NovelToon NovelToon
KARENA MEMBUKA MATA BATIN

KARENA MEMBUKA MATA BATIN

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Mata Batin / Kutukan / Tumbal
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!

Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.

Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.

Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.

Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8. TAK WAJAR

Udara malam itu masih berat, seolah bayangan yang sejak tadi menghantui Sadewa enggan benar-benar pergi. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat seperti kain yang sudah terlalu sering dicuci. Namun, kini di hadapannya berdiri dua pria yang baru saja mengusir kengerian dari kamar sempit itu. Salah satunya tinggi dengan sorot mata tajam namun tenang, seakan menyimpan ribuan kisah yang tak pernah terucap. Dialah yang pertama kali bicara, suaranya berat namun menenangkan, memperkenalkan diri dengan sederhana.

"Aku Pratama. Panggil saja Tama," ucap pria tinggi itu dengan senyum.

Yang lain lebih muda, wajahnya masih menyisakan garis polos remaja meski matanya menyimpan keseriusan yang tak biasa untuk usianya. Rambutnya agak berantakan seperti habis berlari, tubuhnya lebih ramping dibanding Tama, namun sikapnya sigap dan waspada.

"Aku Arsel," kata pria muda itu.

Nama itu meluncur tanpa penjelasan lebih jauh. Hanya dua suku kata, namun cukup untuk menancapkan kesan, bahwa keduanya bukan sekadar orang asing sekarang.

Sadewa hanya terdiam, suaranya tercekat di tenggorokan. Ia masih setengah percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Bagaimana mungkin dua orang asing datang begitu saja ke kamarnya, mengusir makhluk-makhluk menyeramkan yang membuatnya hampir kehilangan kewarasan?

Seolah mengerti kebingungan Sadewa, Tama melanjutkan, kali ini dengan suara lebih lembut, "Kami bisa melihat mereka, sama seperti kamu. Bedanya, kami sudah terbiasa sejak kecil."

Arsel menambahkan dengan nada datar, namun penuh keyakinan, "Dan kami tahu cara menghadapi mereka. Kami belajar dari pihak yang mumpuni untuk melawan mereka."

Sadewa menelan ludah, matanya berkaca-kaca. "Jadi ... aku tidak gila?" suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.

Tama menatapnya dalam, lalu menggeleng pelan. "Tidak, Sadewa. Kau tidak gila. Kau hanya ... membuka mata pada sesuatu yang kebanyakan orang memilih untuk tak pernah tahu."

Hening sejenak menyelimuti ruangan. Hanya suara napas Sadewa yang masih belum stabil, dan derit samar angin malam di luar jendela.

Kemudian Arsel menepuk bahu Sadewa, singkat tapi penuh makna. "Sebelum kita bicara lebih jauh, ada sesuatu yang harus kau lakukan. Mandi."

"Mandi?" Sadewa memandangnya bingung.

"Iya," jawab Arsel. "Dengan air garam dan perasan jeruk purut. Campurkan dalam air mandi. Itu bukan hanya untuk menenangkan pikiranmu, tapi juga membersihkan energi negatif yang sudah terlalu menumpuk dalam diri kamu. Percayalah, tubuh kamu udah seperti magnet bagi mereka. Kita harus kurangi daya tarik itu."

Sadewa ragu. Ia lelah, sangat lelah. Bahkan sekadar berdiri pun membuat lututnya bergetar. Namun, sorot mata Tama membuatnya tak bisa membantah.

"Mandilah. Kami akan menjaga kamar ini. Nggak ada yang akan masuk, baik yang terlihat maupun tak terlihat."

Akhirnya, dengan langkah gontai, Sadewa menurut. Ia menuju kamar mandi yang memang berada di kamarnya, meninggalkan kedua pria itu.

Begitu pintu kamar tertutup, Arsel langsung menoleh pada Tama. Suaranya merendah, nyaris hanya bisikan.

"Kau merasakannya, kan?" tanya Arsel dengan wajah waspada.

Tama mengangguk pelan. "Ya. Terlalu banyak. Tak wajar."

