Dr. Tristan Aurelio Mahesa, seorang dokter jenius sekaligus miliarder pemilik rumah sakit terbesar, dikenal dingin, tegas, dan perfeksionis. Hidupnya hanya berputar di sekitar ruang operasi, perusahaan farmasi, dan penelitian. Ia menolak kedekatan dengan wanita mana pun, bahkan sekadar teman dekat pun hampir tak ada.
Di sisi lain, ada Tiwi Putri Wiranto, gadis ceria berusia 21 tahun yang baru saja resign karena bos cabul yang mencoba melecehkannya. Walau anak tunggal dari keluarga pemilik restoran terkenal, Tiwi memilih mandiri dan bekerja keras. Tak sengaja, ia mendapat kesempatan menjadi ART untuk Tristan dengan syarat unik, ia hanya boleh bekerja siang hari, pulang sebelum Tristan tiba, dan tidak boleh menginap.
Sejak hari pertama, Tiwi meninggalkan catatan-catatan kecil untuk sang majikan, pesan singkat penuh perhatian, lucu, kadang menyindir, kadang menasehati. Tristan yang awalnya cuek mulai penasaran, bahkan diam-diam menanti setiap catatan itu. Hingga akhirnya bertemu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
...( Tristan Aurelio Mahesa )...
Pagi itu, rumah sakit Mahesa Medical Center gedung menjulang dengan kaca berkilau di pusat kota sudah ramai meski matahari baru saja menembus ufuk. Di lantai paling atas, ruang kerja bergaya modern minimalis berdiri tenang. Di sanalah Dr. Tristan Aurelio Mahesa, dokter spesialis bedah yang juga pemilik rumah sakit terbesar di negeri ini, tengah menekuni berkas-berkas laporan pasien pasca-operasi semalam.
Tristan Aurelio Mahesa, Pria berusia 29 tahun anak sulung keluarga Mahesa, bukanlah pria biasa. Sejak muda ia dikenal jenius, menempuh pendidikan kedokteran tercepat di angkatannya, lalu melanjutkan studi di luar negeri. Pulang ke tanah air, ia tidak hanya menjadi dokter bedah terkenal, tetapi juga mendirikan rumah sakit sendiri RS Mahesa Prime yang kini memiliki cabang di berbagai kota besar.
Dikenal sebagai legenda hidup di dunia kedokteran. Tak hanya ahli dalam bedah saraf, ia juga pemilik jaringan rumah sakit yang tersebar di berbagai kota,
Semua orang menghormatinya atau lebih tepatnya, takut padanya.
Wajah tampan dengan garis rahang tegas dan sorot mata dingin membuat siapa pun yang berurusan dengannya tak berani main-main. Tristan tak pernah kompromi pada kesalahan, tak pernah memberi ruang untuk kelalaian. Baginya, satu kesalahan kecil bisa berarti hilangnya nyawa pasien.
Tak cukup sampai di situ, Tristan juga mengembangkan perusahaan farmasi dan mendirikan universitas kedokteran. Semua itu diraih di usia yang belum genap tiga puluh tahun. Namun, kesuksesan itu datang dengan harga mahal: kesendirian dan hidup yang kaku.
Hari itu pun sama. Ia sudah berada di rumah sakit sejak pukul lima pagi. Jas putihnya masih terlipat rapi di kursi, sementara ia mengenakan kemeja biru muda dengan dasi gelap. Rambut hitamnya tersisir rapi, nyaris tak ada helai yang berantakan.
“Dr. Tristan, jadwal Anda penuh hingga tengah malam. Apakah Anda ingin saya atur ulang dua konsultasi sore?” tanya sekretarisnya dengan nada ragu.
Tristan mengangkat kepala sebentar, menatap layar tablet, lalu menjawab dingin.
“Tidak usah. Pasien datang dengan harapan, bukan untuk menunggu. Kalau saya sudah menerima jadwal, berarti saya sanggup.”
Sekretaris itu hanya mengangguk dan segera keluar, lega karena tak kena semprot.
Tristan kembali menunduk, menandatangani berkas. Baginya, pekerjaan selalu lebih penting daripada apa pun. Bahkan untuk makan pun sering ia abaikan. Kopi hitam pekat di meja sudah dingin, hanya tersisa setengah cangkir. Ia tak peduli.
Di luar sana, orang mengenalnya sebagai dokter jenius yang sekaligus miliarder. Usia 29, tapi sudah memiliki rumah sakit, saham perusahaan medis internasional, bahkan klinik elit yang antreannya penuh berbulan-bulan. Namun di balik kesuksesan itu, Tristan hanyalah pria dengan tatapan dingin dan hati beku.
Tidak ada teman dekat. Tidak ada pasangan. Tidak ada ruang untuk tawa atau obrolan kosong.
“Jadwal hari ini?” tanyanya singkat.
Asisten pribadinya, pria bernama Daniel, segera membaca agenda. “Pagi ada operasi di RS Wijaya Prime, siang rapat investor, sore pemeriksaan rutin pasien VIP.”
“Baik. Jangan biarkan ada keterlambatan.”
“Ya, Tuan.”
