Untuk membalaskan dendam keluarganya, Swan Xin menanggalkan pedangnya dan mengenakan jubah sutra. Menjadi selir di Istana Naga yang mematikan, misinya jelas: hancurkan mereka yang telah membantai klannya. Namun, di antara tiga pangeran yang berebut takhta, Pangeran Bungsu yang dingin, San Long, terus menghalangi jalannya. Ketika konspirasi kuno meledak menjadi kudeta berdarah, Swan Xin, putri Jendral Xin, yang tewas karena fitnah keji, harus memilih antara amarah masa lalu atau masa depan kekaisaran. Ia menyadari musuh terbesarnya mungkin adalah satu-satunya sekutu yang bisa menyelamatkan mereka semua.
Langkah mana yang akan Swan Xin pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Senyum Serigala Tua.
Senyum yang ditawarkannya terasa lebih dingin daripada cengkeraman adiknya. Swan Xin tidak menerima tangan yang terulur itu. Ia hanya membungkuk sedikit, punggungnya tetap lurus seperti anak panah, sebuah gestur sopan yang mengandung penolakan halus.
“Anda terlalu baik, Yang Mulia,” katanya, suaranya kembali menjadi sutra yang lembut. “Hamba hanya sedikit terkejut tadi. Tidak perlu merepotkan Anda.”
“Repot?” Jiang Long tertawa, menarik kembali tangannya tanpa menunjukkan kekecewaan. Dia melirik ke arah Kasim Li yang masih bersujud. “Kau boleh pergi, Li. Aku sendiri yang akan mengantar Selir Xin.”
“Baik, Yang Mulia! Hamba pamit undur diri!” Kasim Li bangkit dengan tergesa-gesa dan menghilang secepat kilat, seolah baru saja diselamatkan dari kandang harimau.
Jiang Long kini memusatkan seluruh perhatiannya pada Swan. “Tidak merepotkan sama sekali, Nona Xin. Anggap saja ini caraku untuk memastikan tamu paling berharga di istana ini tidak mendapat kesan pertama yang buruk. Jalanan di depan paviliunmu melewati taman bunga kesukaan Ibunda Ratu. Sayang sekali kalo dilewatkan.”
“Kalo begitu, aku akan sangat berterima kasih atas kebaikan Anda,” jawab Swan, tahu bahwa menolak lagi hanya akan menimbulkan kecurigaan.
“Nah, begitu dong,” ujarnya ceria. Ia mulai berjalan perlahan, sengaja menjaga jarak yang sopan namun akrab di samping Swan. “Jadi, jangan terlalu dipikirkan soal San Long tadi, ya. Adikku itu… agak aneh.”
“Aneh, Yang Mulia?” Swan memasang ekspresi penasaran yang polos.
“Dia tidak seburuk kelihatannya, kok,” lanjut Jiang Long dengan nada yang dibuat penuh simpati, seolah sedang membagikan sebuah rahasia. “Hanya saja, tragedi yang menimpa Ibundanya bertahun-tahun lalu benar-benar mengubahnya. Sejak saat itu dia jadi sangat kaku, terobsesi pada aturan-aturan kuno. Seolah-olah kalo semua orang mengikuti protokol, gak akan ada hal buruk yang terjadi lagi. Kasihan, sih, sebenarnya.”
Setiap kata adalah tusukan jarum yang dilapisi madu. Dia tidak hanya menghina San Long, dia juga memancing informasi tentang sejauh mana pengetahuan Swan tentang sejarah kelam istana.
“Saya tidak tahu apa-apa tentang itu,” sahut Swan pelan, matanya menatap lurus ke depan. “Di tempat asalku, kami tidak pernah mendengar gosip istana.”
“Tentu saja,” Jiang Long tersenyum maklum. “Dan memang lebih baik begitu. Tempat ini punya terlalu banyak memori menyakitkan. Aku sendiri lebih suka menatap masa depan.”
Mereka berbelok ke sebuah koridor terbuka yang di satu sisinya adalah dinding berukir dan di sisi lainnya adalah taman yang indah. Aroma bunga melati dan mawar bercampur di udara sore yang hangat.
“Aku dengar Anda cucu dari Guru Besar Wen,” kata Jiang Long, mengubah topik pembicaraan. “Pasti Anda sangat cerdas. Aku selalu mengagumi ajaran-ajaran beliau, terutama soal strategi pemerintahan.”
“Kakek hanya mengajarkanku cara membaca dan menulis puisi,” jawab Swan merendah. “Aku gak begitu paham soal pemerintahan.”
“Beneran?” Jiang Long menatapnya tak percaya. “Dengan tatapan mata setajam itu? Aku kok gak yakin, ya.” Dia terkekeh. “Tapi gak apa-apa. Politik istana memang membosankan untuk wanita secantik Anda. Urusan itu biar kami para pangeran saja yang menangani.”
Serigala tua ini sangat merendahkan wanita. Bagus. Itu akan membuatnya lebih mudah dimanipulasi.
“Anda pasti sangat sibuk,” timpal Swan. “Mengurus begitu banyak hal penting.”
