Anisa gadis yatim piatu bekerja sebagai pelayan. Demi keselamatan Sang Majikan dan di tengah rasa putus asa dengan hidupnya, dia terpaksa menikah dengan Pangeran Jin, yang tampan namun menyerupai monyet.
Akan tetapi siapa sangka setelah menikah dengan Pangeran Jin Monyet, dia justru bisa balas dendam pada orang orang yang telah menyengsarakan dirinya di masa lalu.
Bagaimana kisah Anisa yang menjadi istri jin dan ada misteri apa di masa lalu Anisa? Yukkk guys ikuti kisahnya...
ini lanjutan novel Digondol Jin ya guys ♥️♥️♥️♥️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 8.
“Windy, di mana kamu?” tanya Pungki dalam hati. Suaranya bergetar, ada nada cemas yang sulit ia sembunyikan. Air yang mengalir dari kran segera ia matikan; deru air terasa begitu berisik di telinganya, menenggelamkan kegelisahan yang kini merambati dadanya.
“Di dalam... toilet pria,” sahut suara lirih itu, suara Windy. Ada isakan tertahan di sana, membuat bulu kuduk Pungki berdiri.
“Apa dia sakit?” gumam Pungki lirih, langkahnya kini cepat, nyaris berlari menuju toilet pria yang tak jauh dari tempat ia berwudu tadi.
Tangannya gemetar, telinganya terus menajam, dan benar saja. Dari arah dalam toilet terdengar suara tangis lirih, terputus-putus, seperti suara anak kecil yang kehilangan sesuatu yang amat berharga.
“Hu... hu... hu... hu...”
Pungki berdiri tepat di depan pintu toilet yang sedikit terbuka. Jantungnya berdentum keras di dada. Dengan perlahan, ia dorong pintu itu, menahan napas seolah takut suara napasnya sendiri akan menakuti sesuatu di dalam sana.
Begitu pintu terbuka lebih lebar, matanya langsung menangkap sosok mungil di pojok ruangan.
“Windy...” suaranya tercekat. “Kamu kenapa?”
Tanpa pikir panjang, Pungki segera menutup pintu rapat rapat. Ia melangkah mendekat, lututnya lemas melihat pemandangan di hadapannya. Windy duduk jongkok di sudut, tubuh mungilnya bergetar hebat. Rambut gondrongnya basah kuyup, meneteskan air hingga lantai di bawahnya tampak lembap. Bulu-bulu halus putih yang menutupi tubuhnya ikut menggigil. Wajah tampannya yang biasanya imut dan jenaka kini basah oleh air mata dan keringat.
“Wind, kenapa kamu? Baru habis mandi, ya?” tanya Pungki pelan sambil mengusap rambut Windy. Tapi tangannya berhenti. Bukan air yang ia rasakan. Melainkan keringat yang hangat dan lengket.
Dan di detik itu, jantungnya nyaris berhenti.
Windy... tidak memakai popok ajaibnya.
“Windy!” seru Pungki panik. “Apa yang terjadi? Apa ada orang yang merebut popokmu?” Ia teringat cerita lama, tentang orang orang yang memburu Windy untuk merebut popok ajaibnya, akan menjadikannya sebagai jimat.
“Hu... hu... hu... Sang Ratu... tadi... mengejar aku, Kak Pung Pung...” tangis Windy pecah lagi. “Aku kalah... hu... hu... aku tak bisa menjaga popokku. Dia menarik semuanya, hilang... tak bisa muncul lagi popokku...”
Tangisnya semakin keras. “Aku malu, Kak Pung Pung... ekor depan dan ekor belakangku kelihatan... hu... hu...”
Tubuh mungil itu menggigil, memeluk lututnya erat-erat. Air matanya menetes tanpa henti, jatuh di lantai yang dingin.
Pungki menghela napas dalam, menatap makhluk kecil itu dengan rasa iba. “Jangan khawatir. Aku masih punya satu popok yang kamu berikan padaku. Kamu bisa pakai itu, Wind.”
Ia usap lembut wajah Windy, menghapus air mata yang terus mengalir.
“Hu... hu... kekuatan kita berkurang... Kak Pung Pung...” suara Windy bergetar lemah, penuh kecewa.
“Tidak apa, Wind. Masih ada Allah yang menyertai kita. Dia tak akan hilang, tak akan berkurang. Asal kita tidak meninggalkan-Nya, kita akan tetap kuat.” kata Pungki lembut, penuh keyakinan, meski di matanya sendiri berkilat kekhawatiran.
Ia bantu Windy perlahan berdiri. “Ayo bersihkan tubuhmu. Setelah itu kita sembahyang, ya?”
