Pangeran Dari kerajaan Vazkal tiba-tiba mendapatkan sistem auto pilot saat kerajaannya diserang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bahagia diatas duka
(Author: makasih buat kalian yang sudah support dan like karya pertama saya. Meskipun masih banyak kekurangan. Author mau ngopi dulu guys, pening pala.)
Semua prajurit Lamina menunduk, wajah mereka dipenuhi ketakutan. Sekya menatap mereka satu per satu. Pedangnya masih teracung, mengkilap memantulkan cahaya obor.
"Sekarang kalian punya dua pilihan," kata Sekya dengan suara tegas. "Tunduk di bawah perintahku dan lupakan musuh Dion, atau kalian akan mati seperti pimpinan kalian."
Salah satu prajurit yang lebih tua mengangkat kepala. Wajahnya penuh dengan kerutan, matanya menatap Sekya.
"Kami bersumpah akan setia pada Yang Mulia! Kami akan melawan siapa pun yang berani melawan Anda!"
Prajurit lainnya serentak mengiyakan, suara mereka bergaung, penuh dengan semangat yang baru. Sekya tersenyum, lalu ia memasukkan pedangnya kembali ke sarung.
"Bagus. Aku suka kesetiaan," katanya. "Mulai sekarang, kalian adalah bagian dari prajurit Vazkal."
Perintah itu menyatukan dua kubu, mengubah musuh menjadi sekutu dalam sekejap. Para prajurit Vazkal menyambut mereka dengan sorakan, menandai awal dari persatuan yang baru.
Pangeran Sekya menatap kerumunan pasukan barunya, raut wajahnya berubah serius. Dia mengangkat tangannya, membuat seluruh prajurit terdiam dan menoleh ke arahnya.
"Tak lama lagi kita akan berperang dengan Kerajaan Lamina," teriak Sekya. "Tempat kalian berasal. Namun jangan takut, meskipun mereka dikenal sebagai yang terkuat di benua timur ini. Aku bersumpah akan menghancurkan Lamina dan membebaskan ayahku!"
Teriakannya disambut dengan sorakan yang menggema, menggetarkan seluruh istana. Para prajurit Lamina yang kini menjadi bagian dari Vazkal juga ikut berteriak, menyingkirkan keraguan di hati mereka. Mereka mengacungkan senjata tinggi-tinggi, menyambut tekad pemimpin baru mereka.
Mendadak Sekya menoleh. Ia melihat Eliana berjalan perlahan ke arahnya. Eliana tersenyum, matanya berkaca-kaca karena terharu. Sekya kemudian berlari, memeluknya dengan erat.
"Aku tahu kau pasti berhasil, Pangeranku," bisik Eliana, suaranya bergetar menahan tangis. "Selamat, kau berhasil mengambil kembali kerajaanmu."
Sekya menenangkan Eliana, mengusap punggungnya. Ia menatap Eliana.
"Aku tidak akan bisa melakukannya tanpamu," jawabnya. Air mata Eliana mengalir, namun senyum bahagia tetap terukir di wajahnya.
Sekya melepaskan pelukannya, lalu menatap Eliana.
"Ayo ikut aku, Sayang," katanya.
Eliana menyeka air matanya.
"Kita mau ke mana?" tanya Eliana.
Sekya tersenyum sinis.
"Kita akan menemui Dion di penjara," jawabnya. "Aku ingin dia melihat apa yang telah dia lakukan, dan melihat siapa yang memenjarakannya."
Eliana mengangguk, lalu menggandeng tangan Sekya.
Mereka berjalan ke penjara bawah tanah. Suasana di sana lembap dan gelap, hanya diterangi oleh obor. Di sebuah sel, Dion diikat dengan rantai tebal yang menempel di dinding. Wajahnya bengkak dan dipenuhi memar. Dion mengangkat kepalanya, menatap Sekya yang datang bersama Eliana.
"Sekya," ucapnya dengan suara parau.
Eliana yang berada di samping Sekya bergidik melihat Dion. Sekya melirik Eliana, lalu dia tersenyum.
"Apa kabar, bajingan?" tanya Sekya, suaranya terdengar ramah namun dingin.
Dion tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Tawa yang sinis dan memilukan.
"Hahahaha... jangan senang dulu, Sekya," kata Dion. "Sebentar lagi Kerajaan Lamina akan menyadari ada yang aneh di Vazkal."
"Apa maksudmu?" tanya Sekya, alisnya terangkat.
"Ayahku, Raja Abbas," kata Dion. "Aku mengiriminya surat setiap minggu. Jika dia tidak mendapat kabar dariku selama satu minggu, dia akan menganggapku dalam bahaya. Dia pasti akan mengerahkan pasukannya ke Vazkal."
Sekya juga tertawa, tawa yang mengejek.
"Hahaha... apa susahnya?" katanya. "Aku tinggal mengirimkan surat setiap hari kepada ayahmu."
Dion kembali tertawa sinis.
"Tentu saja, Sekya," katanya mengejek. "Tapi dia sangat mengenali tulisanku. Jadi jika tulisannya berbeda... dia akan tahu jika itu bukan aku."
Tawa renyah Sekya terdengar. Tiba-tiba Brutus masuk ke dalam sel. Dia tertawa sambil memukul-mukul tameng besarnya.
"Sekarang hamba tahu, Yang Mulia!" ucap Brutus. "Hamba baru mengerti maksud dari rencanamu menyuruh Lyra mencuri surat yang ia kirim!"
Sekya mengusap-usap perutnya sambil tertawa.
"Sudah kubilang kan?" jawabnya. "Kalian akan tahu..."
