NovelToon NovelToon
Jangan Salahkan Aku, Ibu

Jangan Salahkan Aku, Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Poligami / Bullying dan Balas Dendam / Hamil di luar nikah / Cintapertama / Mengubah Takdir
Popularitas:300
Nilai: 5
Nama Author: Widhi Labonee

kisah nyata seorang anak baik hati yang dipaksa menjalani hidup diluar keinginannya, hingga merubah nya menjadi anak yang introvert dengan beribu luka hati bahkan dendam yang hanya bisa dia simpan dan rasakan sendirian...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widhi Labonee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehilangan (2)

Keesokan paginya, Riyanti segera memanggil anaknya sebelum dia berangkat ke sekolah. Dipotongnya kuku jari dan kaki Tiwi dengan cepat.

Sebenarnya hatinya teriris melihat bekas luka pukulan penggaris yang meninggalkan jejak memar kebiruan dan sedikit lecet di buku-buku jemari mungil gadis yang disebutnya anak ini.

“Sakit?” tanyanya pada Tiwi.

Anak itu hanya diam membisu. Namun sinar matanya menjawab semua rasa di dadanya. Riyanti merapikan rambut Tiwi, dipandanginya wajah sendu sang putri semata wayangnya ini, kemudian ditariknya ke dalam dekapannya. Sesaat Tiwi kembali merasakan kenyamanan yang selama ini dia rindukan. Tapi mengingat sinar mata tajam milik Ismawan, membuatnya mematikan semua perasaannya lagi. 

“Ya sudah, kamu berangkat dulu sana…ini uang sakumu, jangan lupa ditabung sebagian, hati-hati ya, jangan lari-larian di jalan,” pesan Riyanti kepada anak perempuan itu.

Tiwi mangangguk kecil, kemudian menyalami ibu nya, dan segera berangkat ke sekolah, dia mampir ke halaman depan dimana neneknya sudah menunggunya disana, hanya dia lah yang akan mengiringi keberangkatan sang cucu dengan pandangan mata tuanya sampai Tiwi tidak lagi tampak.

“ Mbak, bareng..!” Seru Budi dan Lili, kedua anak Anik yang sebaya dengannya dan satu sekolahan itu meminta untuk berangkat bersamanya. 

“Ayok!” Tiwi pun mengajak kedua adiknya berjalan beriringan ke sekolah mereka. 

“Kenapa sekarang Mbak Tiwi nggak mau main lagi sama kami, nggak boleh ya sama Bapaknya yang baru itu?” tanya Lili polos.

“Iya, padahal aku kangen kita main kejar-kejaran, mobil-mobilan dan bergurau bersama dengan Lupus, Melki dan Boy seperti dulu..” imbuh Budi yang malah mengingatkan tentang ketiga anabul milik Tiwi yang sudah dibuang Ismawan itu.

Tiwi terdiam, hatinya kembali terasa sakit. Sampai dia tidak melihat jalan dan hampir saja menabrak tiang listrik kalau tangannya tidak ditarik oleh Budi.

“Auhh…” desisnya ketika tangannya tersentuh agak kasar akibat ditarik itu tadi.

“Loh, kenapa tanganmu luka begini mbak?” tanya Budi kaget. Lili ikut melihat punggung tangan tante kecilnya ini yang membiru dan banyak lecet yang agak mengering.

“Kamu dipukul Bapak baru mu itu ya Mbak?” tanya Lili.

Tiwi hanya diam dan segera menarik tangannya yang dilihat dua adik keponakan kecilnya ini.

“Ayo, nanti kita telat!” Katanya sambil berlari kecil menuju gerbang sekolah yang sebentar lagi ditutup itu. Ketiga anak SD itu pun saling balap, dan tertawa bersama ketika bisa sampai tepat sebelum pak penjaga menutup pintu pagar. Ada beberapa anak yang tertinggal di luar. Mereka tetap diizinkan masuk kok, tapi menunggu pak Arman dulu, beliau yang akan membariskan murid yang  telat datang dan memberi beberapa nasihat. Kalau yang sering terlambat akan dihukum berlari memutari lapangan satu kali. Dan untungnya tiga bersaudara itu tidak pernah mengalaminya, hehhehehe …

—--------------

Sepulang sekolah, sebagai anak kelas empat, dia sedikit agak siang dari Budi yang kelas tiga dan Lili yang kelas satu. Jadi Tiwi pulangnya sendirian. Dilihatnya Mbak Darti berdiri di depan pintu rumahnya, seolah sedang menunggu dia lewat. Dan benar saja kan… perempuan seusia beberapa  tahun diatas ibunya itu melambaikan tangannya memanggil dirinya untuk mampir sejenak. Karena Tiwi juga penasaran ada apa, akhirnya dia memutuskan untuk membelokkan langkah kakinya ke rumah tetangga julidnya ini.