Windy menggeleng cepat, wajahnya merah padam. “Iya... tapi Kakak Pung Pung keluar dulu... aku malu...” katanya lirih sambil menutupi tubuhnya dengan dua tangan mungilnya.
Pungki tersenyum tipis. “Baik, ini popokmu. Pakai yang ini, ya.” Ia serahkan popok kain putih yang tampak seperti kain biasa bagi manusia, namun punya kekuatan luar biasa. Windy menerimanya dengan cepat, masih tersedu.
“Terima kasih... Kakak Pung Pungku...” ucapnya dengan suara kecil.
Pungki mengangguk, mengusap lembut kepala Windy. “Aku tunggu di luar. Jangan lama-lama.”
Dan dengan langkah tergesa, ia keluar dari toilet itu, meninggalkan aroma lembap dan samar-samar wangi kemenyan yang entah dari mana datangnya.
Pungki berdiri sejenak di luar toilet, menarik napas panjang. Dadanya masih berdebar, pikirannya belum sepenuhnya tenang. Ia masih bisa mendengar samar suara isakan Windy dari dalam, diselingi bunyi air dari keran yang mengalir pelan.
Beberapa langkah kemudian, ia menuju tempat wudu. Air yang mengalir dari keran dingin menusuk kulitnya, seolah ikut menenangkan bara kecemasan yang tadi membakar dada. Di mushola kecil itu sudah ada beberapa orang yang tengah bersiap untuk salat. Suasana terasa damai, namun di telinga Pungki, masih ada gema tangis, entah suara Windy yang tertinggal di pikirannya, atau sesuatu yang lain.
Setelah membasuh wajah dan menyempurnakan wudunya, Pungki segera melangkah masuk ke mushola. Ia memilih saf di tengah, mengangkat tangan dan mulai salat dengan khusyuk.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang hanya dipecah oleh lantunan takbir dan desiran napas orang-orang di sekelilingnya. Namun ketika ia menutup salatnya dengan salam, sebuah bisikan lembut seperti napas terdengar di telinganya.
“Hu... hu... hu...”
Pungki tertegun. Kepalanya perlahan menoleh, dan di sampingnya, tubuh mungil Windy tengah bersujud khusyuk. Kain putih popok ajaib barunya tampak berkilau samar di bawah cahaya lampu mushola yang redup. Wajah Windy terlihat tenang, jauh berbeda dengan keadaannya di toilet tadi.
Namun suara tangisan itu tidak berhenti. Justru semakin jelas.
“Hu... hu... hu... hu...”
Suara perempuan. Lembut tapi dalam, menyayat.
Pungki menatap sekeliling. Hatinya berbisik: Siapa yang menangis di tempat suci seperti ini?
Ia masih duduk bersila menunggu Windy selesai. Ada rasa waswas yang menyelinap, rasa takut bahwa Sang Ratu atau para jin abdinya masih membuntuti mereka. Dalam hati, ia berdoa semoga perlindungan Allah tetap menaungi dirinya dan Windy.
Ketika Windy akhirnya menoleh, matanya menatap Pungki dengan lembut. Ia mengangguk pelan, memberi isyarat agar mereka segera pulang. Pungki balas menepuk pundaknya pelan — kode agar Windy naik ke punggungnya. Dalam sekejap, tubuh mungil itu menghilang dari pandangan, sudah nemplok di pundak Kakak Pung Pung-nya, seperti kabut putih yang menyatu dengan bahunya.
Pungki berdiri perlahan. Baru beberapa langkah menuju pintu, suara tangisan itu terdengar lagi.. kali ini lebih nyata, lebih dekat.
“Hu... hu... hu...”
Ia berhenti, menoleh ke arah suara. Dari sudut mushola, di antara cahaya lampu yang temaram, tampak sosok seorang perempuan bersimpuh. Ia masih mengenakan mukena putih yang sedikit kusut, bahunya berguncang pelan menahan tangis.
Pungki menatapnya lama. Seperti pernah kulihat wajah itu... pikirnya.
“Dia... sedang sedih, Kakak Pung Pung,” bisik Windy lirih dari pundaknya. “Macam aku tadi...”
Pungki memiringkan kepala, dan menajamkan penglihatan nya...
pokok sultini wes
ada nasi minyak g atau nasi ayam
nahh makan itu mengingatkan q dlu di negri sebrang
g di sana g di sini sama aja mbingumhi 🤣🤣🤣
tp nnti pennjelasan panheran yg masuk akal dpt meruntuhkan ego samg ibunda dan nnit mlh jd baik se lam jin jd muslim.🤣