Bagaimana jika wanita yang kau nikahi... ternyata bukan manusia?
Arsyan Jalendra, pemuda miskin berusia 25 tahun, tidak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Wulan Sari—wanita cantik misterius yang menolongnya saat nyaris tenggelam di sungai—adalah awal dari takdir yang akan mengubah dua alam.
Wulan sempurna di mata Arsyan: cantik, lembut, berbakti. Tapi ada yang aneh:
Tubuhnya dingin seperti es bahkan di siang terik
Tidak punya bayangan saat terkena matahari
Matanya berubah jadi keemasan setiap malam
Aroma kenanga selalu mengikutinya
Saat Arsyan melamar dan menikahi Wulan, ia tidak tahu bahwa Wulan adalah putri dari Kerajaan Cahaya Rembulan—seorang jin putih yang turun ke dunia manusia karena jatuh cinta pada Arsyan yang pernah menyelamatkan seekor ular putih (wujud asli Wulan) bertahun lalu.
Cinta mereka indah... hingga rahasia terbongkar.
Ratu Kirana, ibunda Wulan, murka besar dan menurunkan "Kutukan 1000 Hari"—setiap hari Arsyan bersama Wulan, nyawanya terkuras hingga mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8: Pengakuan Cinta di Bawah Bulan Purnama
Dua minggu setelah percakapan dengan Kyai Hasan, Arsyan jadi lebih sering mikir.
Mikir banyak. Kadang sampe lupa ngaduk kuah, sampe gosong. Kadang sampe lupa naroh garam, terus pembeli komplain. Bhaskara sampe bilang "Gas, lo kayak zombie—hidup tapi mati."
Dan Bhaskara... nggak salah.
Arsyan emang kayak zombie. Karena pikirannya penuh satu hal: gimana caranya... melamar Wulan?
Melamar. Iya. Melamar.
Arsyan udah mutusin—dia mau nikah sama Wulan. Nggak peduli dia jin, nggak peduli bahaya, nggak peduli dunia bakal bilang dia gila.
Dia cuma tau satu hal: dia nggak mau hidup tanpa Wulan.
Tapi masalahnya... gimana caranya ngelamar cewek yang... bukan manusia?
"Bhas," kata Arsyan suatu sore pas Bhaskara lagi mampir. "Gue mau ngelamar Wulan."
Bhaskara nyaris keselek kopi.
"LO MAU APA?!"
"Ngelamar. Nikah. Gue serius."
"GAS, LO GILA! DIA JIN!"
"Gue tau."
"TERUS LO MASIH MAU NIKAH?!"
"Iya."
Bhaskara natap Arsyan lama. Lalu dia geleng-geleng kepala, tangan ngusap muka. "Gas... gue nggak ngerti lo. Tapi... yaudahlah. Lo udah gede. Lo tanggung jawab sendiri."
"Gue butuh bantuan lo."
"Bantuan apaan?"
"Bantuin gue... nyiapin lamaran. Cincin. Bunga. Yang romantis-romantis gitu deh."
Bhaskara ketawa pahit. "Romantis? Gas, lo mau ngelamar JIN. Bukan cewek SMA."
"Tetep aja. Gue mau bikin spesial."
Bhaskara menghela napas panjang. "Oke. Gue bantuin. Tapi kalau lo mati nanti, jangan salah gue."
"Deal."
Tiga hari kemudian, Arsyan udah siapin semuanya.
Cincin kawin—murah, cuma perak polos, tapi dia ber Polish sampe kinclong. Bunga mawar merah—sepuluh tangkai, beli di toko bunga pinggir jalan. Dan... tempat spesial.
Tepi sungai.
Sungai tempat Wulan pertama kali muncul.
Arsyan siapin semuanya pas sore. Dia taroh tikar lusuh di atas rumput, taroh bunga di samping, cincin di saku celana—jantung dag dig dug nggak karuan.
"Gas, lo yakin?" tanya Dzaki yang ikut bantuin (sambil bawa tasbih, of course).
"Yakin."
"Tapi Gas—"
"Zak, gue udah mutusin. Tolong... doa in gue aja."
Dzaki natap Arsyan lama. Lalu dia senyum tipis. "Oke. Semoga Allah mudahin jalan lo, Gas."
"Amin."
Maghrib turun. Langit jadi ungu kemerahan. Bulan purnama mulai muncul—besar, terang, bikin sungai berkilau.
Dan Wulan... dateng.
Kayak biasa. Tiba-tiba muncul dari arah sungai, jalan pelan, mata berbinar pas liat Arsyan.
"Mas... kenapa di sini?"
Arsyan ngulur tangan. "Sini. Aku mau ngomong sesuatu."
Wulan pegang tangan Arsyan—dingin, tapi lembut—terus mereka duduk di tikar.
Arsyan napasnya nggak teratur. Jantung ngebut. Tangan basah keringetan.
Tenang, Yan. Lo bisa.
"Mbak..." Arsyan menatap Wulan. "Aku... aku mau nanya sesuatu."
"Tanya apa, Mas?"
"Mbak... cinta aku?"
Wulan terdiam. Lalu dia senyum—senyum tulus, hangat. "Cinta. Sangat cinta."
"Mau... mau jadi istriku?"
Hening.
Dunia berhenti.
Angin berhenti bertiup. Suara sungai kayak pause. Bulan bersinar lebih terang.
Wulan menatap Arsyan—mata membulat, mulut terbuka sedikit, nggak percaya.
"Mas... serius?"
Arsyan keluarin cincin dari saku. Tangannya gemetar. "Serius. Aku... aku mau nikah sama Mbak. Aku tau Mbak bukan manusia. Aku tau ini bahaya. Tapi... aku nggak peduli. Aku cuma... aku cuma mau hidup sama Mbak."
Wulan menangis.
Nangis keras. Isak-isakan pecah, bahu bergetar hebat, tangan nutup muka.
"Mas... Mas tau nggak... aku bukan manusia biasa. Aku jin. Aku... aku dari kerajaan lain. Kalau Mas nikah sama aku... Mas bisa kenapa-kenapa..."
"Aku nggak peduli."
"Tapi Mas—"
"MBAK." Arsyan pegang tangan Wulan erat. "Aku cinta Mbak. Lebih dari apapun. Lebih dari nyawa. Mau Mbak jin, manusia, atau apapun—aku nggak peduli. Yang aku tau... aku nggak bisa hidup tanpa Mbak."
Wulan menatap Arsyan lama—mata merah, basah, tapi penuh cinta.
"Mas... yakin?"
"Sangat yakin."
Wulan mengangguk pelan. "Aku... aku mau, Mas. Aku mau jadi istri Mas."
Arsyan langsung pasang cincin di jari Wulan—muat pas, kayak emang udah ditakdirkan.
Dan mereka berpelukan.
Pelukan paling erat, paling hangat—meskipun tubuh Wulan dingin.
"Mas..." bisik Wulan di bahu Arsyan. "Terima kasih... udah mau terima aku."
"Terima kasih udah mau sama aku."
Mereka duduk lama di tepi sungai, di bawah bulan purnama yang bersinar terang.
Dua insan—satu manusia, satu jin—yang jatuh cinta.
Cinta yang... bakal ngubah takdir dua alam selamanya.