Arsel menggigit bibir, wajahnya menegang. "Ini bukan sekadar efek mata batin yang baru terbuka. Sadewa memang bisa melihat mereka, tapi kenapa begitu banyak makhluk berkumpul di sini? Mereka datang dari segala arah, seperti dipanggil oleh sesuatu."

Tama menatap dinding kamar yang masih bergetar tipis akibat energi tak kasat mata yang sempat memenuhi ruangan tadi. "Ada sesuatu yang lebih besar. Rumah ini atau anak itu, entah apa yang membuatnya jadi pusat perhatian mereka."

"Kalau begitu, pasang pagar," desak Arsel. "Sekarang juga. Aku nggak mau kita lengah dan kehilangan anak ini. Sesuatu seperti sedang mengincarnya."

Pratama terdiam sebentar, lalu mengangguk mantap. Ia menutup mata, menarik napas panjang, lalu merapalkan sesuatu dengan lirih. Tangan kanannya membuat gerakan tertentu di udara, seolah membangun garis-garis tak kasat mata yang membentang dari satu sudut ruangan ke sudut lain. Arsel memerhatikan dengan khidmat, matanya mengikuti setiap gerakan itu.

"Dengan pagar ini," bisik Tama, "nggak ada yang bisa menembus. Setidaknya untuk malam ini."

Arsel menegakkan tubuh, menatap sekeliling kamar yang kini terasa lebih tenang, lebih hangat. "Bagus. Tapi kita harus cari tahu, kenapa mereka begitu tertarik pada Sadewa."

Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Sadewa masuk dengan rambut masih basah, tubuhnya lebih segar meski matanya masih menyimpan kelelahan yang dalam. Ia mengenakan pakaian bersih, dan ada sedikit kelegaan di wajahnya. Seolah mandi dengan campuran air garam dan jeruk purut benar-benar mengangkat sebagian beban tak terlihat dari dirinya.

Namun, sebelum ia sempat duduk, pintu kembali diketuk. Kali ini suara langkah-langkah yang ia kenal. Pintu terbuka, dan tampak ibu Sadewa masuk bersama kedua kakaknya. Di tangan mereka ada nampan berisi makanan dan minuman.

"Dewa?" suara ibunya lirih, penuh kasih sayang dan juga kekhawatiran yang tak tertutupi. "Kamu harus makan. Sudah terlalu lama kamu nggak menyentuh apa pun."

Kakak pertamanya, Naras, seorang pria dewasa dengan wajah lelah namun penuh kepedulian, meletakkan semangkuk sup hangat di meja.

"Ayo, makan dulu. Tenagamu harus kembali. Abang udah bawain makanan," kata Naras.

Kakak keduanya, Dian, seorang perempuan dengan sorot mata teduh, menambahkan, "Kami nggak akan tanya apa-apa sekarang. Kamu hanya perlu makan dan istirahat."

Sadewa terdiam, matanya berair. Ia begitu rapuh, namun kehadiran keluarga membuat dadanya sedikit hangat. Ia duduk perlahan, lalu mulai menyuap makanan itu. Tangannya gemetar, tapi setiap sendok membawa sedikit demi sedikit rasa hidup kembali.

Tama dan Arsel hanya memerhatikan dari sisi ruangan. Mereka tidak ikut bicara, membiarkan keluarga itu memberi ruang bagi Sadewa untuk merasa aman. Namun di balik keheningan itu, keduanya saling bertukar pandang. Ada sesuatu yang mereka simpan, sesuatu yang belum saatnya diucapkan.

Malam itu terus bergulir pelan, seperti enggan meninggalkan ruang keluarga kecil itu. Lampu kamar Sadewa menyala kuning redup, memberi bayangan lembut yang menempel pada dinding. Di sisi ranjang, Sadewa masih makan perlahan, ditemani ibu dan kakak-kakaknya yang menahan diri untuk tidak bertanya terlalu jauh.

