GUBRAAKK !! Suara itu menyerupai nangka berukuran 'babon' jatuh dari pohon yang tinggi. Xavier (Zac) segera berlari meloncati semak-semak untuk segera mengambil nangka yang jatuh. Sesampainya di bawah pohon nangka, Xavier tidak melihat satu pun nangka yang jatuh. Tiba-tiba...
"Siapapun di sana tolong aku, pangeran berkuda putih, pangeran kodok pun tidak apa-apa, tolong akuu ... "
Di sanalah awal pertemuan dan persahabatan mereka.
***
Xavier Barrack Dwipangga, siswa SMA yang memiliki wajah rusak karena luka bakar.
Aluna Senja Prawiranegara, siswi kelas 1 SMP bertubuh gemoy, namun memiliki wajah rupawan.
Dua orang yang selalu jadi bahan bullyan di sekolah.
Akankah persahabatan mereka abadi saat salahsatu dari mereka menjadi orang terkenal di dunia...
Yuks ikuti kisah Zac dan Senja 🩷🩷
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Zac dan Senja
...Kanker Ovarium...
Tubuh Kanaya terhempas di lantai dingin kamar rawat inap Zac, ia duduk bersimpuh sambil mengurut dadanya. Berusaha setegar apapun jika dihadapkan dengan kerasnya hati sang suami, adalah sebuah siksaan terberat bagi seorang istri. Kanaya tidak ingin di madu meski ia tahu selama dua tahun terakhir mempunyai kekurangan, tidak bisa memberi nafkah batin pada suaminya, karena ia mengidap kanker ovarium.
Tapi Reno bersikukuh tidak ingin menceraikan Naya, alasannya karena masih terlalu cinta. Lantas apa arti cinta jika di tempat lain ia sudah berbagi peluh dan desah dengan wanita lain. Sejak lima bulan lalu sikap Reno berubah, sering berbohong dan jarang pulang ke rumah. Semua kebohongan Reno terbongkar setelah sebuah DM dari akun fake masuk ke akun media sosial Naya menyatakan kalau Reno selingkuh dan akun itu mengirimkan foto-foto kebersamaan Reno dengan seorang pramugari. Bahkan foto-foto syur mereka di sebuah pulau dengan pakaian pantai yang minim.
Tekad Naya sudah bulat berpisah dari suaminya, ia memilih hidup bersama ketiga anaknya. Namun, perceraian di militer tidaklah mudah. Terlebih jabatan Reno di skuadron sebagai pimpinan akan menjadi taruhannya.
"Mama... " panggil Zac lembut dari tempat pembaringannya.
Kanaya mengusap airmatanya dengan kasar, ia mencoba berdiri meski tubuhnya terasa lelah dan lemas. Ia hampir terjatuh saat mencoba berdiri tegak.
Hati Zac terasa perih melihat wajah lelah dan sendu mamanya. Sebagai anak ia tidak bisa berbuat banyak. Ia ingin keluarganya rukun kembali, tidak ada perceraian di antara kedua orangtuanya. Namun jika pernikahan hanya akan menyakiti perasaan mamanya terus menerus, disaat justru mamanya butuh dukungan untuk penyembuhan Kanker. Seratus persen ia mendukung perceraian itu.
"Apa yang harus mama lakukan, Zac?" tanya Kanaya getir. Ia duduk di samping kasur Zac.
"Jika papa memilih kebahagiaannya sendiri, biarlah dia pergi. Zac tidak ingin mama mengemis kasih sayang lagi dari papa. Kita bisa hidup bahagia berempat, mam. Mama punya Zac, Lona dan Loni. Jika mama ingin berhenti menjadi dokter sekalipun untuk fokus penyembuhan, kita masih bisa kuat berdiri. Uncle Milo pasti akan membantu perekonomian kita. Zac akan belajar bisnis dari uncle dan mengelola saham yang kita punya."
"Maafkan mama yang tidak berhasil memberikanmu rumah yang nyaman untukmu pulang, nak."
"Ini semua bukan salah mama. Mama sudah berusaha menjadi istri terbaik untuk papa. Tunggu Zac lulus SMA lima bulan lagi, setelah itu kita pergi tinggalkan papa," ucapnya menguatkan hati mamanya.
