Salsa bisa lihat malapetaka orang lain… dan ternyata, kemampuannya bikin negara ikut campur urusan cintanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melihat Malapetakanya Sendiri
Setengah jam kemudian, ia sudah kembali ke kontrakannya. Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh.
Begitu membuka pintu, perasaan aneh langsung menyelimutinya, seolah baru saja pulang dari dunia lain.
Ya, inilah tempat yang ia kenal: kontrakan mungil di gang sempit, tak sampai dua puluh meter persegi. Cahaya matahari pun seperti enggan mampir ke sini, seakan sinar pun harus bayar sewa.
Salsa mengusap pergelangan tangannya. Di balik lengan bajunya, masih melingkar gelang giok hijau itu, bukti nyata dari semua keanehan yang ia alami.
Tangannya kemudian merogoh saku. Di sana ada selembar kartu dengan saldo seratus juta rupiah. “Hmm… mungkin sudah waktunya pindah ke tempat yang lebih layak?” gumamnya pelan.
Tapi pandangannya tiba-tiba berhenti di pojok ruangan.
Lemari kayu tua itu, yang pintunya selalu sulit ditutup rapat. Setiap kali harus ditekan kuat-kuat baru bisa menutup sempurna. Salsa yakin, pagi waktu berangkat kerja, lemari itu tertutup rapat. Sekarang, celah kecil kembali terbuka.
“Pasti kena angin,” pikirnya, mencoba menenangkan diri.
Meski begitu, naluri waspada membuatnya memeriksa seluruh ruangan. Hasilnya: bersih, sama seperti sebelum ia pergi. Tak ada yang berubah.
Salsa mulai mengeluarkan barang-barang dari rumah sakit, tas, kotak, dan beberapa kantong belanja yang semuanya pemberian Coach Bima, Reyhan, dan pihak RS Nusantara.
Yang pertama ia keluarkan justru peralatan melukis: papan gambar, kanvas, dan sketsa yang ia buat selama dirawat.
Guru seninya, Bu Yani, pernah bilang kalau Salsa punya bakat luar biasa. “Kalau kamu dulu ambil jalur seni rupa, mungkin sudah masuk universitas ternama,” katanya kagum.
Tapi bagi Salsa, itu hanya lewat di telinga. Sekarang, bahkan lulusan seni pun banyak yang berakhir jadi tukang nail art. Hidup tak seindah warna cat di palet.
Ia menaruh semua barang ke tempat semula, lalu berencana mandi dan rebahan sambil main ponsel. Sekilas ia melirik lagi ke arah lemari, masih dengan celah kecil itu, namun memilih mengabaikan.
Kakinya yang masih pincang membuatnya malas berjalan jauh hanya untuk mengambil baju di lemari. Ia ambil saja baju dari kantong belanja, lalu masuk ke kamar mandi.
Kebiasaannya: sikat gigi dulu, baru mandi. Tiga menit kemudian, busa pasta gigi memenuhi mulutnya. Ia menunduk, berkumur, lalu mendongak ke arah cermin.
“Hmm… alisnya tumbuh nggak rapi banget,” gumamnya, hendak mengambil alat cukur alis.
Namun saat matanya bertemu dengan pantulan diri di cermin, penglihatannya tiba-tiba buram. Bulu kuduknya langsung berdiri. Sebuah sensasi dingin menjalar dari tengkuk hingga ke ubun-ubun.
Karena kali ini… ia melihat dirinya sendiri menatap balik dari dalam cermin.
Lalu semuanya bergetar, dan sekejap berikutnya, ia melihat sesuatu.
---
Dalam bayangan itu, lampu tiba-tiba padam ketika ia sedang mandi. Gelap total.
Salsa buru-buru membilas tubuhnya, mengenakan pakaian, lalu keluar dari kamar mandi. Sakelar utama ada di luar pintu. Tapi nalurinya menahan langkah.
Ia ingat berita-berita di internet, tentang perempuan yang diserang karena keluar rumah memeriksa listrik padam. Pencuri menunggu korban membuka pintu.
Skenarionya persis seperti itu.
Jantung Salsa berdegup kencang..Ia mencabut ponsel dari charger, menyalakan senter, lalu menyeret meja dan kursi untuk menahan pintu dari dalam.
