Cinta bertepuk sebelah tangan sungguh menyakitkan hati Nadila Putri. Nyatanya Abdullah cinta pertamanya justru mencintai wanita lain yaitu Silfia Anwar.
Nadila pun memilih pergi meninggalkan mereka demi persahabatan.
Nadila memilih bekerja di UEA menjadi tkw, tetapi belum ada satu tahun kedua orang tuanya menyuruhnya pulang. Namun, tidak Nadila sangka ketika tiba di Indonesia justru dijodohkan dengan Abdullah.
Apakah Abdullah akan menerima Nadila? Lalu bagaimana nasib Silfia. Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Tubuh renta yang duduk di kursi roda memegangi dadanya yang sesak ketika mendengar jika menantu pilihannya tidak sesuai ekspetasi. "Maafkan Bapak yang sudah merusak masa depan kamu Dila..." tangis pak Umar pun tergugu hingga terdengar anak dan istrinya.
"Bapaaakkk..." Dila berlari dari dapur diikuti Aminah. "Bapak bangun..." Dila berjongkok menjatuhkan wajahnya di pangkuan pak Umar yang sudah tidak sadarkan diri. Sakit, hati Dila, mengapa keluarganya harus berkorban kepada orang kaya. Jika boleh memilih, biar saja hidup pas-pasan seperti dulu, tapi keluarganya tetap sehat dan bahagia.
"Kita bawa Bapak kamu ke rumah sakit sayang..." bu Aminah yang sudah sering menghadapi suaminya seperti itu, tampak lebih tabah. Ia segera keluar rumah minta bantuan tetangga.
Kendaraan roda empat jaman dulu yang bu Aminah sewa sudah menunggu di pinggir jalan. Di bantu pemilik mobil, Dila menggotong pak Umar.
Dila cium tangan kurus dan keriput itu ketika kendaraan melaju ke rumah sakit. Kepala pak Umar di pangkuan bu Aminah, sementara Dila memangku kaki.
"Aku tidak terima dan akan minta tanggung jawab kalian, hai orang kaya! Jika sampai Bapak aku kenapa-kenapa!" Dila mengepalkan tangan, hatinya merasa dendam, dalam isak tangis ia ingin berontak.
"Tenangkan hati kamu sayang... Ibu mengizinkan kamu untuk bercerai dengan Abdullah. Tapi jangan dendam, biar Allah yang akan menghukum pria yang sudah mempermainkan perasaan kamu" nasehat bu Aminah.
"Baik Bu" Dila merasa kuat karena dukungan ibu yang melahirkan.
Dua jam kemudian, pak Umar sudah berada di ruang rawat. "Maafkan Bapak Nak" lirihnya. Air di sudut mata pun mengalir. Sebelum sampai ke telinga, Dila mengusap dengan tisue.
"Bapak jangan banyak berpikir, supaya cepat sembuh" Dila terus menguatkan pak Umar mengusap punggung tangan bapak yang sudah dipasang selang infus.
"Gara-gara Bapak, kamu tidak bahagia, Nak" imbuh pak Umar, dalam ketidakberdayaan tangan pak Umar diangkat dan mengusap kepala putrinya.
"Yang Bapak lakukan sudah benar, aku tahu Bapak ingin anak-anak bahagia, masalah hasil biar Allah yang tentukan." jawab Dila tentu saja tidak mau bapaknya semakin sedih, walaupun saat ini Dila sendiri pun rasanya ingin berteriak agar beban di dadanya sedikit berkurang. "Sekarang Bapak tidur" Dila menyelimuti tubuh pak Umar.
Dila berjalan meninggalkan pak Umar yang sudah tidur ditemani bu Aminah. Ia berdiri di depan kaca jendela menatap rumah-rumah penduduk dan pepohonan. Ia ingin membuang sedikit rasa gundah di hati.
"Kak Dila..." suara lembut di belakang membuat Dila berpaling.
"Kamu sudah pulang Dek..." Dila menoleh adiknya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu. "Kok tidak ganti baju dulu sih..." Dila menambahkan.
"Aku belum pulang ke rumah Kak" Najwa menceritakan ketika mendengar bapak masuk rumah sakit dari salah satu tetangga. Saat itu ia sedang berjalan kaki di gang ke arah rumah, Najwa tidak berpikir lagi lalu balik badan segera menyetop angkutan ke arah rumah sakit.
"Sebaiknya kalian pulang saja..." titah bu Aminah mendekati dua putrinya yang sama-sama lelah.
Melihat pak Umar tidur pulas, Dila mengangguk lalu mengajak adiknya pulang. Setelah ashar nanti ia akan kembali ke rumah sakit. Dengan angkutan yang sama, kakak adik itu pun turun di gang menuju rumah.
