Pengkhianatan itu bukan datang dari musuh, tapi dari orang yang paling dia percaya.
Vilya Ariestha Elora — dihancurkan secara perlahan oleh pacarnya sendiri, dan sahabat yang selama ini ia anggap rumah. Luka-luka itu bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa yang dipaksa hancur dalam diam.
Saat kematian nyaris menjemputnya, Vilya menyeret ke duanya untuk ikut bersamanya.
Di saat semua orang tidak peduli padanya, ada satu sosok yang tak pernah ia lupakan—pria asing yang sempat menyelamatkannya, tapi menghilang begitu saja.
Saat takdir memberinya kesempatan kedua, Vilya tahu… ia tak boleh kehilangan siapa pun lagi.
Terutama dia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 08. Pertunangan?
Sebuah suara ketukan pintu membuyarkan lamunan nya.
"Masuk aja," ucapnya sembari berdehem dan membalikkan badan.
Pintu terbuka, sosok yang masuk ternyata ayahnya.
"Hm?" Alisnya terangkat sedikit. Selama ia hidup sebelumnya, pria itu jarang menunjukkan perhatian.
Apa mungkin, setelah terlahir kembali, sang ayah juga berubah?
"Aku sudah mengurus semua keperluan sekolahmu," ucap ayahnya datar. "Supir dan mobil juga sudah disiapkan. Mulai besok, akan ada yang mengantar dan menjemputmu setiap hari."
"Aku ngerti." Ia sempat terdiam, ingatannya membawa kembali potongan masa lalu. Dulu, ibu tirinya yang menyampaikan semua ini.
Meski Marvin merasa putrinya mempunyai sifat yang agak keras, setidaknya gadis itu tahu bagaimana bersikap.
"Ayah, ada hal lain yang mau disampaikan?" tanyanya dengan nada tenang.
"Satu lagi." Pria itu meletakkan sebuah kartu di meja.
"Pakai ini untuk kebutuhanmu."
"Terima kasih, Ayah." Ia tidak menolak, hanya mengangguk pelan tanpa banyak bicara.
"Kalau begitu, istirahatlah lebih awal." Setelah itu, Marvin berbalik dan meninggalkan kamar.
Begitu keluar dari kamar, langkahnya tak langsung berhenti. Ia naik ke lantai tiga, menuju ruang kerja sang ayah.
"Ayah," panggilnya pelan sambil membuka pintu.
Di balik meja, Arlon masih menatap tumpukan dokumen tanpa menoleh sedikit pun. Suaranya terdengar tenang.
"Kedatangan Vilya pasti akan memancing reaksi dari Elmira dan Elena. Urus saja dengan caramu."
"Aku mengerti." Jawab Marvin
"Sudah kamu siapkan semua kebutuhan cucuku?"
"Sudah," sahutnya.
Arlon meletakkan dokumen lalu menatap Marvin tajam. "Apa kamu siap membawa hal ini ke publik?"
"Aku siap ayah."
"Masalah ini menyangkut nama baik keluarga. Jangan sampai ada kesalahan. Mengerti?"
“Iya aku mengerti.” Marvin menganggukkan kepalanya dan ia kembali menanyakan suatu hal, “Bagaimana dengan keluarga Winchester?”
"Mereka menghubungiku. Pertunangan itu sah dan tidak bisa dibatalkan," ucap Arlon dengan suara berat, sambil melepas kacamatanya. Ia menghela napas dalam-dalam. "Kau boleh keluar."
"Kalau begitu, sebaiknya Ayah juga istirahat lebih awal."
Setelah pintu tertutup, Arlon kembali menatap lampu meja dengan mata menyipit. Ada firasat tak enak yang mengganggunya. Ia hanya bisa berharap keluarga mereka tetap aman dan utuh.
......................
Sementara itu, di Bandara Internasional, seorang pria berjalan keluar dengan tenang. Kerah kemejanya sedikit terbuka, jas hitam tersampir di lengannya.
Penampilannya mencuri perhatian. Beberapa orang sempat menoleh, lalu berbisik pelan sambil menerka-nerka siapa pria tampan yang baru saja melangkah keluar.
Langkahnya terhenti sejenak saat matanya menangkap sosok familiar di antara kerumunan. Seorang wanita berdiri tak jauh dari pintu keluar, mengenakan mantel panjang dan sepatu hak rendah.
Begitu pandangan mereka bertemu, wanita itu melambaikan tangan.
"Hey, aku di sini!" Wanita yang menyambutnya memiliki rambut panjang bergelombang. Matanya yang menawan memiliki pesona alami.
"Emely?" Suaranya terdengar seperti gumaman.
Wanita itu langsung menghampirinya dan mengambil jas dari tangannya. “Kenapa tiba-tiba pulang? Kamu bahkan nggak bilang apa-apa. Ada yang tahu kamu ke sini?”
"Nggak ada." Jawabannya singkat seperti biasa.
Mereka berjalan menuju parkiran. Sepanjang perjalanan, hanya suara langkah kaki yang terdengar. Begitu tiba di mobil, pria itu membuka pintu tanpa menunggu, masuk dan langsung mengenakan sabuk pengamannya.
Emely menggeleng pelan, lalu duduk di kursi penumpang. Wajahnya seolah pasrah tapi udah biasa dengan sikap laki-laki di sebelahnya.
"Masih aja kayak dulu. Cewek mana sih yang bisa tahan sama sifat kamu?"
Ia sempat diam sebentar, lalu melirik ke arahnya. Ada sedikit keraguan di nada suaranya saat bertanya, "Tunanganmu juga lagi ada di kota ini, kan?"
"Ya." Wajah pria itu tampak acuh tak acuh.
Salah satu alasan utama ia kembali adalah untuk mengakhiri ikatan yang sejak awal tak pernah ia inginkan.