"Pada akhirnya, kamu adalah luka yang tidak ingin aku lepas. Dan obat yang tidak ingin aku dapat."
________________
Bagaimana rasanya berbagi hidup, satu atap, dan ranjang yang sama dengan seseorang yang kau benci?
Namun, sekaligus tak bisa kau lepaskan.
Nina Arunika terpaksa menikahi Jefan Arkansa lelaki yang kini resmi menjadi suaminya. Sosok yang ia benci karena sebuah alasan masa lalu, namun juga cinta pertamanya. Seseorang yang paling tidak ingin Nina temui, tetapi sekaligus orang yang selalu ia rindukan kehadirannya.
Yang tak pernah Nina mengerti adalah alasan Jefan mau menikahinya. Pria dingin itu tampak sama sekali tidak tertarik padanya, bahkan nyaris mengabaikan keberadaannya. Sikap acuh dan tatapan yang penuh jarak semakin menenggelamkan Nina ke dalam benci yang menyiksa.
Mampukah Nina bertahan dalam pernikahan tanpa kehangatan ini?
Ataukah cinta akan mengalahkan benci?
atau justru benci yang perlahan menghapus sisa cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumachi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Haruskah Terus Terluka
Hari ini kafe agak sedikit kosong, Nina hanya menatap jendela dengan pandangan kosong dari meja kasir. Ternyata sudah bekerja pun, pikirannya masih tidak bisa lepas dari kejadian semalam.
Terlebih sekarang, Jefan menghindarinya, ia tidak tau kapan pastinya lelaki itu akan kembali.
Padahal Nina ingin bertanya mengada dia melakukan hal yang tidak ia inginkan, apa sesuatu terjadi padanya sehingga dia hilang kendali? Mungkin saja ini tekanan dari ayahnya, seperti yang Erwin lakukan pada Nina belum lama ini.
“Nina, tolong bantu antarkan pesanan ini ke meja 19” ujar salah satu rekan kerjanya.
Nina menoleh, ia langsung mengangguk dan meraih nampan berisi pesanan ini. Baru saja Nina tersenyum dan menyapa pelanggan yang akan menerima pesanan, kakinya tersandung kaki sendiri sehingga harus tersungkur membawa pesanan yang dipegangnya.
Semua makanan yang ada dinampan tumpah, gelas kaca yang berisi minuman juga pecah berserakan, hamper mengenai kaki pelanggan. Nina terkejut bukan main, dengan posisi lutut yang masih mencium lantai Nina memohon maaf dan mencoba memastikan kondisi kaki pelanggan apakah terkena serpihan beling.
“Astaga, maafkan aku tuan…apa kaki anda baik-baik saja?”
Nina memegang kaki pelanggan itu, reflek pelanggan itu menarik dirinya dari kursi dan menjauh dari Nina yang mencoba menyentuh kaki nya.
“Tidak apa, saya baik-baik saja”
“Nina!” suara jean memekik dari arah meja kasir, ia berjalan mendekati Nina bersimpuh dengan cepat.
“Maaf pak, saya melakukan kesalahan lagi.”
Nina kembali menoleh ke pelanggan “Anda benar baik-baik saja tuan? Apa kaki anda terkena beling, mohon beritahu saya jika anda terluka”
Pelanggan itu memandang Nina nanar, kejadian itu memang agak mengejutkan tapi tingkah Nina yang seperti budak sedang memohon ampun pada majikannya ini sangat terlihat menyedihkan.
“Nina, sadarlah!” suara Jean kembali meninggi, wajahnya terkejut tapi kaku secara bersamaan.
Nina gemetar, atasannya itu dikenal sebagai orang yang ramah, baik, dan manis pada tiap karyawannya. Jika sekarang lelaki itu sampai emosi itu tandanya Nina benar-benar sudah melakukan kesalahan yang fatal.
Harusnya dia memang tidak bekerja hari ini, pikirannya tetap saja kacau.
Jean berjongkok, meraih tangan kanan Nina, dan mencengkram kuat.
“Yang terluka itu kau! Apa kau tidak merasakannya?!”
Nina melihat telapak tangannya yang masih tertancap potongan beling, darah sudah menjalar di seluruh tangannya.
Bahkan sudah banyak yang menetes dilantai. Melihat ini, Nina baru merasakan perih. Tak heran jika pelanggan tadi ikut menatap nina syok, Nina sendiri seperti orang yang mati rasa tak menyadari lukanya sendiri.
Jean membantu tubuh Nina untuk bangkit, ia sedikit membungkuk pada pelanggan yang masih terkejut dari kejadian ini.
“Maafkan kami tuan, kami akan antarkan pesanan yang baru” ujar Jean sembari membungkuk sekali lagi, tangannya masih mencengkram pergelangan tangan Nina.
Setelah permintaan maaf diterima oleh pelanggan, Jean menarik Nina menuju ruang kerja pribadinya. Nina sedari tadi hanya menunduk merutuki diri. Tentu saja malu, merasa bersalah dan bodoh. Dia hanya bisa menyusahkan orang lain dimanapun berada.
Jean mendudukan Nina di kursi kantornya, dalam diam Jean mencari kotak p3k yang ia simpan di lemari kerjanya. ia duduk di sebelahnya, membuka tutupnya dan mengeluarkan pinset kecil dan alkohol.
"Ini mungkin akan sakit," ujar Jean pelan.
Perlahan, Jean menjepit serpihan beling itu dengan pinset, menariknya perlahan hingga tercabut sepenuhnya.
Kemudian ia membersihkan area sekitar luka dengan kapas alcohol dan memberi obat merah setelahnya lalu membalut luka itu dengan pelester, dilakukannya semua itu dengan telaten.