"Sebenarnya kakak ada masalah apa?" Tanya Najwa menoleh sang kakak yang berjalan di sebelahnya.
"Kok kamu pakai tanya, kan Bapak lagi sakit" Dila berusaha menutupi, ia tidak ingin kisah hidupnya mengganggu pikiran Najwa.
"Aku bukan anak kecil Kak" Najwa memandangi wajah Dila yang lelah, tampak menanggung masalah sendiri hingga tubuh sang kakak kurus.
"Tidak apa-apa, sudahlah... bagaimana belajar kamu?" Dila mengalihkan pertanyaan.
"Sedikit lagi ulangan Kak, doakan lancar, semoga cepat lulus," Najwa antusias. Ia ingin segera mencari uang, menggantikan sang kakak yang selama ini bekerja keras untuk keluarga.
"Aamiin..." Dila menggandeng tangan adiknya. Tidak terasa berjalan sambil ngobrol ternyata sudah tiba di depan rumah.
"Motor siapa itu Kak?" Mata Najwa menyipit dari kejauhan, ketika motor pria parkir di halaman.
Dila hanya diam memperhatikan nomor motor itu jelas milik Abdullah, karena Dila pernah membonceng.
"Dila, di rumah kok sepi?" Tanya Abdullah segera berdiri dari bale teras rumah ketika melihat Dila.
"Untuk apa kamu mencari kelurga saya?! Belum puas kamu menyakiti kami?!" Dila seketika emosi. Tidak peduli lagi ada Najwa yang kebingungan akan sikapnya.
"Dila, kamu kenapa?" Abdullah kaget, ketika berangkat ke Bogor istrinya baik-baik saja, walaupun acuh terhadapnya itu sudah biasa, tapi saat ini kemarahan Dila tidak biasa.
"Jangan pura-pura tidak tahu, Tuan Abdullah! Kamu menerima perjodohan ini hanya karena terpaksa, tapi saya tidak peduli karena tidak menjadi istri pria sepertimu pun tidak akan rugi. Yang membuat hati saya sakit, kamu pura-pura menjadi korban karena pernikahan ini. Dengan dalih tidak mencintai, kamu menjadi pria Arogan, egois, sok kuasa, menindas wanita seperti saya tanpa perasaan. Tapi ternyata semua itu kamu lakukan hanya untuk menutupi karena tidak mau saya salahkan. Ginjal Bapak saya kamu ambil, bukan?!" Dila berteriak.
"Kakak... sudah Kak..." Najwa menangis, mencoba menenangkan kakak kandung nya. Namun, Dila masih terus mengeluarkan isi hatinya yang selama ini ia tahan.
Abdullah hanya terpaku tidak mampu membela diri, ternyata segitu terluka hati wanita yang sudah ia cintai itu.
Dengan perasaan hancur karena merasa dimanfaatkan, Dila mengusir Abdullah. Setelah pergi, Najwa menggandeng Dila masuk ke kamarnya.
"Kakak jangan sedih, aku tahu yang Kak Dila rasakan, tapi jangan menyiksa diri seperti ini, Kak" Najwa berusaha menghibur. Ia sama sekali tidak menyangka jika pernikahan sang kakak tidak bahagia. "Sebaiknya kakak istirahat, biar aku masak dulu" pungkas Najwa lalu keluar kamar.
Dila menghabiskan tangis di kamar selama satu jam, hingga akhirnya lelah lalu merenung. Yang dikatakan Najwa benar, ia harus bangkit agar tidak terus larut dalam kesedihan. Karena sadar, bapak saat ini sangat bergantung kepadanya.
.
Langit mendung di pagi itu, mewakili perasaan hati wanita yang melangkah masuk ke pengadilan. Ia terpaksa membatalkan pernikahan suaminya karena keegoisan yang tidak bisa lagi dia tolerir.
Banyak alasan bagi Dila untuk mengajukan pembatalan pernikahan tersebut. Karena Abdullah sudah mempunyai istri lain, dan pernikahan tersebut dibawah paksakan orang tua.
Hanya seorang diri Dila duduk di ruang itu, berharap pengadilan bisa membebaskan dirinya dari perkawinan yang menyiksa. Ia ingin hidup tenang seperti dulu, tidak ada tekanan dari pihak Abdullah maupun Silfia. Dila ingin fokus mencari uang demi pengobatan bapak dan sekolah Najwa hingga lulus.
"Dila..." ucap seorang wanita yang baru saja tiba.
...~Bersambung~...
pokoknya ditunggu yaa author😁
tapi lihat aja sifat aslinya penyesalan mu tak ada gunanya 🤗
sehat slalu
smkin memnas dan runyam...
gmna nich reaksi si dilla nntinya kalau tau kbnarannya...
lanjut kak...
smngat...