Begitu ia selesai menutup jalan keluar, suara samar terdengar.
“Klek…” Lemari di pojok terbuka.
Dari balik bayangan, seorang pria melompat keluar, menodongkan pisau lipat tepat di depan wajahnya.
Salsa terpaku. Jalan satu-satunya, pintu, justru ia kunci sendiri! Ia tak punya tempat kabur.
Cahaya senter ponsel memantul di wajah pria itu, wajah yang… biasa saja.
Bulat, pucat, bibir tipis, mata bengkak seperti kurang tidur. Alisnya jarang, hampir tak terlihat. Namun, entah kenapa, wajah itu terasa sangat familiar.
Sampai ingatannya menegaskan satu hal:
itu wajah buronan A1 bernama Qori Junaidi, pembunuh berantai yang kejam, yang pernah ia lihat di berita.
Polisi bahkan sempat menawarkan hadiah tiga ratus juta bagi siapa pun yang bisa menangkapnya.
Waktu dulu miskin, Salsa sempat bercanda, “Andai aku yang nangkap dia, bisa kaya mendadak.” Sekarang…
buronan itu benar-benar muncul di hadapannya.
Dan tidak untuk memberi hadiah. Tapi untuk membunuhnya.
Bayangan berikutnya membuat perutnya mual, ia melihat dirinya sendiri terkapar di lantai, mata melotot tak bernyawa, darah mengalir di mana-mana.
Lalu pandangan itu hilang.
Cermin kembali memantulkan wajahnya yang kini pucat pasi.
---
Salsa terengah. Keringat dingin membasahi punggungnya.
Tangannya mencengkeram tepi wastafel, berusaha menahan tubuh yang gemetar hebat.
Ia tahu… itu bukan mimpi.
Itu semacam penglihatan, sebuah peringatan.
Belum ada listrik padam sekarang, tapi siapa yang bisa jamin sebentar lagi? Bagaimana kalau pembunuh itu memang sedang bersembunyi di lemari, menunggu momen itu terjadi?
Pikiran Salsa berputar cepat.
Ponselnya ada di rak dekat pintu, sepuluh langkah dari kamar mandi. Jarak yang terlalu berisiko kalau benar ada seseorang di luar.
Ia tak berani keluar.
Matanya menelusuri ruangan kecil itu, mencari apa pun yang bisa dijadikan alat pertahanan.
Lalu ia mendapat ide.
Ia menyalakan keran, membiarkan air memenuhi ember, agar suara gemericik menutupi setiap gerakannya.
Kemudian, ia mencabut gantungan baju kawat, meluruskannya jadi besi tipis panjang, dan mengaitkannya ke gagang pintu.
Ujung satunya diikat ke tongkat pel lantai, membentuk pengait sederhana untuk mengganjal pintu.
Ia lalu mengambil sebotol cairan pembersih kamar mandi, yang mengandung asam keras.
Ia tahu, jika cairan itu kena kulit, efeknya sama saja seperti terbakar api. Ia memakai sarung tangan plastik, menggenggam botol itu erat-erat.
Tepat saat tangannya menutup botol rapat, lampu padam.
Gelap total.
Sunyi seperti kuburan.
Salsa menahan napas. Ia bisa mendengar setiap tetes air yang jatuh ke lantai, tik… tik… tik… Air matanya menetes tanpa sadar. “Uang seratus juta itu… ambil aja. Aku cuma mau hidup,” bisiknya lirih.
Detik berubah jadi menit.
Tak ada suara, tak ada gerakan.
Semuanya seperti permainan siapa yang menyerah duluan.
Salsa menggenggam cairan asam di satu tangan, kepala shower di tangan lain, siap menghantam siapa pun yang masuk.
Tapi kamar mandi itu sempit, jendelanya kecil dan tinggi. Ia tak mungkin keluar lewat sana.
Di luar, hanya ada gang sepi yang sesekali dilalui orang lewat jalan pintas.
Ia mencoba melempar benda kecil keluar jendela, sikat gigi, handuk, apa pun, sekadar mencari pertolongan.
Namun sebelum ia sempat melempar lebih jauh…
“Kreeek…”
Suara itu datang. Pintu kayu lemari, terbuka.
Tubuh Salsa kaku. Darahnya seperti berhenti mengalir.
