NovelToon NovelToon
Bound By Capital Chains

Bound By Capital Chains

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Obsesi / Percintaan Konglomerat
Popularitas:930
Nilai: 5
Nama Author: hellosi

Ketika takdir bisnis mengikat mereka dalam sebuah pertunangan, keduanya melihatnya sebagai transaksi sempurna, saling memanfaatkan, tanpa melibatkan hati.

Ini adalah fakta bisnis, bukan janji cinta.

​Tapi ikatan strategis itu perlahan berubah menjadi personal. Menciptakan garis tipis antara manipulasi dan ketertarikan yang tak terbantahkan.

***

​"Seharusnya kau tidak kembali," desis Aiden, suaranya lebih berbahaya daripada teriakan.

"Kau datang ke wilayah perang yang aktif. Mengapa?"

​"Aku datang untukmu, Kak."

"Aku tidak bisa membiarkan tunanganku berada dalam kekacauan emosional atau fisik sendirian." Jawab Helena, menatap langsung ke matanya.

​Tiba-tiba, Aiden menarik Helena erat ke tubuhnya.

​"Bodoh," bisik Aiden ke rambutnya, napasnya panas.

"Bodoh, keras kepala, dan bodoh."

​"Ya," bisik Helena, membiarkan dirinya ditahan.

"Aku aset yang tidak patuh."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hellosi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8

Helena, Aiden, dan Reyhan tiba di kediaman Nelson.

Begitu pintu terbuka, mereka disambut bukan dengan formalitas layaknya Aliston, melainkan dengan gelak tawa dan aroma kayu manis.

​Di ruang keluarga, lampu-lampu pohon Natal berkelip lembut.

Fedrick Nelson, tanpa jas dan dasi, tampak santai mengenakan sweater tebal.

Calista, dengan celemek di pinggang, sedang menata piring kue jahe.

​"Aiden! Reyhan! Selamat datang, Nak," sapa Fedrick, menyambut mereka dengan pelukan hangat yang canggung, sebuah gerakan yang sangat asing bagi kedua Aliston bersaudara.

"Terimakasih Paman, Bibi sudah mengundang kami"

​Calista tersenyum lembut, segera mengambilkan dua cangkir mulled wine non-alkohol untuk mereka.

"Helena bilang kalian akan datang untuk merayakan tahun baru bersama."

​Aiden dan Reyhan saling berpandangan. Mereka terbiasa dengan kemewahan, tetapi kehangatan yang tulus seperti ini terasa asing.

​Reyhan, yang lebih sensitif, segera merasa tenang. Dia duduk di sofa, hanya mengamati, membiarkan suasana itu menyelimutinya.

Namun, Aiden berdiri kaku, matanya menyapu ruangan.

Helena menghampirinya, meraih lengan Aiden dan menariknya ke dekat perapian.

"Kak malam ini adalah perayaan, lupakan kalkulasi," kata Helena tersenyum.

"Lupakan Aliston dan Nelson. Jadilah dirimu sendiri." Tambahnya.

Saat makan malam, Fedrick menceritakan kisah-kisah lucu tentang masa lalunya,

​"Kalian tahu," Fedrick memulai, terkekeh.

"Dulu saat aku mengejar Calista, aku sama sekali tidak romantis."

​Calista menyikut lengan Fedrick dengan lembut.

"Berhentilah omong kosongmu itu di depan anak-anak," katanya sambil tersenyum malu.

​"Tidak, ini perlu didengar," balas Fedrick.

"Pertama kali aku mencoba memberinya kejutan, aku memesan bunga mawar besar."

"Aku ingin terlihat cool dan berkelas di depannya. Tapi, saking gugupnya, aku malah salah mengirim alamat! Bunganya terkirim ke rumah tetangga yang sedang ada acara pemakaman!"

​Helena tertawa terbahak-bahak. Aiden dan Reyhan, yang tidak terbiasa dengan humor tulus seperti itu, hanya bisa tersenyum lebar.

​"Bayangkan! Saat aku tahu, aku langsung lari ke rumah Calista tanpa bunga, hanya dengan wajah panik," lanjut Fedrick.

"Aku bilang, 'Calista, aku menyukaimu! aku terlalu bodoh untuk mencari cara yang benar untuk memenangkanmu!'"

​Calista tersenyum penuh kasih.

