Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Malam itu, langit Dragunov tampak seperti kaca retak.Salju turun tanpa suara, menutupi halaman depan mansion yang luas dan membeku di atas patung naga besi.Lambang kebanggaan keluarga yang telah berdiri selama empat generasi.
Di balik jendela besar lantai dua, berdirilah seorang pria tinggi dengan mantel hitam yang menggantung rapi di bahunya.Apollo Axelion Dragunov, pewaris terakhir keluarga Dragunov dan juga orang paling ditakuti di bawah tanah Eropa Timur.
Mereka menyebutnya Naga Mafia.
Sebuah gelar yang bukan sekadar sebutan, tapi peringatan.Tatapannya terpaku pada bayangan nya sendiri di kaca. Di sana, ia melihat sosok yang bahkan tak lagi dikenal nya: mata gelap tanpa cahaya, rahang yang mengeras, dan senyum yang sudah lama mati. Lima tahun telah berlalu sejak malam itu , malam yang mengubah segalanya.
Wanita yang dulu mengajarkannya bagaimana mencintai, kini hanya hidup dalam kepingan kebencian.Ia pergi… dengan alasan yang tak pernah dijelaskan.
“Cinta?” ia bergumam lirih pada refleksinya sendiri. “Kata itu hanya jebakan bagi orang yang rela meninggalkan "
Di tangannya, segelas whisky setengah penuh bergoyang pelan.Cahaya dari perapian memantul di permukaannya, menciptakan pantulan api yang menari di matanya api yang sudah lama padam, kini hanya menyisakan bara amarah.
Pintu kayu besar di belakangnya terbuka perlahan, diiringi suara langkah tongkat yang berirama pelan.“Masuk,” katanya tanpa menoleh. Suaranya tenang, tapi dingin.
“Axel ”
suara wanita tua itu menyahut lembut namun mengandung kuasa yang tak bisa dibantah.
Elira Dragunov, sang Matriark berjalan masuk dengan jubah wol tebal berwarna abu. Ia membawa aura yang sama dinginnya dengan cucunya, tapi matanya masih menyimpan kebijaksanaan yang tak bisa ditembus logika.
Di sampingnya, berjalan seorang wanita muda dengan gaun sederhana berwarna abu muda.Wajahnya sebagian tertutup kerudung tipis. Langkahnya tenang, bahkan terlalu tenang untuk seseorang yang berdiri di hadapan pria sekejam Apollo.
“Kau bilang tidak butuh siapa pun,” kata Elira, berdiri di hadapan cucunya. “Tapi keluarga ini membutuhkan penerus.”
Apollo memutar gelasnya. “Jika kau menginginkan penerus, biarlah nama Dragunov padam malam ini bersama aku.”
“Jangan bodoh,” Elira mendesah pelan. “Aku sudah memilih seseorang untukmu.”
Apollo mendengus, menatap ke arah wanita di belakangnya dengan pandangan penuh muak.“Jadi kau pikir aku akan menerima perjodohan seperti anak kecil? Cukup, Nenek. Aku tak akan menikahi siapa pun.”
“Kau akan menikahinya,” Elira berkata tegas. “Atau aku akan memastikan seluruh aset Dragunov beku di bawah namaku.”
Keheningan tajam menyelimuti ruangan.
Hanya suara api dari perapian yang terdengar, seperti napas panjang dari masa lalu yang enggan pergi.
Akhirnya Apollo berbalik.Tatapannya jatuh pada wanita itu dan waktu seolah berhenti.
Mata wanita muda itu teduh, tapi menyimpan sesuatu. Wajahnya asing, tapi garis-garisnya terasa begitu akrab, menyentuh sesuatu yang jauh di dalam dirinya.Kerudung itu bergeser sedikit, dan seberkas cahaya menyingkap bibirnya yang pucat, seolah memanggil namanya dari masa lalu.
Sekilas, Apollo merasa jantungnya berhenti berdetak.Tapi kemudian kesadarannya kembali. Tidak. Tidak mungkin. Wanita itu sudah mati lima tahun lalu dibakar bersama kenangannya.
“Siapa dia?”
Nada suaranya datar, tapi matanya penuh bahaya.“Namanya Lyora Alexandra Dimitriv,” jawab Elira. “Mulai malam ini, ia adalah calon istrimu.”
pria itu menurunkan pandangannya sedikit ke pantulan kaca yang menunjukkan wajah wanita di belakangnya.
“Pergi.” Hanya satu kata, datar dan dingin.
Tapi cukup untuk membuat udara di ruangan itu menegang. Lyora menunduk sedikit, tidak menatap langsung. “Aku tidak datang untuk—”
“Untuk apa? Mencoba menjinakkan binatang peliharaan keluarga Dragunov?”
Apollo berbalik tiba-tiba. Tatapannya menusuk seperti pecahan kaca. “Kalau itu yang mereka suruh, maka kau sudah gagal sejak masuk ke ruangan ini.”
Wajah Lyora tetap tenang. “Aku tidak menganggapmu binatang.”
“Tidak perlu berpura-pura .”
“Aku tidak berpura-pura.”Kedua tatapan itu bertemu. Dingin melawan lembut, kebencian melawan keheningan.
Dalam benturan sunyi itu, sesuatu yang tak terlihat seperti mulai bergerak, entah kebencian yang lama tertidur, atau perasaan yang bahkan Apollo sendiri tak sanggup beri nama.
“Apapun niat mereka menjadikanmu istri Dragunov,” ujar Apollo akhirnya, suaranya merendah seperti bara, “kau hanya akan berakhir terbakar di dalamnya.”