Itu saja. Tanpa basa-basi. Tanpa senyum. Dunia Tristan adalah dunia hitam-putih, penuh disiplin, tanpa ruang untuk gangguan. Atau begitulah ia kira.
Pagi itu Tristan tiba di rumah sakit. Semua dokter muda menunduk hormat, suster-suster menahan napas ketika ia lewat. Aura dingin pria itu seperti kabut tebal, membuat siapa pun enggan mendekat.
“Dr. Tristan datang,” bisik seorang perawat.
“Jangan salah bicara, nanti bisa kena semprot,” balas yang lain dengan wajah tegang.
Memang begitu. Semua orang tahu, dokter sekaligus pemilik rumah sakit itu terkenal perfeksionis. Sekali saja salah bicara, habislah. Tapi justru karena itulah reputasinya tak tergoyahkan.
Tristan masuk ke ruangannya. Meja kerja lebar dari kayu hitam, rak penuh buku medis, dan jendela besar menghadap kota. Semuanya tertata rapi. Semua benda diukur posisinya. Seolah-olah dunia di luar boleh berantakan, tapi ruang Tristan harus sempurna.
Ia baru saja membuka berkas pasien ketika pintu diketuk.
“Masuk.”
Daniel dan suster pendamping masuk dan memberi tau apa saja jadwal hari ini dan berapa banyak pasien hari ini, setelah itu mereka keluar dan mulai melakukan aktivitas mereka masing masing.
...----------------...
Pagi di kediaman mewah milik Tristan Alvaro Wijaya selalu sama: hening, rapi, dan tanpa celah untuk kesalahan. Pria itu duduk di meja makan panjang, di mana setiap sendok, garpu, dan cangkir porselen disusun simetris. Dasi hitam pekat sudah terikat rapi di kerah kemeja putihnya, jas Armani tergantung di sandaran kursi, menunggu dikenakan.
Tristan menatap sekilas layar tablet di depannya. Laporan saham, data investasi, grafik keuangan semuanya dibaca cepat, dipahami, lalu ditutup tanpa ekspresi.
Ia hanya menghela napas singkat, lalu meneguk kopi hitam yang disajikan pelayan.
“Kurang panas,” katanya datar.
Pelayan itu sedikit gemetar. “Maaf, Tuan. Akan segera saya ganti.”
Tristan hanya mengangguk tipis. Bukan marah, bukan pula peduli. Baginya, kesalahan sekecil itu hanya tanda bahwa dunia memang tidak pernah sepresisi dirinya.
Tapi itulah yang membuat para pekerja tidak tahan dan mengundurkan diri, bukan karena Tristan cerewet tapi justru kecuekannya membuat art bingung dan takut salah. Belum lagi Tristan adalah pria yang perfeksionis.
Dan benar saja sorenya sang art meminta izin untuk berhenti dengan alasan anak sakit padahal hanya alasan.
Tristan menanggapinya dengan santai, dan itu membuat sang mama sangat khawatir saat mendapatkan laporan dari Daniel jika art meminta berhenti.
Di waktu yang sama, setelah mendapatkan kabar dari Daniel. Tina Mahesa, mama Tristan, tampak mondar-mandir sambil memegang ponsel.
“Anak itu lagi-lagi harus kehilangan art. Semalam saja dia baru pulang lewat tengah malam. Bagaimana jika benar benar tidak ada yang merawatnya, punya istri belum mau. Besok-besok bisa sakit beneran kalau begini terus,” keluh Tina dengan nada khawatir.
Suaminya, Ardian Mahesa, yang sedang membaca koran, hanya menghela napas. “Sudahlah, sayang. Tristan itu keras kepala. Dari dulu memang begitu. Kamu tahu sendiri, dia lebih sayang meja operasi daripada dirinya sendiri.”
Tina mendecak. “Makanya aku bilang, dia perlu seseorang yang bisa mengurusinya. setidaknya ART, jika belum mau nikah. Bayangkan, rumah sebesar itu dia tinggali sendirian. Kalau dibiarkan, bisa-bisa dia hanya hidup dengan kopi dan mie instan!”
Ardian menatap istrinya dengan senyum tipis. “Kamu yakin Tristan mau ada orang asing di rumahnya? Anak itu bahkan tidak suka kalau kamarnya dibereskan orang lain.”
“Itu masalahnya. Tapi aku tetap tidak tenang,” ucap Tina mantap. “Aku akan cari ART. Seseorang yang bisa masak sehat, bersih, dan paling penting… tahan dengan sifat dinginnya Tristan.”
"Baiklah sayang terserah kamu saja, kalau bisa art elit hehehe" ujar papa Ardian bercanda pada istrinya
"Is papa ada ada saja, ya sudah mama mau hubungi Anggun dulu untuk cari art yang elit" ujar mama Tina lalu menghubungi asistennya.
Bersambung
weezzzzz lah....di jamin tambah termehek-mehek kamu....🤭
Siapa sih orang nya yang akan diam saja, jika dapat perlakuan tidak baik dari orang lain? Tentunya orang itu juga akan melakukan pembalasan balik.
Lope lope sekebon Author......🔥🔥🔥🔥🔥
Tak kan mudah kalian menumbangkan
si bar bar ART.....💪🔥🔥🔥🔥🔥