“ Ada apa Mbak Dar kok manggil saya?” tanya Tiwi.

“Sini, kamu masuk dulu sini…!”ajak Mbak Dar kepada Tiwi, dan menggandeng tangan anak kecil itu untuk masuk ke dalam rumahnya.

Keduanya duduk kursi di ruang tamu itu. Diatas meja nampak ada stoples berisi kue rangginang yaitu semacam kue kering yang terbuat dariberas ketan yang di jemur kemudian digoreng.

“Eh, Wi, gimana rasanya hidup bareng bapak kandungmu?” tanya Mbak Dar tiba-tiba.

Tiwi mengernyitkan dahinya bingung.

“Bapak kandung itu apa sih Mbak?” tanyanya polos.

“Owalah Wi… bapak kandung itu ya Bapak aseli kamu, bukan Bapak angkat seperti Pak Effendi yang sudah meninggal itu. Pak Ismawan ini bapak aseli kamu. Dia menikah dengan ibumu, kemudian bercerai, dan kamu diambil anak angkat oleh ibu Riyanti itu, dan sekarang karena ibumu sudah janda, makanya dia datang menikahi ibumu agar bisa merawatmu Wi..” terang mbak Dar panjang kali lebar.

Tiwi hanya bisa melongo, mencoba mencerna kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh perempuan di depannya ini. Bapak Asli? Ibu angkat? Anak angkat? Cerai? Lalu ibu asli nya kemana?

“Apa maksudnya mbak? Kalau bu Riyanti itu ibu angkat, trus ibu asli ku dimana? Mengapa aku tidak dibawanya? Mengapa aku diberikan pada orang lain? Apa salahku?”

Mbak Dar, mendekati Tiwi yang sudah berkaca-kaca itu, dibelainya rambut anak kecil itu pelan.

“Kamu itu anak yang paling kecil, kakakmu ada empat, waktu Bapak Ismawan dan ibumu yang bernama Lina cerai, kamu masih bayi usia dua bulan. Dan karena usiamu masih kecil untuk dibawa naik kapal laut jauh ke seberang pulau sana, makanya kamu dititipkan ke Bude Mirah, yang akhirnya diadopsi oleh Pak Effendi menjadi anak dek Riyanti dengannya.”

Tiwi semakin bingung mencerna penjelasan itu. Kepalanya terasa sakit. Ibu Lina? Naik kapal jauh? Menyeberangi lautan? Apa sih ini? Kok seperti film di tivi saja?

“Kasian kamu Ndhuk, dari bayi sudah terpisah dengan ibu kandungmu. Dan disini disia-siakan begini, sampai kurus badanmu. Kalau saja ibumu tau, dia pasti tidak rela melihat anaknya menderita begini…” Ujarnya sembari memegang jemari Tiwi.

“Auhh..” kembali anak perempuan kecil itu mengaduh.

Darti yang kaget tetapi peka itu, segera memeriksa jemari anak itu. Betapa kagetnya ketika didapati luka-luka yang seperti nya masih tergolong baru itu. Matanya melotot, dia langsung mencecar Tiwi dengan banyak pertanyaan.

“Ini kenapa Ndhuk? Kok bisa kayak gini? Kamu dihajar dipukul siapa? Ibumu? Bapakmu? Gurumu? Tiwi! Bilang sama Mbak Dar! Biar mbak laporkan ke polisi, biar ditangkap pelakunya. Sini mbak lihat, apa ada luka lain di tubuhmu?!” Darti segera memeriksa tubuh kurus Tiwi dengan teliti. Dan didapatinya bekas memar agak kebiruan yang mulai menipis di pelipis Tiwi.

“ Ya Tuhan… Tiwi…” satu persatu airmata menetes dipipi gembulnya. Ya, badan mbak Darti itu besar dan gemuk, makanya pipinya gembul alias chubby…

“Cerita Nak… ayo… daripada Mbak Darti ke kantor polisi sekarang dan melaporkan semua yang ada dirumahmu…” bujuknya pada anak perempuan ini.

