"Jangan lagi kau mencintaiku,cinta mu tidak pantas untuk hatiku yang rusak"
Devan,mengatakannya kepada istrinya Nadira... tepat di hari anniversary mereka yang ke tiga
bagaimana reaksi Nadira? dan alasan apa yang membuat Devan berkata seperti itu?
simak cerita lengkapnya,di sini. Sebuah novel yang menceritakan sepasang suami istri yang tadinya hangat menjadi dingin hingga tak tersentuh
Jangan lupa subscribe dan like kalo kamu suka alur ceritanya🤍
Salam hangat dari penulis💕
ig:FahZa
tikt*k:Catatan FahZa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tulisan_nic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku memaksa
"Apa maksudmu tidak mau menghadiri rapat dewan direksi kemarin?"Pria paruh baya penuh karismatik duduk di sofa ruangan Devan,sorot matanya tajam dengan gigi sedikit menggeretak.
"Keputusanku sudah bulat Pa,aku tidak mau Henry Callen di ganti lagi"
"Dia hanya pelukis pendatang baru,sedangkan pelukis Joen reputasinya jauh di atas itu"
Devan membenarkan letak duduknya, sebentar lalu melanjutkan lagi pembicaraan.
"Kita perlu melakukan inovasi terbaru Pa,agar orang seperti Henry Callen punya tempat untuk mengembangkan bakatnya.Aku yakin Henry akan membawa pengaruh baik untuk nama perusahaan"
"Gala Estetika' bukan cuma ajang pencarian bakat Devan,acara ini di sorot di berbagai media..tidak hanya di Indonesia tapi manca negara"
"Justru itu,kita harus berani untuk mengambil keputusan.Atau nanti kita hanya menjadi penonton kesuksesan orang karna kita terlambat mengambil kesempatan"
Tuan Alfonso yang tak lain adalah Ayah kandung Devan,sepak terjangnya di dunia bisnis sudah tidak di ragukan lagi...karna alasan itu dia sangat berhati-hati dalam bertindak.
Di depan mereka sudah tersedia secangkir teh panas,asapnya masih mengepul mengeluarkan aroma melati yang nikmat.
Tuan Alfonso tetap tidak terima dengan keputusan yang di ambil Devan,tangannya mengepal di atas paha,matanya memerah.Semakin Devan bicara,semakin mendidih darahnya.
"Cepat kau rubah,keputusanmu itu.Aku tidak setuju"
Tangan yang tadi mengepal kini menepuk meja,namun jawaban Devan sangatlah tidak mengenakannya.
"Semua sudah tercetak,media sudah meliput, promosi sudah berjalan...tidak ada lagi yang bisa di rubah"
Mendengar itu,sontak tangannya mengambil cangkir berisi teh panas tadi lalu melemparkan ke arah Devan,tepat di dada bidang anak semata wayangnya itu.
Devan diam saja,hanya menunduk sedikit lalu menatap lagi dengan tatapan dingin tanpa ekspresi.Tuan Alfonso berdiri,dengan kemarahan ia melangkah pergi.Pintu terbuka tapi sekertaris Ken sudah ada di baliknya tangannya terulur hendak membuka pintu namun urung karna Tuan Alfonso sudah lebih dulu.
Ia membungkuk kan badan sedikit menghormati Presdir perusahaan tempatnya bekerja
"Maaf Tuan saya tidak tahu kalau anda ..."
"Tidak perlu,kau urus saja bos mu itu"
sekertaris Ken yang tidak tahu apa-apa menggaruk kepalanya yang tidak gatal,dengan wajah heran.
"Tuan,apa anda tidak apa-apa? Itu pasti panas kan?"
Sekertaris Ken mengambil cangkir yang terjatuh di dekat kaki sofa,melihat kemeja Devan basah dengan asap tipis dari tumpahan teh tadi dia reflek meringis seolah ikut merasakan hawa panas di kulitnya
Devan berdiri,membuka jas dan menaruhnya di sandaran sofa.
Melonggarkan dasi dan membukanya pelan.
"Tidak apa-apa Ken,tak perlu perawatan medis.Ini hanya rasa panas sesaat saja,nanti juga akan sembuh"
"Tapi Tuan,kulit ada mengalami luka bakar harus di beri salep supaya tidak melepuh"
"Tidak perlu Ken"
"Baiklah kalau begitu Tuan,saya akan mengambilkan pakaian ganti untuk Tuan"
"Itu lebih aku butuhkan Ken"
"Permisi Tuan"
Sekertaris Ken,mundur lalu berbalik melangkah keluar ruangan
Devan masuk ke toilet,membuka kancing kemejanya melihat ke arah kaca yang tergantung di atas wastafel.Kulitnya memerah tepat di bagian yang terkena tumpahan teh panas tadi. Sebenarnya ada rasa perih di bagian itu,tapi bagi Devan itu tidak seberapa di bandingkan rasa nyeri yang sering di rasakannya di kepala.
Perlahan ia aliri dengan air kulit yang memerah tadi,matanya terpejam...namun fikirannya jauh mengingat tentang sikap orang tuanya,yang selama ini selalu memaksakan apapun keinginannya.Juga dengan sikap Mamanya yang selalu mendesaknya memiliki anak.Ia sudah sangat faham dengan sikap keduanya namun yang membuatnya merasa sesal adalah ia membawa Nadira ikut terbawa sejauh ini. Baginya Nadira bukan hanya seorang istri,dia adalah pemberi warna cerah di hidupnya.