Suara itu menggema dalam kepalanya seperti alarm maut yang datang menjemput.
Dan kali ini, ia tahu, bayangan itu mungkin akan jadi nyata.
Salsa tiba-tiba teringat satu hal,
pintu lemari itu terbuka sedikit.
Darahnya langsung berdesir.
Berarti… selama ini, si pembunuh itu mungkin sudah mengintainya dari celah kecil itu!
Seluruh gerakannya di “penglihatan” tadi, keluar dari kamar mandi, mengambil ponsel, semuanya ternyata ada dalam pantauan si pelaku.
Setetes keringat dingin menetes di pelipisnya.
Salsa bersyukur setengah mati karena tadi ia tidak nekat keluar untuk mengambil ponsel dan bersyukur juga karena rasa malasnya tadi membuat ia langsung memakai baju bersih dari rumah sakit, bukan membuka lemari untuk mencari pakaian.
Kalau saja tadi ia membuka lemari itu... Mungkin sekarang ia sudah mati dan takkan sempat melihat “penglihatan” yang menyelamatkan nyawanya.
Setelah suara kreeek pintu lemari itu, semuanya hening.
Sunyi.
Ia tidak tahu, apakah pria itu sudah pergi… Atau justru sedang berjongkok tepat di depan pintu kamar mandi.
Salsa menelan ludah.
Dalam ingatannya, buronan bernama Qori Junaidi itu menderita gangguan jiwa parah, dengan riwayat kekerasan ekstrem.
Ia ragu… kalau berteriak minta tolong, apa akan membuatnya lari, atau justru memicu amukan.
Tiba-tiba ia teringat, di bawah wastafel ada tiga perangkap tikus lama yang belum dibuang.
Dengan tangan gemetar, memanfaatkan sedikit cahaya dari luar jendela, Salsa meletakkan perangkap-perangkap itu di depan pintu kamar mandi.
Air dari shower sudah lama berhenti, tapi tetesannya masih turun perlahan,
tik… tik… tik…
Seperti hitungan mundur menuju neraka.
Dan kemudian,
“Heh… kamu sabar juga, ya?”
Suara pria itu terdengar dari balik pintu. Datar. Gila. Penuh ancaman.
Salsa tersentak keras.
Nafasnya tercekat.
Suara itu dalam dan berat, seperti suara ular yang baru saja menemukan mangsanya.
Ia menahan napas, bibirnya digigit sampai hampir berdarah, tak berani mengeluarkan suara sekecil apa pun.
Tubuhnya menggigil hebat. Rambut basah menempel di pipi. Setiap tetes air yang jatuh di kulit terasa seperti es menusuk tulang.
Klik… klik… klik…
Terdengar suara logam menggesek, seperti obeng sedang mencongkel kunci.
Setiap gesekan terasa seperti mengoyak sarafnya satu per satu. Gagang pintu bergetar pelan. Lalu bunyi klek! terdengar dari arah kunci.
Ia sedang membuka kunci itu.
Dia… akan masuk.
Salsa menggenggam erat botol cairan asam pembersih lantai yang ia siapkan tadi. Sendi jarinya memutih karena tekanan.
Tak ada waktu lagi untuk berpikir soal “memancing amarah.” Dengan seluruh tenaga yang tersisa, ia menjerit,
“Tolong! Ada orang! Tolooong!”
Tapi seketika suara film dari luar terdengar keras, ada efek perkelahian dan teriakan, seperti suara dari ponsel dengan volume penuh. Suara itu menenggelamkan jeritannya sepenuhnya.
Salsa tercekat. Otaknya langsung menangkap maksudnya, si pembunuh itu sengaja menyalakan suara film keras-keras agar tetangga tak mendengar!
Brak!
Kunci berhasil dicongkel. Pintu terbuka keras, pengganjal pintu yang ia pasang langsung terlempar.
Dunia seakan berhenti berputar.
Salsa terpaku, dari celah pintu, sepasang mata merah penuh urat darah menatap balik.
Sekarang!
Ia memutar tutup botol secepat kilat dan menyiram cairan asam ke arah pintu tepat ketika pintu itu terbuka!
“AAAAAARGHHHHH!!!”
Jeritan itu memecah udara. Pria itu menggeliat, menutupi wajahnya yang mulai melepuh, lalu menyerbu masuk,
namun,
CRACK!
