Cerita ini adalah lanjutan dari The Secret Miranda
Aku hanya perempuan yang dipenuhi oleh 1001 kekurangan. Perempuan yang diselimuti dengan banyak kegagalan.
Hidupku tidak seberuntung wanita lain,yang selalu beruntung dalam hal apapun. Betapa menyedihkannya aku, sampai aku merasa tidak ada seorang pun yang peduli apalagi menyayangi ku . Jika ada rasanya mustahil. .
Sepuluh tahun aku menjadi pasien rumah sakit jiwa, aku merasa terpuruk dan berada di titik paling bawah.
Hingga aku bertemu seseorang yang mengulurkan tangannya, mendekat. Memberiku secercah harapan jika perempuan gila seperti ku masih bisa dicintai. Masih bisa merasakan cinta .
Meski hanya rasa kasihan, aku ucapkan terimakasih karena telah mencintai ku. Miranda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nanie Famuzi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8
Jodi membuka matanya perlahan. Cahaya pagi menembus tirai tipis, jatuh lembut di wajah Alin yang tertidur pulas di pelukannya. Untuk sesaat, dunia terasa diam. Hanya napas mereka berdua yang terdengar, hangat, tenang, tapi juga asing.
Semalam… segalanya berubah. Setelah pergulatan batin dirinya, setelah setahun menikah, akhirnya jarak di antara mereka runtuh. Ia tak tahu siapa yang lebih gugup, ia atau Alin. Yang jelas, ada sesuatu yang patah dan tumbuh bersamaan malam itu.
Namun kini, ketika menatap wajah Alin yang damai, Jodi merasakan sesuatu yang aneh mengendap di dadanya. Bukan penyesalan, tapi juga bukan kebahagiaan. Seolah ada ruang dalam dirinya yang masih belum berani disentuh, bahkan oleh cinta yang seharusnya ia miliki.
Ia menelan napas pelan, jemarinya menyentuh lembut pipi Alin.
“Maafkan aku, Lin…” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Aku masih belajar mencintaimu… sepenuhnya.”
Alin menggeliat pelan, kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka. Cahaya pagi menyapa wajahnya yang masih tampak lelah tapi tenang. Ia butuh beberapa detik untuk menyadari posisi mereka, Jodi masih memeluknya dari belakang, napasnya terasa di tengkuknya.
“Mas…” suaranya lirih, nyaris berbisik. Ia menoleh perlahan, dan pandangan mereka bertemu. Untuk pertama kalinya sejak lama, tak ada dinding di antara tatapan itu.
Jodi tersenyum samar, canggung, tapi hangat. “Pagi,” ucapnya pelan.
Alin menggigit bibir bawahnya, seolah tak yakin harus tersenyum atau menunduk. “Pagi, Mas…” jawabnya akhirnya, suaranya lembut namun penuh arti.
Beberapa detik berlalu dalam diam yang aneh, bukan dingin, tapi juga bukan nyaman. Seperti dua orang yang baru belajar berbicara lagi setelah lama lupa caranya.
“Mas…” Alin menunduk sedikit, jari-jarinya memainkan ujung selimut. “Te-terimakasih untuk malam tadi. ”
Jodi menatapnya lama. Kalimat sederhana itu menggema di kepalanya, mengaduk perasaan yang sulit dijelaskan. Ada hangat yang seharusnya terasa indah, tapi di baliknya terselip rasa bersalah yang menusuk perlahan.
“Alin…” ucapnya pelan, tapi suaranya nyaris hilang di antara napas pagi.
Alin menoleh, menatapnya dengan mata yang jujur, lembut, dan sedikit bergetar. “Aku tahu Mas mungkin belum sepenuhnya siap,” katanya dengan senyum tipis yang lebih seperti penyerahan diri. “Tapi buat aku, malam tadi sudah cukup… setidaknya aku bisa merasakan sentuhan kamu mas.”
Jodi menelan ludah. Ia ingin menjawab, mengatakan sesuatu, apa pun, tapi tenggorokannya seperti disumpal rasa bersalah.
“Alin, aku…” suaranya patah. Ia menggenggam tangan istrinya, tapi genggaman itu terasa kaku, seperti dilakukan karena kewajiban, bukan keinginan.
Namun Alin justru menggenggam balik, lebih erat. Ia lalu menyandarkan kepalanya di dada Jodi, pelan, seolah ingin mendengar detak jantung pria itu lebih lama.
