NovelToon NovelToon
Blood & Oath

Blood & Oath

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Tentara / Perperangan / Fantasi Timur / Action / Fantasi / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:582
Nilai: 5
Nama Author: Ryan Dee

Tharion, sebuah benua besar yang memiliki berbagai macam ekosistem yang dipisahkan menjadi 4 region besar.

Heartstone, Duskrealm, Iron coast, dan Sunspire.

4 region ini masing masing dipimpin oleh keluarga- yang berpengaruh dalam pembentukan pemerintahan di Tharion.

Akankah 4 region ini tetap hidup berdampingan dalam harmoni atau malah akan berakhir dalam pertempuran berdarah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryan Dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Act 3 - Knight in the shining armor

Napas kami masih terengah. Lantai tavern lengket oleh darah, bau besi menusuk hidung. Tanganku bergetar memegang pedang yang sudah berat oleh cairan merah pekat. Di luar sana, masih ada tiga bandit tersisa-mereka pasti sudah mendengar keributan dan akan datang kapan saja.

Saat aku mencoba menenangkan diri, sebuah kilatan cahaya mengganggu pandangan. Aku menunduk-cincin di jari Johnson memantulkan cahaya dari lampu minyak yang hampir padam. Tanpa pikir panjang, aku meraih benda itu dan menyimpannya ke dalam saku. Entah kenapa, sesuatu dalam diriku berkata benda ini penting.

BRAK!

Pintu tavern mendadak terbuka. Tiga bandit terakhir berdiri terpaku di ambang pintu. Mata mereka membelalak melihat mayat kawan-kawan mereka berserakan di lantai.

"Ka... kalian...?" suara salah satunya gemetar, lebih terdengar seperti bisikan ketakutan.

Mereka bersiap menghunus pedang-tapi sebelum sempat bergerak, derap kuda terdengar semakin dekat. Dentuman kuku kuda menggema di jalanan batu. Wajah para bandit seketika pucat, lalu mereka melarikan diri tanpa menoleh ke belakang.

Aku dan Erick saling berpandangan, lalu segera keluar. Di depan kota, pasukan knight baru saja kembali. Baju zirah mereka berkilau keperakan meski ternoda lumpur perjalanan. Di barisan depan, seorang komandan dengan wajah keras menatap kami dari atas kudanya.

"Jelaskan apa yang terjadi di sini," suaranya tegas, dingin, dan tanpa keraguan. "Dan siapa yang bertanggung jawab atas pembantaian ini?"

Erick maju setapak. "Aku!" katanya lantang. "Aku yang mengajak James membalas dendam pada para bandit ini. Semua salahku!"

Aku menoleh tajam ke arahnya. "Tidak," kataku cepat. "Kakekku dibunuh oleh mereka. Akulah yang merencanakan semuanya. Darah di lantai itu adalah tanggung jawabku."

Komandan menatapku lama, seolah menimbang setiap kata.

"Namamu?"

"James. Cucu dari pemilik ladang di tepi sungai."

"Dan kau?" tatapannya beralih pada Erick.

"Erick Stonehart. Kadet angkatan ke-248, lulusan kota Heartstone."

"Seorang kadet?" Alis komandan terangkat tipis. "Apa yang kau lakukan di kota ini?"

"Pelatihku memberi izin. Sebelum penempatan divisi, kami diperbolehkan pulang ke kota asal."

Komandan menghela napas pendek, lalu menatap kami berdua dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kalau begitu, James dan Erick... kalian ditahan. Hukum tak memberi ruang pada dendam pribadi."

Ia melambaikan tangan. "Bawa mereka."

---

Erick - Perspektif

Aku hanya bisa menunduk saat borgol menutup pergelangan tanganku.

Bagaimana mungkin... James bisa bertarung seperti itu?

Sejak kecil, dia memang selalu lebih kuat dariku. Tapi apa yang kulihat di tavern berbeda. Gerakannya cepat, terukur, seakan ia sudah berlatih bertahun-tahun dengan master pedang. Aku, yang ditempa latihan keras para knight, hampir tak mampu menandinginya.