Tama dan Arsel tetap berdiri di sudut kamar, seakan menjadi penjaga tak kasat mata. Sekilas, dari luar mereka tampak hanya dua tamu asing yang kebetulan hadir di tengah keluarga yang kacau. Namun, jika diperhatikan lebih dekat, mata mereka terus berkeliling, meneliti setiap sudut ruangan, setiap aliran udara yang terasa janggal, seakan peka terhadap sesuatu yang orang lain tak mampu lihat.

Ketika perhatian keluarga terpusat pada Sadewa yang mulai menghabiskan makanannya, Arsel menyentuh lengan Tama pelan, memberi isyarat. Mereka bergeser sedikit ke dekat jendela, menjauhkan diri dari telinga yang tak seharusnya mendengar percakapan mereka.

Suara Arsel turun menjadi bisikan.

"Tama, kau benar-benar merasakannya, kan?"

Tama tak langsung menjawab. Ia menutup matanya sebentar, menarik napas panjang seolah sedang mengukur sesuatu yang tak kasat mata. Baru kemudian ia berkata pelan, "Ya. Rumah ini ... tidak seperti rumah biasa. Dindingnya seolah menyimpan jejak, jejak yang sudah terlalu lama menempel."

Arsel menelan ludah, kerongkongannya kering. "Jejak?"

Tama mengangguk. "Energi yang tak pernah dibersihkan. Bukan sekadar sisa dari arwah yang tersesat, tapi seperti ada sesuatu yang sengaja ditinggalkan. Seperti penanda. Aku kenal rasa ini. Sama seperti di rumah nenekku."

Arsel merapatkan tubuhnya, suaranya menegang ketika mendengar Tama membawa kata neneknya dalam obrolan ini, yang artinya ini jauh lebih berbahaya dari sekedar mata batin yang terbuka. "Kau yakin?"

Tatapan Tama terarah ke langit-langit, lalu ke sudut ruangan yang paling gelap. "Mungkin. Agak samar, karena terlalu banyak energi dari mereka yang datang, jadi sulit memastikannya. Tapi jelas ... terlalu banyak yang berkumpul. Bahkan untuk anak dengan mata batin baru terbuka sekali pun, jumlahnya nggak wajar. Sangat nggak wajar. Hebat Sadewa masih bisa bertahan dengan semua teror itu dengan pengalaman pertamanya ini. Aku kalau jadi dia mungkin sudah nggak kuat."

Arsel diam lama, lalu beralih menatap Sadewa yang masih sibuk dengan makanannya. Ia melihat tubuh kurus itu, wajah pucat yang mulai mendapatkan warna kembali.

"Dan anak itu ... ada sesuatu pada dirinya, Tama. Aku tidak tahu apa, tapi sejak pertama kali aku menatap matanya, aku merasa ada lebih dari sekadar mata batin yang terbuka. Kalau pun terbuka tidak akan selebar ini. Aku bahkan merasakan tali itu di dirinya."

Tama menoleh cepat. "Kau merasakan itu juga?"

"Ya," jawab Arsel mantap. "Mungkin itu salah satu alasan kenapa para arwah hingga setan itu datang tanpa henti. Mereka tidak hanya tertarik ... tapi juga lapar."

Ucapan terakhir itu membuat udara di antara mereka semakin berat. Hening sesaat, hanya terdengar suara sendok Sadewa beradu dengan mangkuk.

Tama menghela napas panjang lalu berkata, "Kalau begitu, kita harus lebih hati-hati. Pagar yang kubuat hanya menahan mereka dari luar, tapi kalau sumbernya ada di dalam ... pagar tak ada artinya."

Arsel menggertakkan giginya, lalu menunduk. "Aku tahu. Tapi kita nggak bisa mengatakan semua ini sama keluarganya sekarang. Mereka bahkan belum bisa menerima kenyataan bahwa anak itu bisa melihat yang tak kasat mata."

"Benar," sahut Tama pelan. "Kita harus biarkan Sadewa pulih dulu. Biarkan dia merasa aman. Baru setelah itu, kita cari tahu apa yang sebenarnya bersemayam dalam dirinya."