Satu perangkap tikus menjepit kuat pergelangan kakinya! Pria itu menunduk kesakitan, dan di saat itulah Salsa mengayunkan kepala shower dari baja ke belakang kepalanya.
DUG! DUG! DUG!
Ia tak berpikir lagi. Hanya menghantam, berulang kali, seperti mesin yang kehilangan kontrol.
Untungnya ia terbiasa kerja kasar. Tenaganya besar, tahan lama. Suara hantaman logam ke tulang bergema di ruangan sempit itu.
Tubuh pria itu akhirnya terkulai, jatuh berat di lantai.
Tak bergerak.
Kepalanya berhenti di dekat kaki Salsa. Ia mundur reflek, tubuhnya bergetar, hampir tersandung.
Dengan sisa tenaga, ia menendang tubuh pria itu sekali, memastikan ia benar-benar pingsan.
Lalu ambruk bersandar ke dinding, napasnya tersengal keras. Ia bahkan tak tahu apakah luka di kakinya terbuka lagi atau tidak. Tangannya masih menggenggam kepala shower erat-erat, jari-jarinya putih.
Tubuh pria itu separuh di dalam kamar mandi, separuh di luar. Salsa tidak berani melewati tubuhnya untuk mengambil ponsel.
Jadi ia memaksakan suara, parau dan serak:
“Hei… Asisten… aktif.”
Suaranya nyaris tak terdengar, tapi ponselnya merespons dari rak dekat pintu:
“Halo, saya di sini.”
“Tolong… panggil polisi…”
“Baik. Menghubungi 110.”
Nada sambung berbunyi.
Salsa menatap tubuh pria itu tanpa berani berkedip. Ia takut-takut dia tiba-tiba bangun lagi.
“Halo, 110. Petugas 32 berbicara, ada yang bisa kami bantu?”
Suara petugas itu tenang dan tegas, memberi sedikit rasa aman.
“Tolong… ada A1… Qori Junaidi…”
“Alamat… Gang Mentari, Blok B17 nomor 604… cepat…”
Begitu mendengar nama itu, suara di ujung sana langsung berubah tegang.
“Baik, kami segera berangkat!”
Petugas itu memberi kode ke rekan-rekannya, langsung menandai “kasus darurat.”
“Mbak, apa Anda melaporkan posisi buronan Qori Junaidi?”
“Dia… dia ada di depan aku.”
Sunyi.
Petugas itu hampir tak percaya apa yang ia dengar.
“Anda aman sekarang?”
“Aku… aku nggak punya tenaga lagi,” suara Salsa bergetar, nyaris menangis.
“Tolong kirim ambulans juga…”
“Anda terluka?”
“Nggak… bukan aku. Aku cuma lemas. Tapi dia, aku siram asam, dan aku pukul pakai shower. Aku nggak tahu keadaannya…”
Petugas di seberang terdiam sesaat. Ia hampir tak percaya: gadis ini berhasil melumpuhkan buronan A1.
Qori Junaidi, mantan teknisi listrik, ahli kunci, pembunuh berantai yang licin dan kejam.
Belum pernah ada satu pun korbannya yang selamat… sampai malam ini.
“Ambulans sudah dikirim. Tetap tenang, ya. Kami di perjalanan.”
“Boleh… boleh tetap di telepon, kan?” Suara Salsa bergetar, penuh ketakutan.
“Tentu. Kami di sini. Kamu luar biasa berani, Mbak. Tenang, sebentar lagi bantuan datang.”
Baru saja ia menghela napas lega, tiba-tiba sesuatu menyentuh pergelangan kakinya.
“Aaaahhh!!!”
Salsa menjerit histeris. Menunduk, dan melihat pria itu… membuka matanya.
Sepasang mata merah itu kembali menatapnya, penuh kebencian.
Tangannya berusaha meraih kaki Salsa, tubuhnya bergerak perlahan naik dari lantai.
“Tolong!!” Salsa menjerit ke arah ponsel. “Dia bangun! Dia bangun!”
Dari luar, suara DUK! DUK! DUK! terdengar keras, entah itu suara polisi yang datang, atau… teman si pembunuh.
hebaaaaaatt Salsa 👍👍👍
lanjutt thor💪
ganbatteee😍