Beberapa detik hening. Nina menunduk menatap telapak tangannya, matanya sedikit berkaca-kaca, bukan karena rasa sakit, tapi karena kebohannya.
"Maaf pak…" suaranya lirih.
Pria itu hanya tersenyum kecil, matanya masih tertuju pada tangannya yang kini terbalut plester.
“Maaf memang menempel dimulutmu ya Nina, sering sekali kau mengucapkannya"
Nina tertegun, selama hidupnya dia memang lebih banyak membungkuk. Seperti sudah menjadi garis takdirnya.
"Ceritakan masalahmu, baru aku maafkan" lanjut Jean sembari membereskan alat p3k miliknya.
Nina menghela napas panjang, “Masalah ini terlalu pribadi pak, maaf saya tidak bisa menceritakannya”
“Kata maaf lagi…”
Jean menoleh pada Nina, wajah pucat gadis itu entah kenapa mengganggu nya sejak pagi. Jean tau betul ada masalah berat yang menipa Nina saat ini.
Dia hanya mencoba memaksa diri untuk bisa melupakan masalah itu, namun yang terjadi justru masalah itu terus membelenggunya.
“Nina, kau tau? kalau menggenggam tali terlalu kencang sementara ujung satunya terus ditarik, hal itu hanya akan membuat kita terluka. Kulit yang robek. Daging yang teriris. Darah yang mengalir. Semakin kau genggam tali itu, semakin dalam ia akan melukaimu. Kuharap, kau tidak sedang menggenggam tali itu ya”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...****************...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Nina menarik cardigannya kedepan, ia menanti Hera yang berkata akan menjemputnya di depan Kafe.
"Oh~Nina, belum pulang? mau ku antar?"
"Tidak usah pak terimakasih, kebetulan saya sedang menunggu seseorang"
"Suamimu?"
Baru Nina mau menjawab, terdengar dari kejauhan suara memekik memanggil Nina dengan semringah nya, reflek Nina dan Jean yang sedang berdiri berdampingan menoleh.
"Ninaaa.... aku merindukanmu tau" ujar Hera sembari merangkul Nina yang jauh lebih pendek darinya.
Jean menautkan keningnya memandangi perempuan nyentrik dihadapannya ini.
"Seleramu cukup berbeda juga ya, Nina"
"Hee? seleraku?"
Jean memandangi Hera dari ujung rambut hingga kaki. Tangannya berada dikedua saku jaketnya.
"Tidak apa, aku berpikiran terbuka kok. Aku menghargai segala jenis hubungan"
Hera menganga "What the..?"
"Aku temannya tau!! Hei, Nina bagaimana kau bisa memiliki rekan kerja berpikiran sempit seperti ini"
Nina menoleh bolak-balik ke arah Nina dan Jean "Itu Hera, dia..... "
"Berpikiran sempit? Maksudmu aku?"
"Siapa lagi, bisa-bisanya langsung berpikiran seperti itu. Nina, menjauhlah dari temen kerja seperti ini ya"
"Itu Hera, dia bosku.. "
Hera mendecih "Lebih parah lagi! Bagaimana bisa kau menjadi atasan dengan otak seperti itu"
"Apa?!"
"Tidak apa, jangan berterimakasih karena aku sudah menyadarkanmu"
"Terimakasih?!!"
Hera tersenyum, kepalanya mengangguk dua kali "Ah ya ya baiklah sama-sama"
Jean menarik rambutnya frustasi "Wah Nina, kau tahan punya teman seperti beo satu ini?"
"Apa beo? maksudmu burung beo?!"
Jean menyeringai melihat wajah kesal Hera "Iya beo yang cerewet dan berisik itu"
"Cerewet. katamu..."
Nina menghela napas jengah, tangannya melerai seperti wasit di ring tinju "Cukup, kalian lama-lama terlihat seperti pasangan yang sedang bertengkar loh"
Jean bergidik merinding, begitu pula hera yang mendengus kesal.
Tapi sesaat kemudian fokus Hera teralihkan karena melihat plester ditangan Nina.
"Tanganmu terluka Nina?"
"Oh ya, karena kecerobohanku memecahkan gelas"
"Sudah kubilang kan tadi kau sedang sakit, harusnya jangan kerja dulu"
Jean menyela cepat "Suamimu bagaimana sih, masih saja menyuruh mu bekerja saat sedang sakit"
"Dia tidak tau aku sedang sakit"
Jean mengernyit, semakin bertanya soal suami Nina, Jean semakin penasaran kehidupan pernikahan seperti apa yang dialami gadis ini.
Rasanya seperti melihat kehidupan pernikahan yang abnormal melihat tingkah Nina.
"Suami macam apa yang tidak tau istrinya sedang sakit dan memaksakan diri bekerja"
Hera memicingkan matanya, terlihat menelisik maksud dari Jean yang penasaran dengan hidup Nina.
"Apa urusanmu, jangan ikut campur dengan masalah keluarga orang lain"
Jean mendecak pelan "Orang lain? Dia kan karyawan ku"
"Sejak kapan atasan memperhatikan karyawan nya sampai ke masalah pribadi nya"
Jean terdiam. Sebenarnya ia sendiri menyadari kesalahan itu. Tapi, Nina membuatnya tak bisa menahan diri untuk mengetahui segala hal tentang nya.
Mungkin karena gadis itu terlihat rapuh?
Jean lemah terhadap luka.
Dan lelaki itu merasa hidup Nina penuh dengan hal itu, untuk itu Jean sangat tertarik pada Nina. Sangat tertarik sampai ingin terus menjaganya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...