Arsel menoleh ke arah ranjang, memerhatikan wajah muda yang rapuh itu. Ada iba, sekaligus rasa waspada yang samar.

"Kau yakin kita bisa menjaganya? Kalau yang aku rasakan benar ... mungkin anak ini salah satu dari anggota kita. Mungkin dia salah satu penjaga," ucap Arsel dengan berbisik, hampir tak terdengar.

Kata-kata itu membuat Tama terdiam lama. Tatapannya tajam menusuk ke gelap sudut ruangan, seakan mencari jawaban di balik bayangan yang enggan terbuka.

"Kita cari tahu," jawabnya akhirnya, dengan suara rendah dan berat. “Tapi satu hal yang pasti, malam ini hanyalah permulaan dari sesuatu yang besar. Jika benar, kita menemukan anggota ke terakhir."

Ketika Sadewa akhirnya meletakkan sendok dan bersandar lelah, senyum tipis ibunya menyelip di wajah yang telah lama muram. Kakak-kakaknya menutup nampan makanan, merasa lega meski khawatir masih membayangi.

Namun di sudut kamar, dua pria asing itu saling bertukar pandang, mata mereka penuh rahasia yang belum terucap.

Tama menggenggam jemarinya erat, sementara Arsel merasakan bulu kuduknya meremang tanpa sebab. Karena di tengah kehangatan keluarga itu, mereka berdua tahu sesuatu yang jauh lebih besar sedang mengintai, sabar menunggu waktu untuk menampakkan diri.

Dan tanpa seorang pun menyadarinya, di kaca jendela kamar Sadewa, dua sosok hitam besar dan tinggi berdiri menatap ke dalam. Sosok yang luar biasa menakutkan.

1
Deyuni12
Arsel 🥺
Deyuni12
lanjuuuuuut
Deyuni12
semakin menegangkan
Miss Typo
semangat kalian bertiga, semoga bisa 💪
Miss Typo: baru 2 bab 😁✌️
total 1 replies
Deyuni12
lagi akh 😅😅
Miss Typo
kok aku jadi terhura nangis lagi nangis mulu 😭
Deyuni12
lagiiiiiii
Deyuni12
ada kabut apa sebenarnya d keluarga dewa sebelumnya,masih teka teki n masih samar,belum jelas apa yg terjadi sebetulnya.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
Deyuni12: kasih tau aku y kalo udah ketahuan 😄
total 2 replies
Deyuni12
orang yg tidak d harapkan malah pulang, hadeeeh
Archiemorarty: Ndak kok /Slight/
total 3 replies
Miss Typo
belum tau siapa orang yg bikin Dewa jadi tumbal, dari awal aku pikir ayahnya tapi dia gak percaya hal begituan, atau kakek neneknya dulu atau siapa ya??? 😁
Miss Typo: masih mikir 😁
total 2 replies
Miss Typo
saat kayak gitu malah ayahnya mlh pulang ke rumah, bikin geram aja tuh orang 😤
Miss Typo: geram sm ayahnya Dewa 😤
total 2 replies
Deyuni12
bacanya menguji adrenalin
Deyuni12
semangat dewa
Deyuni12
huaaa
ternyata bener kn jadi tumbal
Deyuni12: hayoo sama siapa hayooo
total 2 replies
Deyuni12
masa iya dewa d jadikan tumbal sama leluhurnya..hm
Deyuni12
what!!!
kenapa si dewa ini
Deyuni12: hayooo othor,kamu apain itu dewaaaa
total 2 replies
Miss Typo
tiap baca tegang tapi juga penasaran,,, semangat Dewa Arsen dan Tama
Miss Typo
semoga kamu kuat kamu bisa Dewa bersama Arsen dan Tama
Miss Typo
kuat Sadewa kuat, kamu pasti bisa
Miss Typo
dari awal dah menduga jadi tumbal tapi okeh siapa?
apa ayahnya Dewa???
Miss Typo: kalau othor mh jelas nulis banyak, sedangkan diriku komen dikit aja typo mulu, makanya nama disini Miss Typo hehe
total 7 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!