Diambil dari cerita weton Jawa yang populer, dimana seseorang yang lahir di hari tersebut memiliki keistimewaan di luar nalar.
Penampilannya, sikapnya, serta daya tarik yang tidak dimiliki oleh weton-weton yang lain. Keberuntungan tidak selalu menghampirinya. Ujiannya tak main-main, orang tua dan cinta adalah sosok yang menguras hati dan airmata nya.
Tak cukup sampai di situ, banyaknya tekanan membuat hidupnya terasa mengambang, raganya di dunia, namun sebagian jiwanya seperti mengambang, berkelana entahlah kemana.
Makhluk ghaib tak jauh-jauh darinya, ada yang menyukai, ada juga yang membenci.
Semua itu tidak akan berhenti kecuali Wage sudah dewasa lahir batin, matang dalam segala hal. Dia akan menjadi sosok yang kuat, bahkan makhluk halus pun enggan melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tirakat bersama Ustadz
(Berdzikirlah karena Allah saja, sedulur Wage sebaiknya jangan tirakat.)
Tin!
"Assalamualaikum!"
Wulan yang baru saja selesai mandi itu, mengintip keluar kamar. Tampak di ambang pintu Ratih sudah berbicara dengan seseorang.
"Siapa Buk?" tanya Wulan setelah berganti baju.
"Ada undangan dari ustadz Ilman, katanya ada doa bersama malam ini di musholla." memberikan selembar kertas yang sudah di baca terlebih dahulu oleh Ratih.
"Wulan boleh pergi Buk?" ucap Wulan pelan.
"Boleh, itu 'kan yasinan, bukan pacaran." jawab Ratih.
Wulan pun tersenyum malu-malu. "Ndak ada."
"Ya sudah, makan dulu baru berangkat. Ibu suruh Jaka menemanimu." titah sang ibu kepada Wulan.
Dipikir-pikir, sudah lama tidak mengaji, semenjak kelas dua SMP Wulan merasa sangat sibuk dan berhenti. Sepertinya ini waktu yang tepat pula untuk menanyakan sesuatu hal yang mengganjal di hatinya. Perihal hantu, guna-guna, dan segala macam keanehan yang terjadi.
Sholat Maghrib berlangsung hikmat, dilanjutkan dengan Yasin dan surah-surah penting khusus malam Jum'at. Dan selepas isya barulah makan bersama.
Cukup ramai, Wulan menikmati suasana indah berkumpul dengan orang-orang Soleh ini, jauh lebih damai ketimbang menikmati pemandangan di pantai ketika itu bersama teman-temannya. Malah bawaannya seperti ditemani makhluk tak kasat mata.
Ternyata mencari kedamaian tak perlu jauh, tempatnya adalah rumah ibadah dan teman-teman beriman.
"Ustadz, sebenarnya saya datang juga ada keperluan sendiri. Selain memang ingin berdoa dan rindu tempat ini, ada hal lain yang selama ini mengganggu." kata Wulan.
"Jelaskan saja, Nak." jawab ustadz Ilham, tentu dengan senang hati dia akan mendengarkan, Wulan salah satu muridnya yang pintar mengaji dan bersuara merdu.
Wulan menceritakan segalanya tanpa terkecuali, bahkan lebih terbuka kepada sang ustad ketimbang ibunya sendiri.
"Kalau begitu Wulan dan jaka menginap saja di sini, Joko yang mengabarkan kepada bapakmu bahwa kalian pulangnya besok pagi." kata Ustadz, beruntung ada Jaka meskipun Jaka hanya fokus kepada ponselnya saja. Paling tidak Wulan memiliki wali menginap di rumah ustadz.
"Apakah Wulan sudah siap berhadapan dengan mereka? Ingat mereka itu adalah makhluk rendah yang merupakan suruhan orang. Buat apa di takutkan. Kalau mereka hebat, mereka tidak akan tunduk pada perintah manusia manapun. Bukankah begitu Wulan?"
Wulan pun mengangguk kaku, benar juga kata ustadz, apa yang harus ditakutkan terhadap mereka. hanya saja, mereka terlalu aneh dibandingkan manusia pada umumnya.
"Kamu bisa lebih kuat dari mereka, tapi itu tergantung kamu sendiri Wulan. Kekuatan itu ada di hatimu, jiwamu, dan pikiranmu." Ustadz Ilman. menunjuk Wulan, menegaskan inti ucapannya.
"Bagaimana caranya Ustadz? Mereka sudah mengganggu sejak aku masih kecil. Apakah sebenarnya yang mereka inginkan?"
"Melemahkan mu."
"Tidak, aku tidak mau lemah karena mereka." jawab Wulan cepat.
"Bagus! Malam ini kita sholat malam dan berzikir sebanyak mungkin. Agar hatimu lebih tenang dan tidak ketakutan lagi." kata Ustadz Ilman senang.
"Ah, satu lagi. Kalungmu tidak perlu di pakai Nak. Di lepas saja." titah ustadz Ilman.
Wulan pun terkejut, darimana ustadz tahu dia memakai kalung pelindung yang di berikan Ratih padanya, sedangkan dia memakai mukena.
Malam itu, Wulan tidur bersama istrinya ustadz Ilman, sedangkan Jaka tidur di musholla bersama sang ustad sendiri. Hingga tengah malam kemudian, mereka bangun sesuai rencana untuk melakukan sholat malam bersama.
Sholat pun berlangsung senyap, di depan ada ustadz Ilman, di belakang ada istri dan Wulan. Mereka melanjutkannya dengan doa-doa dan kemudian berzikir bersama-sama.
"Alhamdulillahirobbil 'alamiin."
Hening.
Sang ustad pun penasaran mengapa tak ada ucapan yang sama di belakangnya. Ia pun memutar posisi duduknya menghadap ke belakang.