"Dia tidak memberiku mawar, tapi dia memberiku kejujuran. itu jauh lebih berharga daripada semua bunga di dunia."

Helena tersenyum lembut menatap kedua orang tuanya dengan penuh rasa syukur.

Dia senang melihat cinta tulus keduanya yang mungkin dalam hidupnya adalah sebuah kemustahilan.

Aiden dan Reyhan, yang tidak terbiasa dengan kehangatan seperti itu, hanya bisa tersenyum.

Namun, di balik senyum itu, mereka merasa ada sesuatu yang aneh di hati mereka.

Itu adalah perasaan kehangatan yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya.

Setelah makan malam, Helena mengajak Aiden dan Reyhan ke luar.

Mereka berdiri di teras belakang kediaman Nelson menghadap kebun buah indah milik Helena.

Ketiganya menatap ke langit, melihat kembang api yang meledak meriah.

Reyhan, yang biasanya pendiam, mulai berbicara.

"Aku tidak pernah membayangkan kita bertiga berdiri bersama melihat kembang api di malam tahun baru ini," katanya, suaranya dipenuhi rasa takjub.

"Hidup memang misteri," balas Helena, suaranya lembut.

Helena tersenyum.

"Tapi bukankah ini menyenangkan?" tanyanya kepada kedua pria di sampingnya itu.

Mereka berdua mengangguk, sorot mata mereka menunjukkan bahwa mereka benar-benar menikmati malam itu.

"Kalau begitu, kalian berhutang padaku," ucap Helena bangga.

Senyum geli kedua pria itu terlukis diwajah masing-masing.

"Kau benar-benar tidak mau rugi," kata Aiden,

"Tentu saja," jawab Helena.

"Di masa depan, kalian harus menjadi pendukung Nelson Corporation."

Aiden tersenyum tipis.

Dia tahu, di balik candaan itu, ada sebuah janji yang tulus.

"Hutang dicatat," balas Aiden, suaranya dipenuhi kepastian.

"Tapi Nelson harus memastikan investasiku berharga."

***

Hari pertama setelah liburan tahun baru, suasana di Helios Academy kembali seperti biasa.

Namun, ada yang berbeda dari Aiden. Di matanya, kilatan perhitungan yang biasa terlihat kini memiliki lapisan baru.

Dia kembali menjadi sosok yang dingin dan tak terjangkau, tetapi ada sesuatu yang telah berubah di balik topeng itu, tanpa dia sendiri sadari.

Aiden kembali ke rutinitasnya. Dia duduk di kelasnya, mengabaikan siswa lain, dan fokus pada buku-bukunya.

Aiden memimpin presentasi dengan sempurna, menganalisis data dengan presisi yang mengesankan, dan menjawab pertanyaan guru tanpa keraguan.

Di mata semua orang, dia adalah robot yang sempurna, tidak memiliki emosi maupun empati.

Saat makan siang, Aiden dan Helena bertemu.

Mereka duduk di meja yang sama di kantin, sebuah pemandangan yang kini sudah tidak asing lagi.

Mereka berdua tahu, mereka harus kembali ke peran masing-masing. Mereka adalah pewaris yang sempurna, dan harus bertindak seperti itu.

Setiap ada kesempatan berdua, Helena memanfaatkannya untuk belajar. Dia menanyakan pandangan Aiden tentang sosial, politik, dan ekonomi.

Aiden adalah mentor yang luar biasa, jawabannya selalu melampaui teori.

Di tengah pembicaraan itu, seorang siswi bernama Misa mencoba mengganggu Helena.

Gadis itu dengan sengaja tersandung dan menumpahkan minumannya ke arah Helena, mencoba membuat gadis itu marah di depan Aiden.

​Namun, Aiden dengan sigap menarik Helena ke arahnya, tubuhnya menjadi perisai.

Dia hanya terkena sedikit percikan dari minuman yang tumpah itu.

​"Maaf, aku tidak sengaja," kata Misa, pura-pura menyesal.

​Helena, yang terbiasa dengan intrik, menatap Misa dengan tenang.

Namun, Aiden menatap Misa dengan mata yang dingin dan tajam, tatapan yang membuat darah di sekujur tubuh Misa seolah membeku.

​Misa tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia hanya bisa lari dengan malu, seolah tertangkap basah.

​Setelah Misa pergi, Helena menoleh ke arah Aiden.

​"Kau menakutinya, Kak," bisik Helena, mengamati kepergian Misa yang terburu-buru.

