru keduanya kompak.
Arya mengusap wajahnya dengan frustrasi.
“Rasanya seperti jadi ayah dari anak-anak ini...”
Dua jam kemudian, kamar tambahan untuk Yui dan Raius telah berdiri dengan nyaman. Arya bahkan berteleportasi ke beberapa kota untuk membelikan interior dan tempat tidur terbaik yang ia temukan. Ia tahu... ini adalah awal dari rumah baru bagi mereka.
Malam pun berlalu.
Setelah darah, tangis, dan luka yang menghitamkan langit kemarin, kini sinar matahari menyusup perlahan di balik pepohonan. Burung-burung mulai berkicau, dan udara pagi membawa aroma kehidupan yang baru.
Di dalam kendaraan, suara tawa pelan mulai terdengar tawa yang canggung, namun tulus. Tawa dari mereka yang perlahan mulai sembuh.
Raius dan Yui bukan lagi anak-anak yatim piatu tanpa tujuan. Mereka kini adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Dan untuk pertama kalinya sejak kehilangan... mereka mulai percaya bahwa dunia ini masih pantas untuk diperjuangkan.