Tok Tok
Wajah mas Jo menyembul dari balik pintu. Pria bujang yang memutuskan tidak akan menikah itu tersenyum kikuk saat bertatapan dengan Kanaya yang duduk di samping Zac. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kakinya melangkah dua langkah untuk masuk ke dalam.
"Zac, bagaimana keadaanmu? Sam ingin bertemu denganmu. Om Jo udah ijin dokter untuk membawamu sebentar ke ruang rawat Sam."
"Aku sudah lebih baik, aku mau bertemu Sam, Om." Zac mengusap pipi mamanya dengan lembut, "Mam ... Aku ke kamar Sam dulu. Mama tunggu di sini dan jangan sedih lagi," pesannya penuh perhatian.
Kanaya mengangguk dan mengelus rambut putranya dengan lembut, ia membantu Zac pindah ke kursi roda.
"Biar saya yang bantu, mbak Naya," ucap Jo.
"Zac, kalau kamu terasa pusing cepat kembali ya."
"Jangan khawatir mbak, aku akan jaga Zac seperti adikku sendiri."
...Dada ini isinya kamu semua, Senja...
Saat pintu ruang rawat Sam terbuka, senyuman Sam dan Senja menyambut pandangan Zac. Senyuman itu hangat, mengalahkan udara dingin dari air conditioner kamar VVIP tempat Sam di rawat. Gadis gemoy yang memakai baju biru langit itu berdiri menyambut kedatangan Zac.
"Hai ka! Terima kasih ya sudah beri pertolongan pertama untuk kakak aku," sambutnya dengan wajah ceria.
Saat kaki Senja melangkah mendekatinya, dada Zac berdegup dengan kencang, kedua telapak tangannya meremas sandaran tangan kursi roda dengan gelisah. Bulir keringat tiba-tiba memenuhi pori-pori di keningnya. Kelopak matanya tidak ingin berkedip menunggu detik-detik Senja mendekat ke arahnya.
"Hai ka!" Senja melambaikan telapak tangannya di depan wajah Zac.
"H-hai... " jawab Zac gugup
"Ck! Pemandangan apa ini. Senja, jangan berlebihan di depan Zac. Dia bisa mimisan karena terlalu kagum padamu." Sam mendengus kesal melihat Zac gugup dan pipinya memerah seperti kepiting rebus.
"Mimisan? Kakak Zac sakit apa?" tanya Senja khawatir.
"A-ahh... nggak kok, aku nggak sakit," jawabnya gugup.
"Zac, kenapa tanganmu diinfus, apa kamu sakit?" tanya Sam, ada nada khawatir pada suaranya.
"Masih bertanya? Kamu pikir aku akan baik-baik saja setelah menggendong seekor jerapah dari lapangan bola ke ruang medis. Itu jauh bro! Untung saja punggungku terbiasa mengangkat karung beras dan karung pupuk di rumah om Jo," sahut Zac seraya menggerakkan kursi rodanya dan mendekati sisi ranjang.
"Hey! Tinggi kita tidak jauh berbeda, hanya aku jauh lebih tampan darimu," sanggah Sam.
"Kalian sama-sama tampan kok," sahut Senja.
"Nja, jangan puji dia, aku tidak suka mendengarnya." Sam melirik sinis ke arah adiknya yang sikapnya sangat polos.
Zac mendengus, "Tidak tahu terima kasih! Kau tahu apa yang aku inginkan, Sam. Ingat janjimu, jika aku bisa melampaui mu, apa yang akan kamu kabulkan untukku," ucapnya, karena sikap Sam terlalu protektif pada Senja.
"Kalian punya janji apa?" Senja menelisik mata Sam dan Zac, ada persaingan yang kentara di antara keduanya.
"Anak kecil nggak perlu tau, sikat gigi aja masih harus diingatkan mama, mau tidur harus mimik susu dari dot," ledek Sam.
"Kaka! Jangan bongkar aibku, nggak jelas banget deh!" gadis itu menghentakkan kakinya dengan kesal.
Zac mengulum senyuman saat melihat pipi Senja yang melembung dan memerah.
Mengabaikan kemarahan adiknya, Sam beralih menatap Zac. "Keadaanmu bagaimana? Apa kamu ada cidera?" tanyanya seraya memindai penampilan Zac. "Mengenai biaya rumah sakit, papaku akan mengurusnya, kamu tidak perlu khawatir—" ucap Sam.