.Lyora menunduk. Ada banyak hal yang ingin ia ucapkan,kalimat pembuka, alasan, mungkin sekadar salam perkenalan yang seharusnya sederhana.Namun sebelum satu pun kata sempat keluar dari bibirnya, sorot mata Apollo sudah lebih dulu menghentikannya.
Tatapan itu dingin, keras, dan intimidatif membuat udara di sekitar mereka seperti membeku.Seolah hanya satu langkah lagi, ia akan benar-benar membunuh setiap niat baik yang tersisa di dalam ruangan itu.
“Jangan lanjutkan,” ucap Apollo perlahan, nyaris seperti bisikan, tapi cukup tajam untuk membuat Lyora kembali menahan napas.
“Tidak perlu mencoba menenangkan aku, tidak perlu menjelaskan apa pun. Aku tahu permainan ini.”
Lyora tetap diam, namun jemarinya yang menggenggam ujung gaunnya tampak bergetar. Apollo melangkah mendekat, cukup dekat hingga Lyora bisa merasakan dingin napasnya yang berbaur dengan aroma logam dan hujan. Ia menatapnya dari atas ke bawah bukan dengan minat, melainkan penilaian
.“Kau datang ke rumah ini sebagai pengantin atau umpan?” Nada suaranya datar, tapi menusuk. Lyora menelan ludah pelan. “Aku tidak datang untuk menjebakmu.”
“Semua orang yang datang ke sini punya alasan.”
“Aku hanya… menjalani apa yang sudah ditentukan.”
Senyum kecil muncul di sudut bibir Apollo , tapi bukan senyum ramah, melainkan sinis.
“Menjalani apa yang ditentukan?” ulangnya pelan. “Kau tidak tahu, Dragunov tidak pernah percaya pada takdir."
Hening.Hanya bunyi petir jauh di luar jendela yang menegaskan jarak di antara mereka.
Lyora akhirnya berani menatap sedikit, suaranya hampir tidak terdengar.
“Kalau itu memang takdir yang kau pilih, maka biarkan aku berada di luar jalannya. Aku tidak datang untuk mengubah hidupmu.”
Apollo menatapnya lama, sebelum akhirnya berpaling. Langkahnya menjauh, berat dan tegas.“Sebaiknya kau ingat itu,” katanya tanpa menoleh. “Aku tidak butuh cinta, apalagi penebusan. Dan jika kau mencoba tinggal di sini lebih lama dari yang kuizinkan…”
Ia berhenti di ambang pintu, suaranya merendah, berbahaya.“…kau akan belajar arti kehilangan dengan cara yang menyakitkan. Pergilah sebelum matahari terbit.”
Nada suaranya tidak tinggi, tidak pula kejam hanya datar, seperti seseorang yang sudah terlalu sering kehilangan hingga tidak lagi peduli.Ia menutup pintu ruangannya dan tak muncul lagi malam itu.
Lyora berdiri lama di lorong batu onyx yang sunyi, memandangi pintu yang baru saja tertutup. Udara malam di mansion Dragunov terasa lebih dingin dari biasanya. Bahkan hembusan angin dari jendela tinggi pun terdengar seperti desah panjang dari dinding tua yang menahan terlalu banyak rahasia.
Ia memandang keluar jendela. Hujan baru saja berhenti. Sisa embun menempel di kaca, memantulkan cahaya lampu kuning yang temaram.Lyora menarik napas dalam separuh ingin pergi, separuh tidak tahu ke mana.
Keesokan paginya.
Langit abu-abu menggantung di atas halaman depan mansion. Burung-burung gagak menatap dari pagar besi tinggi yang menjulang, seperti penjaga sunyi dunia yang tak ramah.
Apollo berjalan melewati koridor panjang menuju ruang utama, jas hitamnya rapi seperti biasa. Ia tidak tidur semalam; matanya tajam tapi kosong. Ia tidak berharap apa pun pagi itu, hanya ingin memastikan perintahnya ditaati.
Namun saat langkahnya berhenti di ujung tangga marmer, pandangannya tertumbuk pada sosok itu.Wanita itu masih di sana.
Lyora duduk di kursi dekat jendela, tangannya sibuk melipat sesuatu, selimut putih kecil yang ia temukan di kamar tamu.
Rambutnya terurai sebagian, cahaya pagi menimpa wajahnya yang lembut.Apollo berdiri lama di tempatnya, tak berkata apa pun. Ketika akhirnya berbicara, suaranya rendah dan nyaris tak terdengar.
“Tidak mengerti bahasa perintah, rupanya?”
Lyora menoleh perlahan, menatapnya tanpa ketakutan, hanya dengan kesedihan yang tenang.“Aku mengerti,” katanya pelan. “Tapi jika aku pergi malam tadi, aku tidak tahu akan ke mana. Dan sejujurnya, aku tidak ingin pergi tanpa tahu alasan kebencianmu.”
Hening. Suara detak jam di dinding terdengar jelas di antara mereka.Apollo menatapnya lama, sorot matanya perlahan berubah dari dingin menjadi sesuatu yang lebih gelap , campuran antara kemarahan dan luka lama yang berdenyut.
“Aku tidak membencimu karena siapa dirimu,” katanya akhirnya, “tapi karena wajahmu mengingatkan aku pada seseorang yang seharusnya sudah mati bersama semua kenangan itu.”
Lyora menelan ludah pelan. Ia tidak tahu siapa yang dimaksud Apollo, tapi dari nada suaranya, ia tahu: wanita itu adalah masa lalu yang masih hidup di balik setiap keputusan Dragunov.
eh ko gue apal ya 😭