“Ah, gak juga,” jawab Jiang Long, melambaikan tangannya dengan angkuh. “Sebagian besar pekerjaan rutin diurus oleh para menteri. Aku hanya perlu memastikan mereka semua bekerja dengan benar.”
Inilah celahnya.
“Pasti sulit mengawasi semuanya,” kata Swan, nadanya penuh kekaguman palsu. “Misalnya, aku dengar Menteri Su Yang mengurus begitu banyak departemen. Gimana beliau bisa punya waktu untuk melakukan semuanya? Aku bahkan gak bisa membayangkan jadwalnya.”
Jiang Long tampak senang dengan pertanyaan itu, seolah Swan benar-benar tertarik pada kehebatannya dalam mendelegasikan tugas.
“Menteri Su Yang memang pekerja keras,” katanya. “Tapi dia juga rubah tua yang licik. Dia suka bekerja di tempat yang gak biasa. Katanya, dia bisa berpikir lebih jernih.”
“Oh, ya? Di mana biasanya?” tanya Swan seolah itu adalah hal paling menarik di dunia.
“Rahasia, dong,” goda Jiang Long sambil mengedipkan sebelah matanya. “Tapi… karena kamu yang bertanya…” Ia berhenti berjalan, memetik sekuntum bunga gardenia dan menawarkannya pada Swan. “Dia punya kebiasaan aneh. Setiap sore sebelum matahari terbenam, dia selalu menyendiri di paviliun arsip timur. Bukan di ruang kerja utamanya. Dia bilang di sana udaranya lebih sejuk dan gak ada yang mengganggunya meninjau laporan keuangan.”
Swan menerima bunga itu. Jemarinya sengaja menyentuh tangan Jiang Long sesaat. Kontak fisik yang singkat namun cukup untuk membuat senyum sang pangeran semakin lebar.
“Terima kasih, Yang Mulia,” bisik Swan. “Anda sangat baik hati. Dan sangat berpengetahuan luas.”
“Hanya untukmu, Selir Xin,” balas Jiang Long, suaranya sedikit serak. “Istana ini bisa menjadi tempat yang sangat sepi. Aku harap kita bisa sering-sering berbincang seperti ini.”
“Saya juga berharap begitu.” Swan tersenyum manis, membiarkan kebohongan itu menggantung di antara mereka.
Mereka tiba di depan sebuah gerbang kayu indah yang diukir dengan gambar burung phoenix. Di baliknya, terlihat sebuah paviliun yang elegan dan terpencil, dikelilingi oleh rumpun bambu yang bergoyang pelan ditiup angin.
“Nah, ini dia kediamanmu. Paviliun Bunga Peoni,” kata Jiang Long. “Aku sudah pastikan pelayan terbaik yang melayanimu.”
“Sekali lagi, terima kasih atas semua kebaikan Anda, Yang Mulia.” Swan membungkuk sedikit lebih dalam kali ini.
“Kapan saja, Nona Xin. Kapan saja.” Jiang Long menatapnya sekali lagi, matanya menyiratkan janji dan keinginan, sebelum akhirnya berbalik dan pergi dengan langkah puas.
Swan menunggu sampai bayangannya benar-benar lenyap sebelum akhirnya menegakkan tubuhnya. Senyum manis di wajahnya menguap, digantikan oleh ekspresi dingin dan penuh perhitungan. Ia meremukkan bunga gardenia di tangannya, aromanya yang wangi kini terasa memuakkan. Paviliun arsip timur, setiap sore. Informasi pertama telah didapat.
Ia mendorong gerbang itu dan melangkah masuk. Halamannya sunyi dan damai. Seorang pelayan wanita yang lebih tua menyambutnya dengan membungkuk hormat. Swan mengangguk singkat dan berjalan lurus menuju pintu utama paviliunnya. Misinya hari ini sudah selesai. Ia hanya ingin melepaskan lapisan sutra ini dan merasakan kembali sentuhan dingin baju zirahnya.
Saat tangannya hampir menyentuh gagang pintu, ia berhenti. Sesuatu terasa salah. Indranya yang terlatih berteriak waspada. Bukan suara, bukan bau. Tapi sebuah kehadiran. Ia menoleh perlahan ke arah sudut atap teras yang remang-remang, di dekat pilar penyangga.
Di sana, dalam bayang-bayang, sesosok tubuh berdiri diam tak bergerak seperti patung. Pakaiannya hitam legam, menyatu dengan kegelapan. Wajahnya tertutup topeng perak yang sama persis seperti Prajurit Bayangan yang menyelamatkannya bertahun-tahun lalu. Tapi ini bukan orang yang sama. Posturnya berbeda. Lebih tegap. Auranya lebih dingin. Dia tidak sedang bersembunyi. Dia sedang berjaga.
Jantung Swan berdebar kencang. Ia tidak mengenali prajurit ini. Komandan Lei tidak mengatakan apa pun tentang pengawal tambahan. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya. Mata di balik topeng itu menatap lurus ke arahnya, tanpa emosi, tanpa isyarat. Sebuah pertanyaan mengerikan membeku di benaknya. Siapa yang mengirimnya? batinnya bertanya-tanya...
trmkash thor good job👍❤