​Aiden hanya mengangguk kecil. "Dia tidak penting."

​"Tentu saja dia tidak penting," balas Helena tersenyum.

"Yang penting adalah, sekarang semua orang tahu kau akan melindungiku."

***

Di tengah rutinitas Helios Academy, selain makan siang bersama di kantin sekolah, Aiden dan Helena juga sering menghabiskan waktu di ruang belajar pribadi yang disediakan untuk siswa kelas atas.

Ini adalah ruang yang tenang, jauh dari mata-mata, tempat mereka bisa melepaskan topeng.

Saat itu, Helena sedang memeriksa grafik tren ekonomi makro yang diberikan Fedrick, sementara Aiden membolak-balik laporan keuangan Aliston.

"Kak Aiden," panggil Helena, menutup buku catatannya.

"Aku tidak mengerti kenapa Ayahku bersikeras menggunakan 'pendekatan hati nurani' dalam bernegosiasi dengan perusahaan energi Esco."

"Secara angka, kita dirugikan. Secara moral, kita diuntungkan. Tapi di dunia bisnis, bukankah moral itu hanya biaya?" Jelas Helena

Aiden meletakkan laporannya.

Matanya beralih ke Helena, wajahnya menunjukkan apresiasi atas analisis tajam gadis itu.

"Ayahmu bukan kerugian, Helena. Dia adalah pemain jangka panjang," jawab Aiden, suaranya tenang dan tegas.

"Maksudmu?"

"Moralitas memang biaya, tapi juga bisa jadi aset yang paling langka," jelas Aiden.

"Coba pikirkan. Di dunia yang penuh predator, kejujuran Ayahmu membuat musuh-musuhnya berpikir, 'Dia terlalu baik, dia mudah dikalahkan.' Itu adalah jebakan yang dibuat dengan sangat cerdas."

Aiden bersandar, matanya sedikit menyipit.

"Saat Nelson Corporation membuat kesepakatan yang adil secara etika, para mitra jangka panjang akan melihatnya sebagai stabilitas. Mereka tahu, Fedrick tidak akan menikam mereka dari belakang demi keuntungan kuartal."

"Sementara semua orang sibuk memakan keuntungan jangka pendek, Nelson membangun kepercayaan, mata uang yang tidak bisa dibeli Henhard atau Aliston dengan uang."

Helena mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya berbinar.

"Jadi, etika itu bukan kelemahan, tapi fondasi yang kokoh?"

"Tepat," balas Aiden, tersenyum kecil.

"Ayahmu membangun istana di atas batu. Ayahku membangun di atas emas. Emas bisa dicuri, batu tidak."

Helena mencatat dengan cepat dan bersemangat.

"Lalu, apa kelemahannya?" tanya Helena.

"Kelemahannya adalah kecepatan," ujar Aiden, nada suaranya kini kembali pada realitas Aliston yang kejam.

"Kepercayaan membutuhkan waktu untuk dibangun. Sementara itu, predator seperti Ayahku bisa datang dan menghancurkannya dalam satu malam dengan taktik kotor."

"Karena itulah Henhard sangat menginginkan Fedrick. Dia ingin mengambil fondasi batu itu dan menaruhnya di bawah emasnya."

Helena mengangguk pelan.

"Terima kasih, Kak Aiden," kata Helena, menutup buku catatannya.

"Aku menghormatimu seperti Buddha" ucap Helena dengan sedikit membungkukan badannya.

"Aku hanya melihat apa yang paling menguntungkan," balas Aiden.

"Dan saat ini, yang paling menguntungkan adalah memastikan sekutu Aliston terlindungi dan cerdas."

Aiden hanya menatap Helena.

Di mata gadis itu, dia melihat apresiasi, bukan ketakutan atau penghormatan buta.

Dia melihatnya bukan sebagai penerus Henhard yang dingin, melainkan sebagai sosok yang mampu mengupas masalah hingga ke akarnya.

​'Menguntungkan,' pikir Aiden, mengulang kata-katanya sendiri.

Ya, memastikan sekutunya cerdas adalah menguntungkan.

Tetapi perasaan nyaman dan kehangatan tulus yang dia rasakan setiap kali Helena mendekat, itu adalah keuntungan tak terduga yang belum dia catat dalam laporan keuangannya.

Itu adalah mata uang langka yang tidak dia tahu cara mencurinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!