Ratih yang tidak terima karena anaknya meningal atas kekerasan kembali menuntut balas pada mereka.
Ia menuntut keadilan pada hukum namun tidak di dengar alhasil ia Kembali menganut ilmu hitam, saat para warga kembali mengolok-olok dirinya. Ditambah kematian Rarasati anaknya.
"Hutang nyawa harus dibayar nyawa.." Teriak Ratih dalam kemarahan itu...
Kisah lanjutan Santet Pitung Dino...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom young, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Rarasati
Bude Sukma, dan Ratih saling menoleh saat melihat Santi muntah-muntah badannya sampai merinding, bahkan Sati langsung mengeluh pusing.
Ratih langsung mengelus tengkuk Sati pelan, Bude Sukma bergegas mengambilkan Sati segelas air putih. "Ini diminum dulu Nduk..."
Sati langsung meraih gelas itu dan meminumnya pelan, "Aku sangat mual bu, entah kenapa sejak pagi tadi, bahkan rasanya kepalaku seperti di tusuk-tusuk." Sati memijat keningnya.
Ratih langsung meminta Sati beristirahat, namun entah kenapa fikirannya jadi cemas dan was-was, ia takut kalau dugaannya benar
"Mba, aku kok takut ya, kalau Sati itu hamil." Ratih menyampaikan kegelisahan itu pada Bude Sukma, kebetulan mereka berdua berbincang diluar rumah.
"Hus... kamu ini ngomongnya jangan ngelantur!" Bude Sukma menepuk pundak Ratih.
Ratih merasa jantungnya berdetak lebih cepat, dan mencoba untuk tidak membiarkan kegelisahannya menguasai dirinya. "Aku hanya khawatir, Mba," katanya, dengan suara yang lembut.
Bude Sukma menatap Ratih dengan serius. "Kita harus tunggu hasil tes kehamilan dulu, Tih. Jangan langsung membuat kesimpulan," katanya, dengan suara yang tenang.
Ratih mengangguk, dan mencoba untuk menenangkan dirinya. "Iya, Mba. Aku akan tunggu hasil tes kehamilan dulu."
Bude Sukma memeluk Ratih. "Jangan khawatir, Tih. Kita akan menghadapi ini bersama-sama," katanya, dengan suara yang lembut.
Ratih merasa sedikit lebih tenang, dan mencoba untuk fokus pada Sati yang masih beristirahat di dalam rumah. Ia tidak ingin Sati merasa khawatir, jadi ia mencoba untuk tetap tenang dan kuat.
Niatnya besok, Bude Sukma juga akan memangil dukun bayi dari kampung sebelah, karena biasanya beliau tahu, jaman dahulu wanita dapat tahu mengandung atau tidak biasanya akan di urut oleh dukun beranak.
Tiba-tiba, Sati keluar dari rumah dengan wajah yang pucat. "Bu... aku merasa tidak enak badan," katanya, dengan suara yang lemah.
Ratih langsung berlari ke arah Sati, dan memeluknya. "Aku ada di sini, Nak. Aku akan selalu ada untuk kamu," katanya, dengan suara yang lembut.
Bude Sukma juga berlari ke arah Sati, dan memeluknya bersama-sama dengan Ratih. "Kita akan menghadapi ini bersama-sama, Sati," katanya, dengan suara yang tenang.
Niatnya akan pangil dukun beranak besok, akhirnya Bude Sukma langsung memanggilnya hari ini juga, karena ia juga kasihan melihat Sati yang terus mengeluh pusing dan muntah.
Bude Sukma langsung berjalan ke kampung sebelah untuk memanggil dukun bayi, meninggalkan Ratih dan Sati sendirian di rumah.
Ratih memeluk Sati dengan erat, mencoba untuk menenangkan dan menghiburnya. "Kamu tidak sendirian, Nduk. Ibu ada di sini untuk kamu," katanya, dengan suara yang lembut.
Sati menangis, dan membiarkan dirinya dipeluk oleh ibunya. "Aku tidak tahu apa yang terjadi, Bu. Aku merasa sangat tidak enak badan," katanya, dengan suara yang lemah.
Ratih mencoba untuk menenangkan Sati, sambil mengelus rambutnya pelan, ia ingin menangis namun ini bukanlah waktu yang pas. "Kita akan cari tahu apa yang terjadi, Sati. Jangan khawatir, kita akan menghadapi ini bersama-sama," katanya, dengan suara yang tenang.
Tidak lama kemudian, Bude Sukma kembali dengan dukun bayi. Dukun bayi itu adalah seorang wanita tua yang bijak, dengan mata yang tajam dan senyum yang lembut. "Apa yang terjadi, anakku?" tanyanya, sambil memandang Sati dengan mata yang penuh kasih.
