Vivian Shining seorang gadis dengan aura female lead yang sangat kuat: cantik, baik, pintar dan super positif. Dia tipe sunny girl yang mudah menyentuh hati semua orang yang melihatnya khusunya pria. Bahkan senyuman dan vibe positif nya mampu menyentuh hati sang bos, Nathanael Adrian CEO muda yang dingin dengan penampilan serta wajah yang melampaui aktor drama korea plus kaya raya. Tapi sayangnya Vivian gak sadar dengan perasaan Nathaniel karena Vivi lebih tertarik dengan Zeke Lewis seorang barista dan pemilik coffee shop yang tak jauh dari apartemen Vivi, mantan atlet rugbi dengan postur badan bak gladiator dan wajah yang menyamai dewa dewa yunani, juga suara dalam menggoda yang bisa bikin kaki Vivi lemas sekita saat memanggil namanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon whatdhupbaby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Peperangan Merebutkan Kursi Sopir
Vivian merasakan detak jantungnya berdebar kencang bagai drum di telinganya. Dua pasang mata—satu penuh keyakinan, satu penuh tantangan—tertancap padanya, menunggu sebuah jawaban yang sepertinya mustahil untuk diberikan tanpa menyakiti salah satu pihak.
Perasaannya masih berantakan setelah pengakuan Nathanael, dan sekarang dia dihadapkan pada pilihan yang lebih menegangkan.
' Aku tidak bisa melakukan ini,' Batinnya panik.' Memilih satu berarti menyakiti yang lain, dan aku... aku benci menyakiti perasaan orang.'
Mini-Vivi mengipas kepala Vivian dengan kipas besar berteriak memberi semangat. " KAMU BISA VI!!. TENANG KAN DIRI!! AMBIL NAPAS DALAM DALAM!!"
Seperti yang dikatakan Mimi-Vivi, Vivian menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri yang gemetar. Lalu, dengan suara yang masih terdengar lirih dan tidak pasti, tapi cukup keras untuk didengar keduanya, dia akhirnya berbicara.
"Um... bagaimana kalau..." ujarnya, matanya bolak-balik menatap Noah dan Nathanael, "...kita pergi bersama-sama saja? Semuanya."
Mia yang dari jauh langsung terbatuk-batuk dibuatnya. Nathanael mengernyitkan dahinya. Noah hanya mengangkat satu alisnya, terkejut.
"Lebih ramai... lebih seru, kan?" tambah Vivian dengan cepat, mencoba meyakinkan mereka—dan dirinya sendiri—dengan senyum canggung yang dipaksakan. "Aku kan liburannya tinggal dua hari lagi. Aku ingin... menikmati hari-hari terakhir ini dengan bersenang-senang. Kekebun binatang kan emang asik kalau ramai-ramai."
Alasannya terdengar masuk akal, meski nada suaranya yang goyah menjualnya.
Di atas kepalanya, Mini-Vivi berteriak sekencang-kencangnya terkejut juga gak percaya dengan jawaban Vivian. "BERSAMA-SAMA?! APA KAMU SUDAH GILA, WOMAN?! INI BUKAN ARUNG JERAM, INI BAKALAN JADI MEDAN PERANG! TAPI... OH WELL, AKU TIDAK BERTANGGUNG JAWAB ATAS KONSEKUENSINYA! BRING IT ON!"
Nathanael memandang Vivian dengan tatapan yang dalam, seolah mencoba membaca niat sebenarnya. Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, akhirnya dia menghela napas halus. "Baiklah. Jika itu yang kamu inginkan," ucapnya, suaranya kembali datar, namun ada sedikit nada pasrah.
Noah, di sisi lain, hanya menyeringai lebih lebar. "Why not? Aku selalu suka keramaian," katanya, sikap santainya kembali muncul, meski matanya masih menyimpan percikan persaingan. "Tapi aku tetap nawarin buat nyetir, biar kalian semua bisa menikmati pemandangan."
"Tidak perlu. Aku sudah menyewa mobil yang cukup untuk kita semua," sahut Nathanael dengan cepat, tanpa melihat Noah.
Vivian menghela napas lega yang pendek, meski dia tahu ini bukan solusi, hanya penundaan masalah. Dia baru saja mengundang dua pria yang saling bersaing dalam satu kendaraan menuju kebun binatang. Hari esok dipastikan akan penuh dengan ketegangan, percikan api, dan mungkin... sedikit drama yang (diam-diam) dinantikan oleh Mini-Vivi di kepalanya.
"Oke... oke, baiklah. Jadi besok kita berangkat bersama," ucap Vivian, mencoba menutup pembicaraan sebelum ada lagi yang berkomentar. "Jam sembilan pagi di depan penginapan?."
Kedua pria itu mengangguk kompak, meski tetap tidak saling memandang.
Mia akhirnya mendekat, memandangi Vivian dengan satu alis terangkat. "Kamu sadar kan, kamu baru saja memutuskan untuk menghadiri pemangkasan ketenangan mentalmu sendiri, bukan?" bisiknya hanya untuk didengar Vivian.