Tiwi yang ketakutan jika nenek dan ibunya ikut dilaporkan ke polisi, akhirnya menceritakan semua kejadian semalam. Darti yang mendengarnya menjadi geram, dia tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sakit yang diterima oleh anak kecil kurus ini. Sekali lagi dipeluknya Tiwi dengan penuh sayang.

“Yang sabar ya Ndhuk. Mbak Dar akan cari cara untuk menghubungi ibu kandungmu, akan berusaha mencari dimana alamatnya. Mbak gak mau kamu mati sia-sia ditangan orang kejam seperti Ismawan itu. Dari dulu dia memang tidak pernah berubah. Kamu tunggu dulu dengan sabar ya Ndhuk. Mbak Darti pasti akan membantumu…”

Tiwi segera berdiri ketika dilihatnya dia sudah terlalu lama dirumah ini. Dia takut jika dimarahi lagi kalau terlambat pulang sekolah.

“ Mbak aku pulang dulu ya, aku takut dimarahi lagi kalau terlambat pulang, makasih sudah perhatian padaku, tapi tolong, jangan laporkan semua orang di rumahku ke polisi. Biar saja. Aku masih sanggup bertahan kok, aku pamit..”

Anak itu segera berlari secepat kilat keluar dari rumah Darti. Si pemilik rumah hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan menepuk dadanya sendiri pelan…kasian anak itu… gumamnya lirih.

Sementara itu, Tiwi sampai dirumah dengan terengah-engah. Bu Mirah yang ada di dapur sampai terkejut. 

“Ada apa Ndhuk? Kamu dikejar apa? Siapa?”

“Nggak ada apa-apa Mbah. Aku cuma mau segera sampai di rumah, ganti baju, makan, istirahat sebentar, karena aku jam dua harus ke pondok kan?” tanya Tiwi sambil menata nafasnya yang pendek-pendek itu.

Bu Mirah hanya bisa menghela nafas panjang. Anak sepenurut ini, mengapa harus dibentak dan dikasari apalagi dipukul sampai seperti semalam.

“Sini..peluk Mbah dulu..” 

Dan Tiwi pun menghambur memeluk neneknya dengan erat. Bu Mirah masih ingat, bagaimana dia dulu berjuang menyelamatkan bayi merah yang hampir dibuang di sumur oleh sang Bapak. Bayangan pahit itu berkelebat dalam benaknya… dielusnya lembut rambut ikal anak perempuan ini.

“Yang sabar ya… kamu nanti pasti jadi anak hebat dan kuat Ndhuk. Percayalah kata si Mbah ini…” 

Tiwi pun mengangguk mengamini kata-kata sang Nenek. Dia berharap masih kuat menjalani hidup kedepannya yang pasti semakin berat ini. 

'Bapak… kenapa nggak kamu bawa saja aku…meskipun jika benar aku bukan anakmu, tapi bagiku, bapakku hanya kamu…’ batin Tiwi pilu.

...----------------...

Sepulang dari madrasah diniyah, Tiwi berjalan melipir di tepi pagar kebun milik neneknya yang luas yang terletak di belakang rumah mereka juga rumah Anik itu. Tiba-tiba matanya tertuju pada seonggok tubuh, yang ada di bawah semak-semak. Perasaannya tidak enak, sepertinya dia sangat familiar dengan tubuh berbulu lembut itu. Setelah dia mendekat, maka jelaslah jika itu adalah tubuh Lupus, kucing laki-laki nya yang dulu gembul, sekarang tinggal tulang dan kulit, nafasnya sisa satu-satu, dan matanya terpejam rapat. Tiwi masih mengenalinya, karena kalung pengenalnya masih ada di leher anabul malang itu. Segera di gendongnya dan dibawanya lari pulang sembari berteriak.

“Mbaaaaaahhh…. Lupusku Mbah!! Ketemu! Tapi dia sakit Mbaaaahh!!! Tolong aku Mbaaahhh!!!”

Bu Mirah yang masih ada di belakang rumah sedang mengambil kayu bakar untuk menanak nasi buat makan malam itu pun terperanjat kaget melihat keadaan kucing yang sudah mereka rawat sejak lama itu.

