Darah kakaknya masih basah di gaun pestanya saat Zahra dipaksa lenyap.
Melarikan diri dari belati ayahnya sendiri, Zahra membuang identitas ningratnya dan bersembunyi di balik cadar hitam sebagai Fatimah. Di sebuah panti asuhan kumuh, ia menggenggam satu kunci logam bukti tunggal yang mampu meruntuhkan dinasti berdarah Al-Fahri. Namun, Haikal, sang pembunuh berdarah dingin, terus mengendus aromanya di setiap sudut gang.
Di tengah kepungan maut, muncul Arfan pengacara sinis yang hanya percaya pada logika dan bukti. Arfan membenci kebohongan, namun ia justru tertarik pada misteri di balik sepasang mata Fatimah yang penuh luka. Saat masker oksigen keadilan mulai menipis, Fatimah harus memilih: tetap menjadi bayangan yang terjepit, atau membuka cadarnya untuk menghancurkan sang raja di meja hijau.
Satu helai kain menutupi wajahnya, sejuta rahasia mengancam nyawanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Jalan Keluar yang Berbahaya
Jalan keluar yang berbahaya itu nampaknya menjadi satu satunya harapan mereka, meskipun mereka tidak tahu ke mana lorong gelap di bawah tanah itu akan membawa mereka pergi. Fatimah menarik sekuat tenaga sebuah pegangan besi yang tersembunyi di bawah debu tebal, sementara di luar sana, suara deru api mulai melahap dinding kayu rumah tua itu. Hawa panas mulai merayap masuk melalui celah celah dinding, membawa serta bau asap yang menyesakkan dada dan menyiksa paru paru.
"Cepat, Fatimah! Jangan menoleh ke belakang!" perintah Arfan dengan suara yang tertahan akibat rasa sakit di bahunya.
Arfan mendorong tubuhnya yang lemas untuk membantu Fatimah menggeser penutup lubang itu hingga terbuka lebar, menampakkan tangga kayu yang sudah lapuk menuju kegelapan. Di atas mereka, langit langit rumah mulai berderak keras seolah akan segera runtuh menimpa siapa saja yang masih bertahan di dalam ruangan. Pratama Al-Fahri di luar sana terus berteriak, memberikan perintah kepada anak buahnya untuk memastikan tidak ada satu tikus pun yang lolos dari panggangan api tersebut.
"Tuan Arfan, tangga ini nampaknya sudah sangat rapuh, apakah Anda kuat?" tanya Fatimah dengan mata yang mulai perih karena asap.
"Tidak ada pilihan lain, lebih baik jatuh di kegelapan daripada mati terbakar oleh tangan ayahmu sendiri," jawab Arfan sambil mulai menuruni anak tangga pertama dengan hati hati.
Fatimah segera mengikuti di belakang Arfan, menutup kembali pintu rahasia itu dari dalam agar jejak mereka tidak mudah ditemukan jika musuh berhasil masuk ke dalam reruntuhan nanti. Kegelapan total langsung menyergap mereka, hanya menyisakan suara deru api di atas kepala yang perlahan lahan menjauh dan digantikan oleh suara tetesan air. Lorong itu sempit dan lembap, memaksa Arfan harus membungkukkan tubuh tegapnya agar kepalanya tidak terbentur langit langit tanah yang tidak rata.
"Pegang pundakku, Fatimah, jangan sampai kita terpisah di tempat seperti ini," bisik Arfan sambil meraba dinding tanah yang terasa dingin dan licin.
"Baik, Tuan. Saya tepat di belakang Anda," sahut Fatimah sambil mencengkeram kain kemeja Arfan yang masih lembap oleh darah dan keringat.
Mereka berjalan meraba raba di dalam lorong yang nampaknya merupakan saluran pelarian kuno dari zaman perang yang sudah lama terlupakan oleh penduduk sekitar. Setiap langkah mereka menimbulkan suara percikan air yang menggema di dalam kesunyian, menciptakan suasana yang semakin mencekam dan membuat bulu kuduk berdiri. Nafas Fatimah terdengar memburu, rasa takut akan kegelapan dan ruang sempit mulai menyerang mentalnya yang sudah sangat lelah karena kejadian malam ini.
"Tuan Arfan, saya mendengar suara langkah kaki dari arah belakang kita," ucap Fatimah tiba tiba dengan nada yang sangat gemetar.
