Shanca Evalyne Armandez tak pernah meminta hidup seperti ini. Sejak kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan misterius, ia menjadi tawanan dalam rumah sendiri. Dihabisi oleh kakak tirinya, dipukuli oleh ibu tiri yang kejam, dan dijual seperti barang kepada pria-pria kaya yang haus kekuasaan. “Kau akan menyenangkan mereka, atau kau tidak akan makan minggu ini,” begitu ancaman yang biasa ia dengar. Namun satu malam mengubah segalanya. Saat ia dipaksa menjebak seorang pengusaha besar—yang ternyata adalah pemimpin mafia internasional—rencana keluarganya berantakan. Obat yang ditaruh diam-diam di minumannya tak bekerja seperti yang diharapkan. Pria itu, Dario De Velluci, tak bisa disentuh begitu saja. Tapi justru Shanca yang disentuh—dengan cara yang tak pernah ia duga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MBM
sejak hari itu,Sancha sudah kembali ke rumah,namun saat itu Meka harus kembali ke canada karena ada masalah yang harus ia selesaikan(restoran nya) dan ia tidak tega meninggalkan Sancha sendirian.
“Cha,kamu gpp sendirian disini..?”
“gpp dong Ka,aku bisa sendiri kok,lagian aku tidak sendiri,ada anak ini menemani aku…”ujar Sancha menunjuk perutnya.
Meka tersenyum ikut mengelus perut Sancha..
”kamu kuat,apapun yang terjadi,aku akan selalu ada di samping kamu cha,kamu jangan takut ya…”
“aman siap bos..”ujar Sancha bercanda
“gila kamu ini,aku akan kembali seminggu lagi,kamu jaga diri ya Cha,kalau ada apa-apa kamu harus segera kabari aku…!”tegas Meka khawatir dengan Sancha.
“terima kasih Meka…”haru Sancha memeluk Meka..
Meka akhirnya pergi meninggalkan rumah tua,Sancha masuk kedalam rumah itu,ia sedikit lapar dan ingin makan.
namun sampai sekarang Sancha tidak tau kalau anak buah Alaska memantau keadaan sekitar atau gerak gerik Sancha hingga saat ini.
Canada.
“jangan biarkan mama terbang ke new york,kalau sampai saya mendapatkan info tersebut,saya tidak segan-segan memenggal kepala kalian…!”perintah Alaska segera masuk ke mobil dan berjalan menuju kantornya.
Amar yang duduk di depan membacakan jadwal dan info yang ia dapatkan,saat ia mendengar jadwal dan info yang di bacakan oleh Amar..
dalam beberapa detik Alaska meminta Amar menyiapkan penerbangan ke new york.
Rumah Tua, Pinggiran Kota New York — Pagi Hari
Sancha berdiri di halaman rumahnya, menyiram tanaman dengan tangan tenang namun pikiran yang belum sepenuhnya pulih. Anjing kecilnya yang lucu berlari ke sana-sini, sesekali menjilat ujung gaunnya. Ia mengenakan dress putih polos, tipis dan lembut, menampilkan siluet tubuh mudanya yang mulai berubah karena kehamilan.
Rambutnya terurai ditiup angin pagi. Untuk sesaat, dunia terasa damai. Sampai suara langkah berat itu terdengar dari arah pagar.
Sancha menoleh… dan ketakutan itu kembali menyelimuti tubuhnya seketika.
Alaska.
Berdiri di ujung jalan setapak rumah. Dengan wajah keras dan dingin. Mata tajamnya tak lepas menatap Sancha.
Sancha terperanjat, melepaskan selang air, lalu buru-buru menarik anjing kecilnya masuk ke rumah. Tangannya gemetar saat mencoba menutup dan mengunci pintu…
Terlambat.
Pintu berhasil dibuka paksa oleh Alaska, sebelum kuncinya sempat berputar penuh. Tubuh Sancha terdorong ke belakang karena kekuatan pria itu.
Sebelum Alaska melangkah lebih jauh, ia menoleh pada anak buahnya di luar rumah dan memberi perintah dingin.
“Jangan ada yang tahu aku di New York. Termasuk Mama. Kalau sampai bocor, kalian tahu akibatnya.”
Pintu ditutup. Rumah itu kini hanya milik dua orang: Sancha yang penuh trauma, dan Alaska yang menyimpan murka dalam diam.
Di Dalam Rumah
Sancha mundur dengan napas memburu. Ketakutan dan kebencian bercampur menjadi satu di matanya.
“Keluar dari rumahku! Kau tak punya hak masuk ke sini! Aku bisa lapor polisi!”
