Kayla terkenal sebagai ratu gelud di sekolah-cewek tempramen, berani, dan udah langganan ruang BK. Axel? Ketua geng motor paling tengil sejagat raya, sok cool, tapi bolak-balik bikin ortunya dipanggil guru.
Masalahnya, Kayla dan Axel nggak pernah akur. Tiap ketemu, selalu ribut.
Sampai suatu hari... orang tua mereka-yang ternyata sahabatan-bikin keputusan gila: mereka harus menikah.
Kayla: "APA??! Gue mending tawuran sama satu sekolahan daripada nikah sama dia!!"
Axel: "Sama. Gue lebih milih mogok motor di tengah jalan daripada hidup seatap sama lo."
Tapi, pernikahan tetap berjalan.
Dan dari situlah, dimulainya perang baru-perang rumah tangga antara pengantin paling brutal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 8
Api unggun menyala, percikan apinya sesekali menari ke udara malam yang dingin.
Kayla duduk santai di kursi lipat, menatap bara api yang memerah, sementara Revan di sampingnya merokok dengan tatapan kosong.
“Van, lo deketin Salsa gih. Kasian, dia suka sama lo,” ucap Kayla sambil terkekeh kecil, matanya nakal, menatap sahabatnya yang justru menunduk.
Revan hanya menarik napas panjang, rokok di tangannya mulai habis separuh. “Males, Kay.” Suaranya datar, seolah menutup semua kemungkinan.
Kayla menoleh, menatapnya lama. “Lo jangan nggak pede gitu, Van. Lo keren, loh. Makanya gue bawa-bawa lo ke mana-mana, kayak pacar gue.
Haha!” Tawanya pecah, berusaha mencairkan suasana.
Namun Revan tidak menjawab. Ada sesuatu di matanya yang tak tersampaikan, seolah kalimatnya tercekat di tenggorokan.
Sebelum ia sempat melanjutkan, sosok Putra muncul, melangkah mendekat dengan percaya diri.
“Kay, ke sana yuk.” Putra menunjuk ke arah tempat geng Axel berkumpul, suara musik dan teriakan terdengar dari kejauhan.
Kayla menoleh singkat, lalu tersenyum samar. “Nggak ah. Gue sama Revan aja. Dia nggak ada temen.”
Putra mengernyit, menunjuk Romi yang sedang asyik dengan pacarnya. “Lah, itu ada kan?”
Kayla terdiam, bingung.
Revan tersenyum tipis lalu berbisik pelan, cukup untuk Kayla dengar, “Udah, lo ngobrol aja sana. Tapi jangan jauh-jauh, jangan ke tempat sepi juga.”
Kayla meliriknya penuh arti, lalu berdiri. “Lo ngobrol sama Salsa ya, Van.”
Revan mengangguk, meski matanya sempat mengikuti Kayla yang melangkah pergi bersama Putra.
Kayla berjalan menuju kerumunan geng axel dengan langkah ragu-ragu namun dari sudut mata, Axel menatapnya tajam, resah jika Kayla melihat botol miras di tangannya.
Ia langsung menarik Putra menjauh.
“Lo ngapain bawa dia?” Axel menggertakkan gigi, suaranya menahan amarah.
Putra tertawa kecil, santai. “Lo tau kan, dia gebetan gue.”
Axel menatapnya geram. “Masalahnya dia rese. Gue mau mabok, anjir.”
Putra mengangkat tangan pura-pura pasrah. “Sorry, gue bawa ke tempat sepi deh.”
Axel terdiam sejenak, lalu menatapnya dengan nada mengancam. “Lo jangan ngapa-ngapain dia, anjir.
Gue hajar lo.”
Putra malah terkekeh. “Lah, kenapa lo peduli? Lo musuh dia, kan?”
Axel mendengus, matanya serius. “Bapaknya baik sama gue. Gue banyak hutang budi sama bapaknya. Lo macem-macem sama dia, gue hajar.”
Putra tersenyum sinis, lalu menepuk bahu Axel. “Tenang, Xel. Sebelum lo hajar gue, gue udah abis duluan sama Kayla. Dia lebih sangar dari lo.” Ia kembali tertawa kecil sebelum berbalik menghampiri Kayla.
“Di sana yuk,” ajaknya santai, menunjuk warung pinggir jalan.
Sementara itu, Revan masih terdiam di depan api unggun. Pandangannya mengikuti Kayla dari kejauhan, sampai lamunan itu buyar ketika sebuah tangan menepuk pundaknya.
“Hay, Van. Apa kabar lo?” suara manis Salsa membuatnya menoleh. Gadis itu tersenyum, sedikit gugup.
Revan ikut tersenyum, menepuk tempat duduk di sebelahnya. “Baik, Sa. Duduk.”
Salsa duduk hati-hati, lalu melirik sekilas. “Kayla sama Putra ya?” tanyanya basa-basi.
“Iya.” Revan menarik napas. “Dia baik nggak sih? Was-was gue.”
Salsa menahan tawa kecil. “Lo nggak percaya Kayla, Van?”