James... apapun yang kulakukan, kau tetap akan selalu berada di depanku.

---

Keesokan Harinya

Aku dipanggil ke ruang komandan. Ruangan itu sederhana, hanya ada meja kayu berat, peta tergantung di dinding, dan bau lilin yang baru padam.

"Duduklah," ucapnya tanpa menoleh.

Aku menyipitkan mata. "Bukankah aku ini tahanan? Kalau kau mau menginterogasiku, kenapa di ruangmu? Tanpa penjaga pula."

Komandan menoleh, bibirnya menyunggingkan senyum tipis penuh ejekan. "Jangan bercanda. Bahkan dengan pedang di tanganmu, kau tetap bukan ancaman bagiku."

Ia mengeluarkan sesuatu dari laci meja-cincin Johnson. Logamnya berkilau pucat di bawah cahaya lilin. "Aku ingin tahu... apa yang kau ketahui tentang ini?"

Jantungku berdegup keras. "I-itu cincin milik Johnson. Bandit yang kami bunuh."

"Bandit, katamu?" Mata komandan menyipit. "Simbol pada cincin ini... tidak dimiliki orang biasa. Lambang ini hanya dikenakan oleh mereka yang tak pernah terlihat, tapi keberadaannya menorehkan bayangan di setiap kerajaan."

Aku terdiam, merasakan keringat dingin mengalir di pelipis.

"Apapun hubungannya dengan pasukan itu," lanjut komandan, suaranya rendah, "Johnson bukan orang sembarangan."

Ia mencondongkan tubuh, menatapku tajam. "Sekarang jelaskan-bagaimana kalian bisa mengalahkannya? Untukmu, aku bisa mengerti. Kau seorang kadet. Tapi James..." ia berhenti sejenak, menimbang kata-katanya. "Dia bertarung seperti veteran perang. Padahal dia bukan siapa-siapa. Bahkan rakyat di sini tak tahu apa-apa tentang keluarganya."

Aku menggeleng. "Dia temanku sejak kecil. Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan-setidaknya itu yang selalu dia katakan. Soal kemampuannya bertarung... aku pun tak tahu. Kami berpisah lama, dan ketika kembali bertemu, dia sudah berubah."

Komandan mengetuk meja dengan jarinya. "Jadi kau sudah lama tak melihatnya. Namun kau tetap bersedia mempertaruhkan nyawa demi balas dendamnya?"

Aku terdiam. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari pedang manapun.

Akhirnya komandan berdiri. "Bawa dia kembali ke sel," ucapnya pada prajurit di luar. "Dan panggil James. Aku ingin bicara dengannya... langsung."

James - Perspektif

Pintu besi berderit saat dua prajurit menyeretku keluar dari sel. Borgol dingin menggigit pergelangan tangan, dan langkah mereka memaksaku menuju ruangan di lantai atas.

Di sepanjang lorong, aku merasakan tatapan tajam dari para knight lain. Mereka melihatku bukan sebagai tawanan biasa-melainkan sesuatu yang harus diawasi, seolah aku membawa rahasia yang bahkan mereka tak mengerti.

Prajurit membuka pintu ruang komandan. "Masuk," katanya singkat. Aku pun melangkah masuk, pintu menutup keras di belakangku.

Ruangan itu remang. Di atas meja, hanya ada lilin yang hampir habis, cahayanya menari-nari di atas peta penuh coretan tinta. Komandan duduk di kursinya, tidak menoleh ketika aku masuk.

"Duduk," katanya datar.

Aku menuruti, kursi kayu berat berderit di bawah tubuhku. Suasana hening, hanya terdengar api lilin yang sesekali berdesis.

Lalu, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Cincin itu. Kilau logamnya kembali memantulkan cahaya, membuat perutku terasa mual.

"James," suara komandan pelan tapi menusuk. "Kau anak petani. Tapi aku melihatmu mengayunkan pedang seperti seorang veteran. Kau bahkan mengalahkan pria yang mengenakan ini." Ia meletakkan cincin itu di atas meja dengan bunyi tok kecil, seolah benda itu memiliki bobot lebih dari sekadar logam.