“Ya ampun… Lupus, dia sekarat Ndhuk, coba kamu taruh dulu di bawah, biarkan dia bebas, biar bisa bernafas lagi,” titahnya pada Tiwi.

Dengan hati pilu, Tiwi meletakkan anabul kesayangannya itu di atas lantai semen belakang rumah. Tampak nafas Lupus semakin melemah, hingga dengan satu tarikan nafas panjang dia pun pergi….

Tiwi yang menyaksikan itu pun segera berteriak histeris.

“TIDAAAAAKKKK!!! JANGAN TINGGALKAN AKU PUUUSSSS!!! AJAK AKU PUUUSSSS!!!! huwaaaaaa….!!” Tangis Tiwi pecah dengan kerasnya. Sampai Anik dan anak-anaknya keluar dari rumah dan mendekati arah suara Tiwi.

“Lhoooo… Lupus mati…” celetuk Budi pelan.

Lili ikutan berjongkok di depan m*y*t Lupus. Ditepuknya pundak Tiwi yang tengah menangis itu.

“Kita doakan biar Lupus ikut Pakde Fendi ke surga ya mbak…” ujar Lili dengan polosnya.

Tiwi menangis meraung memukuli dirinya sendiri. Dua kali dia kehilangan yang paling dia cintai. Dan itu membuatnya cukup terpukul. Bu Mirah segera mengangkat m*y*t kucing itu, membawanya ke kebun belakang, dengan alat cangkul, dia gali kuburan kecil di bawah pohon coklat, setelah dia masukkan dan timbun dengan tanah, dia beri tanda batu kecil sebagai nisannya.

“Kamu yang tenang ya Pus…” ujarnya pada gundukan kecil itu.

Tiwi, Budi dan Lili yang menyaksikan itu semua menjadi bersedih. Mereka memetik segala macam bunga dan menebarkannya di atas makam kecil itu.

“Ma-maaf-kan a-ku ya Pus, y-yang t-ter-lam-bat me-nemu-kan-mu..hiks..hiks..” ucap Tiwi pelan memegang batu penanda itu. 

Setelah puas menangis, Tiwi pun kembali ke rumahnya. Dia mendapati jika sang Bapak sudah pulang dan sudah mandi serta sedang duduk di ruang keluarga. Tanpa bermaksud menyapanya, Tiwi pun langsung melewatinya menuju ke kamar Neneknya yang ada di seberang ruang keluarga itu. Menaruh tas kecilnya, kemudian naik ke atas kasur dan menelungkupkan badannya sembari menangis terisak-isak.

“ Dia memang sudah tua, sudah waktunya mati. Nggak usah berlebihan menangisi nya. Toh, dia cuma seekor kucing !” Terdengar suara Ismawan dengan nada lumayan keras, dapat Tiwi dengar dengan jelas karena memang pintu kamar neneknya terbuka lebar.

Semakin sakit rasa hati Tiwi. Mungkin bagi yang lainnya, Lupus hanya sekedar seekor kucing. Tapi bagi Tiwi, dia adalah sahabat terbaiknya, yang selalu menemaninya selama ini, sejak dia belajar berjalan, Lupus sudah menemaninya. Jika dia lelah karena bermain, maka Lupus akan naik ke punggungnya dan memijat dengan empat kaki mungilnya. Jika dia sedang sedih maka Lupus akan datang dan memeluknya dengan lembut. Dan masih banyak lagi kenangan bersama anabulnya itu. 

“Sudahi tangismu! Bersiap nanti mengaji bersamaku setelah sholat Maghrib! Karena ulahmu maka hari ini tidak bisa mendaftarkanmu mengaji kitab di Kyai Rusdi. Aku tunggu !” Suara bernada keras dari lelaki yang sangat dibencinya itu terdengar lagi.

Tiwi hanya diam, perlahan dia bangun dan melangkah ke kamar mandi, membasuh wajahnya, mengambil wudhu dan bersiap dengan mukena kecilnya untuk ikut sholat berjamaah kemudian lanjut mengaji.

Tidak ada yang tau, luka demi luka yang digoreskan keadaan kepada gadis kecil itu telah menumbuhkan suatu rasa dendam tanpa disadarinya. Entah kapan dia akan berubah menjadi bom nuklir yang akan meledak dan memusnahkan segala yang ada disekitarnya…

Hm….

...****************...

1
Widhi Labonee
Bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!