Vivian hanya bisa mengedipkan mata penuh kepasrahan. "Aku hanya ingin liburanku yang tersisa ini... damai," jawabnya dengan lemah.
"Damai?" Mia mendengus pelan. "Sayangku, yang akan kita dapat besok bukanlah kedamaian. Itu adalah survival of the fittest."
Dan dengan itu, rencana pergi ke Bali Zoo berubah dari sekadar tamasya menjadi sebuah ekspedisi yang dipenuhi dengan dinamika rumit yang tidak terduga.
_______
Pagi hari yang cerah di depan penginapan Vivian dan Mia. Matahari bersinar, burung-burung berkicau, tapi suasana di darat justru sangat mendung. Sebuah mobil van putih yang masih baru terparkir dengan kedua pintunya terbuka lebar.
Mia berdiri di depan teras penginapan, menatap langit biru tanpa awan. Tapi ekspresinya bukanlah kekaguman. Itu adalah ekspresi seorang yang sedang meratapi nasib.
"Kenapa hidupku harus terseret dalam drama cinta orang..." gumannya lirih pada angin pagi. "Aku cuma mau jadi penonton yang menikmati pertunjukan dengan popcorn, bukan jadi karakter NPC yang kehadirannya cuma buat nambahin jumlah orang di peta!"
Dia memalingkan pandangannya ke samping. Vivian berdiri di sebelahnya dengan wajah muram dan lesu. Pandangannya tertancap ke ujung sepatunya, seolah sedang mencoba menghilang.
Sementara itu, di dekat mobil van, dua sosok pria sedang berdebat dengan suara rendah namun penuh tensi.
"Sebagai bosnya, tanggung jawab ada di pundakku untuk memastikan perjalanannya aman dan nyaman. Aku yang menyetir," ujar Nathanael dengan suara datar namun tegas, tangannya sudah mencengkeram gagang pintu sopir.
Noah tak kalah cepat, dengan gesitnya menyambar kunci mobil dari tangan Nathanael. "Justru sebagai teman lama, aku yang lebih tahu kondisi Vivi. Aku yang akan menyetir." bantah Noah, senyumnya masih ada tapi sudah tidak sekasual biasanya hanya senyuman menantang.
"Aku bisa mengantarmu dengan aman, Vi," kata Nathanael, menatap Vivian.
"Kamu pasti lebih nyaman sama gaya menyetirku,kan, Vi?" sergah Noah, juga mencari persetujuan Vivian.
Vivian hanya bisa mengangkat bahunya lemah, wajahnya memelas hampir menangis. "Aku... aku gak perlu dijaga-jaga amat juga, kok." bisiknya lirih pada Mia, suaranya nyaris tidak terdengar. Dia terjebak di tengah dan jelas tidak nyaman.
Mini-Vivi yang duduk di bahu Vivi berpangku tangan dengan wajah pasrah. " INI PILIHANMU SENDIRI VI, NIKMATI SAJA!!"
Mia melihat wajah hampir menangis Vivian dan melihat kedua pria yang masih adu argumen absurd itu. Emosinya memuncak.
Dengan langkah mantap dan wajah yang geram, Mia melesat ke arah mereka. Tanpa basa-basi, dia menyambar kunci mobil dari genggaman Noah yang sedang lengah.
"AKU YANG AKAN MENYETIR!" teriaknya, suaranya lantang memecah ketegangan.
Noah dan Nathanael terbelalak, sama-sama terkejut dengan intervensi tiba-tiba ini.
Mia menunjuk jari telunjuknya ke arah kursi penumpang di barisan belakang mobil van. "KALIAN BERDUA! DUDUK DI BELAKANG! BIAR VIVI DUDUK DI DEPAN BERSAMAKU! SEKARANG! NO ARGUMENTS!"
Perintahnya begitu keras dan penuh wibawa, membuat kedua pria itu—seorang bos dan seorang pengusaha—hanya bisa terdiam dan mematuhi dengan patuh. Mereka saling melirik dengan rasa tidak suka, tetapi akhirnya berjalan ke arah pintu belakang mobil.
Mia lalu menarik lengan Vivian dengan lembut. "Ayo, Vi. Kamu di depan sama aku. Kita dengar lagu-lagu seru, jauh dari drama mereka."
Vivian akhirnya mengangkat wajahnya, melihat Mia dengan mata penuh rasa syukur dan lega. Senyum kecil akhirnya muncul untuk pertama kalinya pagi itu.
Mia memasukkan kunci ke kontak dan mendengus. "Pria-pria ini... bikin pusing. Lebih ribet dari atur jadwal meeting."
Dia menghidupkan mesin mobil, siap menjadi sopir sekaligus pelindung bagi Vivian dari drama yang diciptakan kedua "lion jantan" di kursi belakang.
Perjalanan ke Bali Zoo dipastikan akan penuh dengan keheningan yang tegang dan tatapan tajam dari kaca spion.
Mobil van sedang meluncur di jalan menuju Bali Zoo. Kursi depan dan belakang dipisahkan oleh suasana yang bagai dua dunia berbeda.
___________