“Ya percaya sih… Kayla bisa jaga diri.” Revan tersenyum samar, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Percakapan pun mengalir. “Tumben bisa main?” tanya Revan.
Salsa menunduk, tersenyum malu. “Karena tau mainnya sama Kayla, jadi diizinin.”
“Kok nggak pernah gabung sama kita?” tanya Revan lagi.
“Malu.” Salsa tertawa kecil, menutup wajahnya sebentar.
“Kok malu sih? Dari kecil kan suka main bareng.” Revan terkekeh.
“Iya, sih. Tapi sekarang udah punya malu.” Salsa menatap api, pipinya memerah.
Revan tersenyum. “Si Kayla mah nggak ada malunya.”
Salsa menoleh sekilas, tersenyum malu-malu. “Beda lah. Kayla deket sama lo.”
Revan sempat menatapnya lama. “Kan lo juga deket, Sa. Dulu…”
Salsa buru-buru menunduk. “Udah, ih. Jangan dibahas. Ya ampun, kok gue malu gini ya…”
Revan hanya terkekeh, membiarkannya. Mereka pun larut dalam obrolan ringan, seolah waktu melambat.
Di sisi lain, Kayla dan Putra duduk di kursi warung sederhana. Aroma jagung bakar mengepul hangat.
Putra bersandar santai, menatap Kayla.
“Kay, lo kok nggak jawab soal gue pernah nembak lo? Dulu lo bilang pikir-pikir. Sekarang gimana?”
tanyanya dengan senyum menunggu jawaban.
Kayla terkekeh, menatapnya malas. “Nggak tau, Put. Mantan lo horor.”
Putra tertawa kecil. “Yah, kok mikirin mantan gue sih?”
Kayla menoleh, tatapannya serius. “Kenapa lo suka sama gue? Gue cewek trouble maker, lo tau sendiri banyak yang nggak suka sama gue. Lo malah nembak gue. Heran.”
Putra mengangkat bahu. “Lo cantik. Lo baik, menurut gue.”
“Yakin itu aja? Bukan karena hal lain?” Kayla menatapnya menantang.
Putra tersenyum bingung. “Hal lain apaan?”
Kayla mengangkat alis, terkekeh. “Ya karena lo nggak ada pasangan. Liat aja geng lo, semua bawa pasangan. Lo sendirian.”
Putra ikut tertawa. “Iya, itu juga sih.”
Lalu dengan nada serius, “Jadi gimana, Kay?”
Kayla terdiam sebentar, lalu nyengir. “Ya udah deh. Dari pada gue jomblo.”
Putra menghela napas lega, lalu menggeleng. “Yah, jadian kok nggak romantis gini. Lo suka nggak sama gue?”
Kayla terkekeh. “Suka. Kan gue orangnya cuek. Lo berharap apa? Gue cium lo gitu?”
Putra malah terkekeh, menatapnya penuh arti. “Ya boleh juga sih. Dingin soalnya, Kay.”
Kayla menepuk jidat, tertawa kecil. “Hmm, otak cowok. Ngeres semua.”
Mereka pun makan jagung bakar bersama, obrolan berlanjut dengan tawa ringan.
Di tempat lain, Laras dan Anya duduk bersama, memperhatikan semua orang yang tampak berpasangan.
“Nyesel gue datang,” gumam Laras sambil mengunyah snack.
Anya terkekeh. “Haha, tenang. Ada gue.”
“Masa sih? Liat tuh, si Kayla awalnya sama sahabatnya, sekarang sama Putra.”
“Biarin lah. Dari pada jomblo. Lagian kalau dia sama Putra, si Axel nggak bakal berani ganggu lagi.” Anya berbisik, nada serius.
Laras mengangguk, “Iya juga.”
Malam makin larut. Suara nyanyian sumbang, tawa keras, dan bau alkohol menyelimuti perkemahan.
Sebagian geng Axel malah makin brutal, ada yang mabuk, ada yang berbuat mesum di balik tenda.
Kayla menatap ke arah mereka, wajahnya masam. “Si Axel mabuk ya itu…”
Putra menoleh, lalu menggenggam tangan Kayla lembut. “Udah, jangan liatin dia. Dia nggak akan berani ganggu kamu lagi. Kalau sama aku.” Senyumnya tipis tapi penuh keyakinan.
Kayla mendengus geli. “Cieee… aku kamu.”
“Iya dong, masa lo gue sih,” jawab Putra sambil menggenggam tangannya lebih erat.
Kayla menguap kecil. “Aku ngantuk nih, pamit ya.”
“Aku anterin ke tenda,” ucap Putra, masih menggenggam tangannya.
“Oke.”
Mereka berjalan beriringan, bayangan tubuh mereka bergoyang di bawah cahaya api unggun yang meredup. Kayla akhirnya masuk ke tendanya, terlelap bersama teman-temannya.
Revan dan Romi di tenda berbeda, sementara Putra kembali bergabung dengan gengnya.
Malam itu, langit sunyi, hanya suara huru-hara geng Axel dan bisikan angin dingin yang menemani.