“Gak apa-apa, Mas,” ucapnya lembut, sebelum memeluk Jodi lebih erat lagi.
Dari luar, pelukan itu tampak hangat dan tulus, tapi di balik matanya yang tertutup, sesuatu bergetar… bukan sekadar cinta, melainkan obsesi yang tumbuh dari luka panjang.
“Akhirnya…” batin Alin dalam diam, bibirnya menyunggingkan senyum samar yang tak sepenuhnya lembut.
“Sekarang kamu beneran jadi milikku, Mas. Sepenuhnya. Gak akan ada siapa pun yang bisa mengambil kamu dariku.”
Ia mengeratkan pelukannya, sedikit lebih kuat.
“Aku bakal pastikan… kamu cuma lihat aku, cuma butuh aku. Kalau perlu, aku yang bakal bikin kamu ketagihan sama aku.”
Jodi menarik napas dalam, tanpa menyadari tatapan Alin yang perlahan berubah, bukan lagi tatapan istri yang takut kehilangan, tapi seseorang yang baru saja menemukan cara mempertahankan cinta dengan caranya sendiri.
Hening sejenak. Hanya suara napas yang terdengar di antara mereka.
Lalu Alin semakin mempererat pelukannya, membiarkan ujung hidungnya menyentuh dada Jodi. “Mas.. mau mandi bareng aku?” tanyanya setengah bercanda, tapi dengan nada yang manja dan penuh arti. Jemarinya mengusap usap pelan dada bidang Jodi.
Jodi terdiam sepersekian detik. Alin tertawa kecil, lalu bangkit, membenarkan tali gaun tidurnya.
“Yah, kalo Mas malu, aku duluan deh,” katanya sambil menoleh setengah, senyum kecil bermain di bibirnya.
Uap tipis mulai memenuhi kamar mandi saat Alin menyalakan shower.
Jodi menyusul beberapa menit kemudian, masih dengan ekspresi ragu. Tapi saat Alin menoleh dan menatapnya, tatapan yang lembut sekaligus memanggil langkahnya perlahan mendekat juga.. apalagi ketika Jodi melihat lekuk tubuh Alin yang menggoda, seketika ia menelan ludahnya sendiri.
Air hangat mengalir di antara mereka.
Alin mendongak, menatap mata suaminya. Tangannya menyentuh wajah Jodi perlahan, jemarinya menelusuri pipi, lalu leher, lalu berhenti di dada.
“Mas tahu…” bisiknya pelan, “aku masih gak percaya semalam itu nyata.”
Jodi menghela napas pelan, memejamkan mata sejenak seraya merasakan sentuhan Alin. “Mas juga.”
“Tapi aku seneng,” sambung Alin, suaranya lebih lembut. “Akhirnya Mas beneran milikku.”
Ia tertawa kecil, mencipratkan air ke dada Jodi, lalu menunduk, menyandarkan kepala di bahunya. “Dan aku gak mau kehilangan momen ini, Mas. Gak akan.”
****
Setelah mandi, keduanya berganti pakaian dan turun ke dapur.
Aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruangan. Alin bergerak lincah, entah karena bahagia atau karena sesuatu yang lain, sementara Jodi duduk di meja, memperhatikan tanpa banyak bicara.
“Mas mau telur setengah matang atau omelet?” tanyanya ceria.
“Terserah kamu aja,” jawab Jodi singkat.
Alin menoleh dan tersenyum menggoda. “Hmm… jangan bilang Mas masih malu sama aku.”
Ia tertawa kecil, lalu meletakkan sarapan di depan Jodi. Gerakannya lembut, tapi ada sesuatu di balik tatapan matanya, seperti kehangatan yang terlalu dalam untuk sekadar rasa sayang.
“Mas…” panggilnya pelan, jari-jarinya menyentuh tangan Jodi di atas meja.
“Mulai hari ini, aku janji bakal bikin Mas jatuh cinta tiap pagi. Aku gak mau Mas lihat perempuan lain selain aku.”
Senyum Alin begitu lembut, tapi di balik matanya… ada sorot yang sulit dijelaskan, campuran cinta, rasa takut kehilangan, dan sesuatu yang lebih dalam.