Aku menatap cincin itu, mencoba menyusun kata. "Dia bandit. Kami membunuhnya... karena dia membunuh kakekku."

Komandan mencondongkan tubuhnya, tatapannya menembus. "Bandit tidak membawa simbol ini. Simbol ini... hanya muncul dalam cerita-cerita yang seharusnya tak pernah sampai ke telinga rakyat. Pasukan yang bekerja di balik bayangan, yang hanya tunduk pada kekuasaan tertentu. Jika benar pria itu salah satunya... maka kau tidak hanya membunuh bandit. Kau telah menyentuh sesuatu yang jauh lebih besar."

Darahku terasa dingin.

"Aku hanya... membela diriku," suaraku nyaris bergetar.

"Tidak." Komandan menggeleng, suaranya tegas. "Aku melihatmu bertarung. Itu bukan gerakan anak desa. Itu gerakan seorang pembunuh. Terlatih. Terbiasa menebas nyawa. Jadi aku akan bertanya sekali-siapa kau sebenarnya?"

Aku terdiam. Jantungku berdentum keras, seakan mencoba memecahkan dada. Semua kenangan tentang masa kecilku bersama kakek tiba-tiba kabur, digantikan keraguan.

Komandan berdiri, berjalan perlahan mengitari meja, langkah sepatunya berat. "James... bahkan bawahan-bawahanku tak bisa menemukan catatan tentang keluargamu. Seolah kau muncul begitu saja, tanpa asal-usul."

Aku menggenggam borgol di tanganku erat-erat. "Aku sudah memberitahumu kebenaran. Aku hanya cucu seorang petani."

Komandan berhenti tepat di belakangku. Aku bisa merasakan napasnya. "Kalau begitu," bisiknya dingin, "mengapa matamu selalu menatapku... seolah kau sudah tahu bagaimana cara membunuhku?"

Aku menahan napas, tak berani menoleh.

Ruangan kembali hening. Hanya suara lilin yang berderak kecil.

Lalu, suara komandan terdengar lagi, kali ini lebih berat. "Kau mungkin lebih berbahaya dari yang kau sadari sendiri, James. Dan itu... bisa menjadi kekuatan-atau kutukan."

Ia menepuk bahuku keras, lalu kembali ke kursinya. "Bawa dia kembali ke sel. Aku belum selesai dengan anak ini."

Prajurit masuk, menyeretku keluar. Tapi sebelum pintu menutup, aku sempat melihat sekali lagi ke arah cincin di meja itu. Kilauannya seolah berdenyut... seakan mengingatkan bahwa apa pun rahasia yang dikandungnya, aku sekarang sudah terikat padanya.

1
Mr. Wilhelm
kesimpulanku, ini novel hampir 100 persen pake bantuan ai
Ryan R Dee: sebenernya itu begitu tuh tujuannya karena itu tuh cuma sejenis montage gitu kak, kata kompilasi dari serangan disini dan disana jadi gak ada kata pengantar buat transisi ke tempat selanjutnya, tapi nanti aku coba revisi ya kak, soalnya sekarang lagi ngejar chapter 3 dulu buat rilis sebulan kedepan soalnya bakalan sibuk diluar nanti
total 7 replies
Mr. Wilhelm
transisi berat terlalu cepat
Mr. Wilhelm
Transisinya jelek kyak teleport padahal narasi dan pembawaannya bagus, tapi entah knapa author enggak mengerti transisi pake judul kayak gtu itu jelek.
Ryan R Dee: baik kak terimakasih atas kritik nya
total 1 replies
Mr. Wilhelm
lebih bagus pakai narasi jangan diberi judul fb kek gni.
Mr. Wilhelm
sejauh ini bagus, walaupun ada red flag ini pake bantuan ai karena tanda em dashnya.

Karena kebnyakan novel pke bantuan ai itu bnyak yg pke tanda itu akhir2 ini.

Tapi aku coba positif thinking aja
perayababiipolca
Thor, aku hampir kehabisan kesabaran nih, kapan update lagi?
Farah Syaikha
🤔😭😭 Akhirnya tamat juga, sedih tapi puas, terima kasih, author.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!