"Pak!"
Sang istri tegang memandangi Wulan yang tak juga selesai dengan dzikirnya. Bahkan semakin cepat bibirnya mengucapkan dzikir tanpa lelah.
"Astaghfirullah, Wulan!" Ustadz segera berdiri menghampiri Wulan yang sudah kehilangan kendali, wajahnya memucat, bibirnya bergetar seiring dzikirnya yang semakin ngebut.
"Wulan! Sadar Nak! Wulan!" istri ustad Ilman pun menggoyang-goyangkan tubuh Wulan, namun tetap tak merubah posisinya.
"Astaghfirullah! Wulan! Sadarlah!" Ustadz Ilman menepuk pundak Wulan lumayan keras, barulah gadis itu terkejut dan tangannya lunglai melepaskan tasbih yang sudah putus, maniknya berhamburan.
Ustadz pun menggeleng, menatap wajah Wulan yang tampak datar, sejenak yang terlihat bukan lagi wajah polos yang lembut, tapi menggambarkan seorang gadis yang kuat bersorot mata tajam.
"Nak! Kamu baik-baik saja?" tanya sang istri khawatir, menepuk wajah Wulan sambil merangkulnya.
Dia menoleh perlahan, kemudian mengangguk pelan. Dan itu membuat sang istri bergidik ngeri.
Ustadz pun menggeleng, menyodorkan segelas air putih dan meminta Wulan meneguknya. "Kamu terlalu buru-buru."
Tak ada pembahasan apapun meskipun tatapan ustadz Ilman menyimpan sesuatu yang entah. Tapi yang paling penting malam ini Wulan tidur nyenyak hingga pagi.
"Saya pamit pulang Ustadz. Terimakasih banyak, semalam adalah pertama kalinya Wulan tidur nyenyak." kata Wulan, mencium tangan ustadz beserta istrinya bergantian.
"Ya, syukurlah Nak. Tapi...."
Wulan mendongak wajah ustadz muda tersebut.
"Perbanyak sabarmu. Jangan tertipu dengan masa depan, sebenarnya masa depan itu tidak pernah ada. Karena yang dekat itu kematian, yang jauh itu cita-cita. Yang mudah itu berbuat dosa, dan yang paling sulit adalah rukun iman yang kedua."
Seketika bola mata bening Wulan berkaca-kaca.
Usia yang mulai dewasa ini membuatnya mengerti banyak hal, termasuk semua orang di sekelilingnya yang terkadang membuatnya sakit. Tapi, tidak ada pilihan selain hadapi, karena tempat untuk menghindar jelas tidak ada.
"Bu!" Wulan memanggil Ratih yang kini duduk melamun di dapur.
"Ya!" Ratih menoleh putri sulungnya itu, namun raut wajahnya terlihat masam. Entah apa yang dipikirkan Ratih sehingga tatapannya demikian. "Sudah pulang?"
"Sudah Buk." jawab Wulan.
Ratih pun menyodorkan sepiring singkong goreng di hadapan Wulan.
"Bu! Kemarin malam Wulan melihat seseorang menabur tanah kering di halaman samping. Dan ibu tahu itu tanah apa? Itu adalah tanah yang sama dengan yang sering jatuh diatas kelambu Wulan. Kata Mbok Sum, itu tanah kuburan."
Ratih pun terkejut, kemudian dia menatap Wulan dengan serius. "Siapa yang melakukannya?"
"Sepertinya, Bude Yuni."
Ratih tercengang, tapi kemudian ekspresinya berubah biasa. "Oh."
Sungguh jawaban yang membuat Wulan terheran-heran. "Ibu nggak marah?" tanya Wulan penasaran.
Ratih menghela nafas cukup dalam, ia membuang pandangannya ke luar jendela. "Marah, tapi Ndak bisa berbuat apa-apa karena kita tidak punya buktinya." jawab Ratih.
"Buk! Aku melihatnya malam itu, aku juga menemukan sendal jepit, aku sangat yakin sendal itu milik Bude, cuma bude yang suka memberi tanda pada sendal jepitnya karena takut ke tuker!"
"Tapi belum tentu itu bude mu. Biar sikapnya begitu dia itu kakak ku. Masak iya dia mau menyakiti adiknya, keponakannya?" kesal Ratih.
"Buktinya memang itu yang terjadi Buk! Bude yang _"
"Sudah cukup!" Ratih enggan membahasnya.
"Ndak bisa cukup begitu saja Buk! Aku yang di ganggu sejak usia lima tahun. Badanku sakit-sakitan, tidur ku tidak pernah nyenyak, hidupku nyaris seperti orang tak normal! Aku di kucilkan. Ibunya menebar setan! Anaknya menebar kebencian, aku tidak memiliki teman! Apakah ibu tidak berniat membela aku?"
"Sudahlah, mungkin kamu salah faham." Ratih mengakhirinya pembicaraan mereka, meninggalkan Wulan begitu saja.
"Hah!"
Wulan terduduk lemas melihat ibunya yang selalu tak berdaya jika akan berhadapan dengan orang yang suka menindas. Lebih suka pergi ke dukun daripada berhadapan langsung. Bukankah itu sikap pengecut, maka wajar jika Wulan selalu di rendahkan orang.
harus mengalah
g beda jauh watak nya jelek
ibu dan anak perangai nya buruk
kog Sarinah ngaku2
calon istrii arif
semoga bisa memberi pencerahan buat para readers.
pepeleng bagi orang jawa,jangan sembarangan menyebutkan weton atau hari lahir versi jawa kepada siapapun,jika tidak ingin terjadi hal hal diluar nalar dan perkiraan.
tetap eling lan waspada.
berserah pada Allah ta'alla.
tetap semangat dengan karya nya