Alaska berjalan mendekat. Tidak terburu-buru, tapi cukup membuat jantung Sancha berdegup keras. Suaranya datar, dingin, menusuk.
“Kau pikir aku tidak tahu apa yang sedang kau sembunyikan?”
Sancha menelan ludah. Ia sempat meraih sesuatu—gagang vas bunga—dan mencoba memukul Alaska.
Tapi tangannya ditahan dengan satu gerakan cepat. Pegangan Alaska pada pergelangan tangannya begitu kuat.
“Cukup dengan drama ini, Sancha.” ucapnya, nyaris berbisik.
“Kau ikut denganku ke Kanada. Sekarang.”
Sancha menatapnya dengan wajah panik, tubuhnya bergetar.
“T-tidak! Aku tidak mau! Aku tidak ingin kembali ke hidup itu! Aku… aku tidak ingin kau tahu aku sedang…”
Dia berhenti. Terlambat.
Alaska menyipitkan mata. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Sancha, suaranya nyaris seperti ancaman:
“Kau kira aku tidak tahu tentang kandungan itu?”
Sancha membeku.
“Orang suruhanku merekam saat kau bicara dengan Meka lewat telepon. Tentang usia kandunganmu. Tentang ketakutanmu. Tentang bagaimana kau ingin sembunyi dariku.”
Napas Sancha tercekat. Lututnya nyaris tak mampu menopang tubuhnya.
“Aku langsung memutar balik mobilku saat di Kanada. Pengawal ku bahkan nyaris tidak bisa mengejar helikopter yang kupaksa terbang malam itu.”
Alaska menatap tajam ke arah perut Sancha yang mulai membentuk lekuk halus.
“Kau akan melahirkan anak ini.”
Suara Alaska kini lebih rendah, namun mengandung petir yang siap menyambar.
“Setelah itu… kau akan kuhilangkan dari negara ini. Untuk selamanya.”
Sancha tak mampu menjawab. Jantungnya berdetak begitu kencang seolah ingin keluar dari dadanya. Ia ingin lari, ingin melawan, tapi tubuh dan hatinya sudah tak sanggup.
Apakah ini takdirku? batinnya.
“Aku tidak akan ikut denganmu ke Kanada,” ucap Sancha dengan nada dingin.
Alaska mengangkat satu alis, tanpa bergeming.
“Kau tidak punya pilihan.”
Sancha menggertakkan giginya. Ia tahu pria itu selalu menguasai setiap situasi. Tapi hari ini… ia ingin mencoba untuk melawan, walau hanya lewat kata-kata.
“Dan satu hal lagi…” Sancha menatapnya dengan keberanian palsu, “Anak ini… bukan anakmu.”
Alaska diam. Senyum menyeringai terbentuk di wajahnya. Tapi bukan senyum geli. Itu senyum milik seseorang yang tahu ia sedang ditipu mentah-mentah.
“Oh?” sahutnya ringan, “Lanjutkan. Aku ingin dengar kebohongan macam apa yang kau racik pagi-pagi begini.”
Sancha mencoba menjaga ekspresinya tetap kokoh.
“Anak ini… milik pria yang aku cintai. Seseorang yang tidak pernah menyakitiku seperti yang kau lakukan. Seseorang yang membuatku merasa hidup, bukan hancur.”
Alaska berjalan perlahan mendekatinya. Wajahnya masih menyeringai, namun matanya tajam menusuk.
“Seseorang yang bahkan tidak muncul di data siapa pun. Tidak ada nama pria lain yang pernah dekat denganmu. Tidak ada catatan medis selain luka-luka dan trauma yang berasal dariku.” Ia menunduk sedikit, hampir menyentuh wajah Sancha.
“Kau bisa berdusta pada dunia, Sancha. Tapi tidak pada aku.”
Sancha menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai naik.
“Kau akan melahirkan anak ini. Dan aku akan memastikan dia tumbuh tanpa tahu ibunya adalah pembohong yang hampir menyerah pada ketakutannya sendiri.”
Kalimat itu menghantam seperti palu godam. Tapi Sancha masih mencoba berdiri tegak.
“Kau tidak berhak mengambil anak itu dariku…”balas Sancha berteriak di telinga Alaska.
“Berhak atau tidak, aku akan melindungi anakku. Dari siapa pun. Termasuk ibunya sendiri.”tegas Alaska menatap tajam Sancha.
Dan pagi itu berubah menjadi awal dari badai baru.
Sancha mulai menyadari: berhadapan dengan Alaska bukan hanya tentang bertahan hidup… tapi tentang mempertahankan kemanusiaan dalam dirimu yang perlahan dicabik-cabik.