Sementara Jodi hanya tersenyum tipis. Tiba-tiba, denting ponsel Jodi memecah keheningan. Ia menoleh sekilas, melihat nama rumah sakit terpampang di layar. Dahinya berkerut. Dengan sedikit enggan,
Ia menggeser kursinya dan menjawab cepat.
“Ya, halo…”
“Halo, Dokter Jodi!” suara perawat di seberang terdengar terburu-buru. “Maaf mengganggu, Dok… tapi pasien atas nama Miranda semalaman mengamuk.”
Jodi terdiam sejenak, napasnya tertahan.
“Miranda?” ulangnya pelan, seolah memastikan ia tak salah dengar. “Kamu bilang… mengamuk?”
“Ya, Dok. Kami juga kaget. Selama sepuluh tahun ini, beliau tenang sekali. Tapi semalam tiba-tiba dia berteriak, memecahkan kaca. Kami sudah menenangkan, tapi dia terus menolak disuntik. Kami butuh dokter segera.”
Suara perawat itu terdengar panik, tapi yang membuat Jodi lebih gelisah adalah sesuatu yang lain, ada apa dengan Miranda? Apa penyebab dia mengamuk?
“Siapa mas?” tanya Alin penasaran.
Jodi menutup telepon, menatap istrinya dengan raut serius.
“Dari rumah sakit,” ujarnya, suaranya rendah dan agak berat. “Pasien mas… ada yang… tiba-tiba mengamuk. Mereka butuh mas sekarang.”
Alin menatap Jodi, mencoba tersenyum, walau sedikit kesal. “Pagi-pagi begini, Mas?” suaranya lembut, tapi ada nada kecewa yang nyaris tak bisa disembunyikan.
Ia menurunkan sendoknya pelan, lalu menatap Jodi dengan bibir yang sedikit mengerucut.
“Apa nggak bisa nanti aja? Kan masih banyak dokter lain di sana…” ucapnya dengan nada cemberut yang terdengar setengah manja, setengah memohon.
Rambutnya sedikit terurai, jatuh menutupi sebagian wajahnya, membuat ekspresinya tampak sedikit menggoda.
“Baru juga pagi ini kita semeja lagi, Mas,” lanjutnya pelan, menatap Jodi tanpa berani menatap penuh. “Aku cuma pengen sarapan bareng suamiku… sekali aja, tanpa gangguan.”
Jodi menatapnya lama sebelum menghela napas pelan. Tangannya terulur, membelai lembut pipi Alin.
Sentuhannya hangat, membuat Alin refleks menutup mata, seolah ingin menyimpan rasa itu lebih lama.
“Mas harus pergi, Lin,” ucapnya lembut. “Tapi nanti malam… Mas janji pulang cepat.”
Ia kemudian menunduk sedikit, mengecup bibir Alin dengan lembut.
Kecupan itu singkat, tapi cukup untuk membuat dada Alin bergetar.
Alin membuka matanya perlahan, senyumnya samar.
“Beneran ya mas” bisiknya lirih. “Alin tunggu.”
Jodi tersenyum tipis mendengar suara Alin. Ia berdiri perlahan dari kursinya, lalu mengambil jas putih yang tergantung di sandaran sofa. Gerakannya tenang, tapi ada bayangan gelisah yang tak bisa ia sembunyikan.
“Mas nggak usah buru-buru gitu,” ucap Alin sambil mengawasi langkah Jodi yang kini sedang mengenakan jas dokter kesayangannya.
Jodi menoleh sejenak, bibirnya melengkung lembut. “Iya, sayang.”
Ia merapikan kancing jasnya, lalu mengambil kunci mobil di atas meja.
Sebelum benar-benar melangkah ke pintu, Jodi kembali menatap Alin. Sekilas, senyum kecil itu muncul lagi, hangat tapi samar.
“Mas berangkat ya!”
Alin berdiri, mendekat. Tangannya meraih kerah jas Jodi, memperbaikinya dengan lembut. “Iya, Mas… hati-hati!” ujarnya manja. “Nanti malam Alin masakin makanan kesukaan mas ya?”
Jodi mengangguk lalu menunduk, mengecup kening Alin, sedikit lebih lama.
Begitu ia berbalik dan melangkah keluar, Alin hanya berdiri memandangi punggungnya yang menjauh.. senyum seringai kembali tersungging di sudut bibirnya..
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Aku menyukai segala sesuatu tentangmu, kecuali pergimu.