"Tidak perlu, aku punya BPJS kelas 1. Cukup bagiku untuk tidur nyaman di kamar rawat, lagian aku juga hanya butuh istirahat satu hari. Nanti sore aku akan pulang."
"Kalau gitu aku akan antar kaka pulang, aku kangen masakan mbok Darmi," sahut Senja.
"Nja, yang ada di otakmu hanya makan saja. Ingat pesan mama, kamu harus diet untuk kompetisi balet bulan depan," tegur Sam
"Ba—balet? Kamu ikut balet?" tanya Zac menoleh ke arah Senja.
Gadis itu mengangguk, "pasti kaka mau bilang kan, mana bisa cewe gendut kayak akuu gini belajar tari balet, iya ngaku!"
"Bu—bukan begitu... Apa engkel kakimu akan baik-baik saja?!" tanya Zac keceplosan
"Hahaha... Sudah aku duga kamu akan mengatakannya, Zac." Sam terbahak keras. "Senja, kau dengar? Setiap orang pasti akan mengatakan hal yang sama, ayo lah diet, biar kami menonton kompetisi kamu tidak dengan perasaan khawatir kakimu akan keseleo."
Gadis itu merengut, ia melemparkan kulit jeruk ke wajah Sam. "Semua sama saja! Awas ya kamu ka, aku laporin papa karena sering membullyku. Kamu juga kaka Zac, aku sebel kamu!" Ia langsung menjaga jarak dan menjauh, sofa empuk di pojokan ruang menjadi tempat ngambeknya kali ini.
"Nja, bukan begitu maksudku, aku tidak seperti Sam. Aku hanya khawatir," cegah Zac dengan nada frustasi.
"Sama saja! Udah jangan ada yang ajak ngomong aku. Aku kesal!" gadis itu melipat tangannya di atas dada, lalu memalingkan wajahnya ke arah jendela.
Obrolan Sam dan Zac berlanjut seputar kronologi evakuasi Sam ke ruang medis dan akhirnya dibawa menggunakan helikopter milik keluarganya, lebih dalam tentang sepak bola juga tentang penyakit bawaan yang dimiliki Sam.
Namun tatapan mata Zac tidak pernah beralih dari Senja yang kini duduk memunggungi posisi mereka. Gadis itu sedang menunduk membaca buku, jemarinya sibuk memilin rambutnya yang berwarna cokelat tua dan bergelombang. Detak jantung Zac masih saja tidak berdetak dengan normal. Apalagi saat Senja terbatuk karena cara makannya yang terburu-buru.
Hari itu dada Zac dipenuhi Senja, semua tentang Senja. Hanya dengan melihat gerak gerik kecil gadis gemoy itu, kesedihan atas rencana perceraian kedua orangtuanya menguap begitu saja.
Kehangatan percakapan dengan Sam dan semua tentang Senja pada saat itu, tiba-tiba terganggu oleh teriakan arogan penuh kebencian dari Shaka yang tiba-tiba saja datang dan membuat gaduh ruangan.
"Siapa yang mengundang cowo miskin itu ke sini! Siapaa... ?!" teriaknya.
"Shaka! What's wrong with you?!" tanya Sam
"Kakak Shaka bikin aku kaget... Huhuhu" jerit Senja sambil memegang dadanya.
"Diam kau anak cengeng!" bentaknya sambil menunjuk Senja, nadanya tinggi dan matanya melotot sempurna.
"Kak Sam, jantungku terasa mau lepas saat tahu kakak masuk rumah sakit. Dari Las Vegas aku ikut penerbangan pertama dengan perasaan tidak karuan, dan ternyata... Ternyata kaka di sini sedang bersenda gurau dengan musuh kita! Aku benci melihat ini Kak, aku benci!" teriaknya dengan gaya dramatis penuh kekecewaan.
"Shaka, kendalikan dirimu!" hardik Sebastian yang baru saja masuk ke dalam ruangan.
,, perbedaan usia itu jauh lebh bagus dn lebh matang dan dewasa 😌
tapi berdua 😚
kekny harusny Zac ya 🤔
,, selamat k Dee,, semoga kontrakny lulus 🤗