Arfan segera menghentikan langkahnya, menahan nafas dan mencoba menajamkan pendengarannya untuk memastikan apakah firasat Fatimah benar atau hanya sekadar imajinasi. Benar saja, jauh di belakang sana terdengar suara dentuman keras seolah pintu rahasia tadi telah ditemukan dan dipaksa buka oleh pengejar mereka. Cahaya lampu senter mulai terlihat memantul di dinding lorong yang berkelok, menandakan bahwa anak buah Pratama sudah berhasil masuk ke dalam lubang pelarian mereka.
"Mereka sudah di belakang, kita harus lari sekarang juga!" seru Arfan sambil menarik tangan Fatimah tanpa memedulikan lagi rasa perih di lukanya.
"Tapi kaki saya terasa sangat lemas, Tuan!" tangis Fatimah pecah saat ia nyaris jatuh tersandung akar pohon yang menembus dinding lorong.
"Paksakan, Fatimah! Bayangkan kebebasan yang menantimu jika kita berhasil keluar dari lubang neraka ini," Arfan memberikan dorongan semangat sambil terus memacu langkahnya.
Mereka berlari sekuat tenaga di tengah kegelapan, mengabaikan rasa perih di kaki yang tidak beralas atau kepala yang berkali kali terbentur tonjolan tanah. Di belakang mereka, suara teriakan anak buah Pratama terdengar semakin jelas, memaki maki kegelapan dan memerintahkan untuk segera menangkap Fatimah hidup hidup. Arfan melihat secercah cahaya redup di ujung lorong, sebuah harapan kecil yang nampaknya merupakan lubang keluar menuju pinggiran sungai yang deras.
"Lihat itu! Ada cahaya di depan sana, kita sudah hampir sampai!" teriak Arfan dengan sisa sisa tenaganya yang terakhir.
Namun, saat mereka tinggal beberapa meter lagi dari lubang keluar, tanah di atas mereka tiba tiba bergetar hebat akibat ledakan yang terjadi di permukaan atas. Langit langit lorong mulai runtuh, menjatuhkan bongkahan tanah dan batu besar tepat di antara Arfan dan Fatimah, memisahkan mereka secara paksa. Fatimah terpekik saat melihat tumpukan tanah menutupi jalan kembali ke arah Arfan, sementara para pengejar semakin dekat dari arah belakang yang tertutup runtuhan.
"Tuan Arfan! Tuan, Anda di mana?" teriak Fatimah sambil mencoba menggali tumpukan tanah itu dengan tangan kosongnya.
"Pergi, Fatimah! Jangan pedulikan aku, keluar dari sini sekarang juga dan cari bantuan!" suara Arfan terdengar samar dari balik reruntuhan tanah.
"Tidak! Saya tidak akan meninggalkan Anda sendirian di sini!" Fatimah menangis tersedu sedu, kuku jarinya mulai berdarah karena mencakar tanah yang keras.
"Ini perintah! Jika kamu tertangkap, semua pengorbanan kita akan sia sia, larilah ke arah sungai!" Arfan berteriak lebih keras, mencoba menekan egonya demi keselamatan wanita itu.
Fatimah terpaku, ia mendengar suara tembakan dari arah belakang reruntuhan, menandakan bahwa anak buah ayahnya sedang mencoba menembus sisa sisa celah tanah. Dengan hati yang hancur dan air mata yang terus mengalir, Fatimah akhirnya berdiri dan berlari menuju lubang cahaya di ujung lorong yang ternyata adalah sebuah gorong gorong tua. Ia keluar dari lubang itu dan langsung disambut oleh udara malam yang dingin serta suara gemuruh air sungai yang meluap akibat hujan deras.
"Ya Tuhan, tunjukkanlah jalan untuk hamba-Mu yang lemah ini," doa Fatimah sambil menoleh ke arah hutan gelap di seberang sungai.
Ia harus menyeberangi jembatan kayu yang sudah rapuh di atas sungai itu jika ingin mencapai jalan raya yang menuju ke panti asuhan tempat tinggalnya yang baru. Namun, di ujung jembatan itu, sebuah mobil hitam legam sudah menunggu dengan lampu jauh yang menyilaukan mata, menghalangi satu satunya jalan keluar bagi Fatimah. Seseorang keluar dari mobil tersebut dengan langkah kaki yang angkuh, memegang sebuah foto tua yang menunjukkan wajah asli Fatimah sebelum ia mengenakan cadar hitamnya.
Detektif yang mengintai dari kejauhan itu tersenyum tipis, seolah olah ia telah menemukan mangsa yang selama ini ia cari cari di tengah kekacauan kota.