Setelah cukup lama dia mengguyur tubuhnya dengan shower yang menyala,Devan kembali ke ruang kerja dengan balutan handuk putih bersih.
Sekertaris Ken masuk ruangan,di tangannya sudah ada satu stel jas rapi,lengkap dengan kemeja salur berwarna biru muda.
Ia meletakkan nya di meja,dekat sofa
"Silahkan,ini pakaian anda Tuan"
"Terimakasih Ken,keluarlah aku bisa sendiri"
"Maaf Tuan,saya membawakan salep untuk luka bakar ini,supaya kulit anda cepat sembuh"
"Sudah ku bilang,aku tak memerlukannya"
Sekertaris Ken tampak sedikit gugup,lalu memasukkan salep tadi ke saku jasnya
"Baik Tuan,Saya permisi dulu"
***
Nadira menunggu Devan sambil duduk memegang ponsel,ia memeriksa beberapa laporan stok barang dari gudang butiknya.Hari ini,penjualan butik sedikit lebih berkurang di bandingkan Minggu lalu,"Mungkin karna Minggu lalu pelanggan sudah belanja,jadi hari ini butik mengalami penurunan"
Tiba-tiba ada suara ketukan pintu,"Tidak biasanya Mas Devan mengetuk pintu,biasanya dia langsung masuk saja.Siapa ya yang mengetuk?"
Nadira bangkit,menuju pintu.Ia mengintip dari kamera cctv,tampak sekertaris Ken sedang berdiri di sana.Tanpa menunggu Nadira langsung membukakan pintu
"Maaf Nyonya,saya mengganggu"
"Tidak Ken,apa ada masalah?"
Sekertaris Ken mengeluarkan salep obat luka bakar dari saku jasnya
"Ini Nyonya,tadi Tuan terkena tumpahan Teh panas...tapi Tuan tidak mau di obati.Saya khawatir lukanya jadi melepuh,saya kemari minta tolong Nyonya yang oleskan obat ini,siapa tahu kalau Nyonya yang minta Tuan jadi bersedia"
"Apa tumpahannya parah Ken?"
"Saya lihat kulit di sekitar dada Tuan memerah"
Nadira reflek menutup mulutnya,ada kekhawatiran yang muncul setelah mendengar kabar itu.
"Nyonya Saya permisi dulu,Tuan akan segera kembali"
"Iya Ken, terimakasih banyak sudah perhatian begini"
"Baik,Saya permisi"
Udara malam itu terasa dingin,angin bertiup dari arah barat membawa hujan gerimis.Di kegelapan malam tubuh sekertaris Ken menghilang,menyisakan deru suara mesin mobil yang perlahan menjauh
Nadira menutup pintu utama pelan,di tangannya salep obat luka bakar belum terbuka segelnya...masih rapi terbungkus plastik bening. Baru saja ia hendak melangkahkan kaki menuju sofa tempatnya duduk tadi,pintu kembali terbuka memunculkan wajah yang sejak tadi ia nanti kehadirannya
"Kau masih menungguku sayang?" suaranya berat.Nadira tidak langsung menjawab,dia melemparkan senyuman termanis yang ia punya sambil memegang tangan suaminya itu penuh kelembutan.
"Aku akan terus menunggu kebahagiaan ku pulang" matanya menatap manja dengan tangan masih bertautan
"Kau juga kebahagiaanku"Devan mencubit pelan pipi mulus istrinya.
Nadira menuntun Devan duduk di sofa,tangannya mengelus lembut bahu tegap milik pria yang sangat ia cintai itu.Kalimatnya hati-hati
"Mas,apa ada masalah di kantor?"
"Kenapa tiba-tiba kau tanyakan itu?"
Nadira menyelipkan rambut yang jatuh di pipinya ke belakang telinga, baru menjawab
"Tadi Ken memberikan ku ini,Mas terkena tumpahan teh panas.Ia khawatir kulitmu melepuh..dia memintaku mengoleskan ini" Sambil menunjukkan salep tadi
Devan tertawa kecil,"Dasar pria ember"
"Jujur aku juga khawatir Mas,aku takut kau kenapa-napa"
"Aku tidak apa-apa,Ken saja yang terlalu berlebihan"
"Tapi aku akan tetap mengoleskan ini,tolonglah...biar aku merasa tenang,ya.."
"Kalian ini...kenapa berkomplot untuk memaksa aku,ya sudah aku pasrah saja" senyum kecil di sudut bibirnya membuat wajah tampan itu semakin terlihat jelas
Lampu neon putih di ruangan itu terlihat menyilaukan,membuat ruangan bernuansa cream lembut terasa lebih hangat.Nadira melepaskan kancing demi kancing kemeja yang melekat pada tubuh Devan,begitu terbuka nampak kulit dada bidangnya memerah.
"Mas,ini pasti perih...Ken benar kalau tidak di obati bisa-bisa akan melepuh"
"Tahan sebentar,ini akan sedikit perih tapi nanti perihnya akan hilang.Hanya perih sedikit"
Devan mengangguk,pelan Nadira mulai mengolesi luka itu.
Matanya fokus tertuju di bagian luka,tapi Devan mana bisa fokus,berada sedekat itu dengan istrinya membuat kenormalan seorang pria bekerja lebih cepat. Belum selesai Nadira mengoles,Devan sudah menangkap tangan istrinya menatap dalam lalu membungkuk mengunci tubuh Nadira hingga tak berkutik,dan sesuatu hal yang biasa di lakukan sebagai suami istri telah terjadi,di sofa....di bawah cahaya putih lampu neon