Ratih menjelaskan gejala-gejala Sati, dan dukun bayi itu mengangguk. "Aku akan memeriksa Sati," katanya, sambil mengambil tempat duduk di sebelah Sati.
Dukun bayi itu kemudian memeriksa Sati, sambil membacakan doa-doa dan mengurut perutnya. Setelah beberapa menit, dukun bayi itu membuka mata dan tersenyum. "Kamu hamil, anakku," katanya, dengan suara yang lembut.
Ratih merasa jantungnya berhenti sejenak, dan mencoba untuk menenangkan dirinya. "Apa?!" katanya, dengan suara yang tidak percaya. Ia begitu terkejut.
Dukun bayi itu mengangguk. "Iya, Anakmu hamil. Aku bisa merasakan detak jantung bayi itu," ucap dukun bayi, dengan suara yang tenang.
Ratih seolah terhempas angin topan, ia hampir menangis namun tangisanya itu segera ia tahan.
"Suami anakmu apakah sedang merantau?" Sang dukun bayi bertanya. "Kalau ia tahu, pasti akan sangat senang, karena ini anak pertamanya bukan?" Kata sang dukun bayi, berbinar, beruntung berita Sati di perkosa belum sampai menyebar ke kampung sebelah.
Ratih merasa seperti dunia berputar di sekelilingnya. Ia tidak bisa percaya bahwa Sati, anaknya yang masih muda, hamil. Meskipun jika dikampung menikah muda adalah hal yang lumrah, tapi melihat putrinya yang hamil tampa suami, apalagi di lecehkan oleh orang tidak di kenal, ia merasa seperti gagal sebagai ibu, tidak bisa melindungi anaknya dari kejahatan itu.
Dukun bayi itu terus berbicara, tetapi Ratih tidak bisa mendengarnya. Ia hanya bisa memandang Sati, yang masih duduk di sebelahnya, wajahnya pucat dan mata yang merah karena menangis.
Bude Sukma memeluk Ratih, mencoba untuk menenangkannya. "Tih, kita harus kuat. Kita harus menghadapi ini bersama-sama," katanya, dengan suara yang lembut.
Ratih mengangguk, mencoba untuk menahan air matanya. Ia tahu bahwa ia harus kuat, untuk Sati dan untuk dirinya sendiri.
Dukun bayi itu kemudian berbicara lagi, "Kamu harus menjaga dia, anakku. Ia harus istirahat dan makan makanan yang bergizi. Aku akan memberikan kamu beberapa ramuan untuk membantu anak cantik ini."
Ratih mengangguk, menerima ramuan dari dukun bayi itu. Ia tahu bahwa ia harus melakukan yang terbaik untuk Sati, tidak peduli apa yang terjadi.
Sati kemudian berbicara, suaranya lembut dan penuh air mata. "Bu, aku minta maaf. Aku tidak tahu apa yang terjadi."
Ratih memeluk Sati, mencoba untuk menenangkannya. "Kamu tidak perlu minta maaf, Nduk. Ibu ada di sini untuk kamu. Kita akan menghadapi ini bersama-sama."
Bude Sukma dan dukun bayi itu kemudian meninggalkan rumah, meninggalkan Ratih dan Sati sendirian. Ratih memeluk Sati dengan erat, mencoba untuk menenangkan dan menghiburnya. "Kamu tidak sendirian, Nduk. Ibu ada di sini untuk kamu," katanya, dengan suara yang berulang, lututnya begitu gemetar
Ratih dan Sati duduk bersama di ruang tamu, memandang ke arah yang sama, tetapi pikiran mereka berbeda. Ratih mencoba untuk memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya, sementara Sati masih mencoba untuk menerima kenyataan bahwa ia hamil.
Setelah beberapa saat, Sati berbicara, suaranya lembut dan penuh air mata. "Bu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada aku. Aku masih terlalu muda untuk menjadi ibu." Rintihnya dalam kesunyian.
Ratih memeluk Sati dengan erat, mencoba untuk menenangkannya. "Kamu tidak sendirian, Nduk. Ibu ada di sini untuk kamu. Kita akan menghadapi ini bersama-sama." Apapun yang terjadi, Ratih akan selalu menguatkan Sati.
Sati menangis, membiarkan air matanya mengalir. "Aku tidak tahu Bu, aku benci pada mereka Bu, aku benci!" Sati meronta menangis sejadi-jadinya.
pelan pelan aja berbasa-basi dulu, atau siksa dulu ank buah nya itu, klo mati cpt trlalu enk buat mereka, karena mereka sangat keji sm ankmu loh. 😥