Dion menatap mereka berdua, wajahnya kebingungan. Tawa mereka terdengar seperti musik yang menakutkan di dalam telinganya. Raut wajahnya dipenuhi kebingungan dan keputusasaan.
Sekya mendekat, ia mengeluarkan dua lembar surat dari balik jubahnya.
"Kau bilang tulisanmu sangat istimewa?" tanya Sekya. "Mari kita lihat."
Dion melihat surat-surat itu, tangannya gemetar. Sekya meletakkannya di hadapan Dion.
"Satu kau yang tulis, yang lain aku yang tulis," ucap Sekya. "Bisakah kau membedakannya?"
Dion menatap kedua surat itu dengan mata terbelalak, wajahnya pucat pasi. Tulisan tangan di kedua surat itu benar-benar sama, sampai Dion sendiri tidak bisa membedakan mana yang ia tulis dengan tangannya sendiri.
Sekya menatap Dion sejenak, lalu ia menoleh ke arah Eliana. Senyum penuh kemenangan terukir di wajahnya.
"Bagaimana?" tanyanya, suaranya kembali lembut.
Eliana mengangguk, lalu tersenyum lega.
"Aku tidak bisa berkata-kata, Pangeranku," jawabnya. "Kau benar-benar brilian."
Sekya mengusap pipi Eliana dengan lembut.
"Ini baru permulaan, Sayang," bisiknya, matanya kembali menatap Dion yang terdiam. "Masih banyak yang harus kita lakukan."
Sekya kembali menatap Dion, ekspresinya berubah dingin. Ia menjambak rambut Dion, memaksa kepala pria itu mendongak.
"Dengarlah, bajingan," kata Sekya, suaranya serak menahan amarah. "Ayahmu akan menganggap kau baik-baik saja di sini. Padahal kau tersiksa."
Ia membiarkan kalimatnya menggantung sejenak.
"Dan aku," lanjut Sekya, "akan memperkuat pasukanku serta kerajaanku dengan tenang... sebelum akhirnya meratakan kalian semua."
Sekya menyeringai kejam.
"Tenang saja. Kau tidak akan kubiarkan mati sebelum melihat Kerajaan Lamina rata dengan tanah melalui mata kepalamu sendiri."
Setelah berkata begitu, ia menampar Dion dengan sangat keras. Suara tamparan itu menggema di seluruh penjara bawah tanah yang sunyi.
Sekya melepaskan cengkeramannya dan berbalik. Ia menggandeng tangan Eliana, lalu melangkah keluar. Sebelum benar-benar meninggalkan sel, Sekya berhenti sejenak, menoleh ke arah Brutus dan prajurit lain yang berjaga di sana.
"Brutus," panggil Sekya. "Potong jari-jari Dion, sebagai bayaran karena telah menyentuh wanitaku."
Brutus mengangguk, ia mengambil pisau kecil yang tersimpan di balik sabuknya. Dion yang mendengar perintah itu, matanya melebar seketika. Seluruh tubuhnya menegang dan bergetar hebat. Rasa kaget dan ngeri menyelimuti dirinya, membuat napasnya seolah terhenti. Ia meronta dengan putus asa, mencoba membebaskan diri dari rantai yang mengikatnya dengan kuat. Wajahnya yang sebelumnya dipenuhi memar kini berubah menjadi pucat pasi, menandakan ketakutan yang tak terhingga saat ia menyadari nasib mengerikan yang akan menimpanya.
Sekya melanjutkan perintahnya. "Setelah itu, siksa dia dengan kejam setiap hari. Beri dia obat untuk cepat pulih, lalu siksa dia lagi. Jangan biarkan dia mati."
Sekya kemudian keluar dari penjara bawah tanah, meninggalkan Dion yang hanya bisa berteriak putus asa.
Sekya menggandeng erat tangan Eliana. Mereka berjalan keluar dari penjara bawah tanah dengan langkah yang tenang. Eliana menatap Sekya dengan mata penuh kekaguman.
"Kau benar-benar tidak main-main dengannya," ucap Eliana, suaranya bergetar.
"Aku tidak pernah main-main, Eliana," jawab Sekya, suaranya kembali lembut. "Aku hanya memastikan semua musuh mendapatkan balasan yang setimpal."
Eliana hanya mengangguk pelan. Mereka berjalan melewati koridor yang panjang dan megah, menuju kamar Sekya.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Sekya, melihat raut wajah Eliana yang tampak lelah.
"Aku baik-baik saja," jawab Eliana. "Hanya sedikit kaget dengan semua yang terjadi."
Sekya tersenyum lembut.
"Tenang saja, Sayang," katanya, "Mulai sekarang, kau sudah aman bersamaku."
Ketika mereka sampai di kamar Sekya, Eliana melepaskan gandengan tangannya. Wajahnya terlihat sedih.
"Pangeran," ucap Eliana, suaranya lirih. "Maafkan aku."
Sekya menatapnya bingung. "Maaf untuk apa?" tanya Sekya.
Eliana menunduk, tidak berani menatap mata Sekya. "Aku... aku tidak suci lagi," bisiknya. "Dion... dia telah menyentuhku."
Sekya terdiam sesaat, lalu ia tersenyum. Ia melangkah maju, memeluk Eliana dengan erat.
"Dengarkan aku, Sayang," kata Sekya, suaranya lembut, menenangkan. "Aku yang menyuruhmu melakukan itu."
Eliana kemudian mengangkat kepalanya. "Aku tahu, Pangeran," katanya. "Tapi tetap saja..."
Sekya mengusap rambut Eliana dengan lembut. "Aku hanya ingin kau tetap hidup, Eliana. Aku lebih suka kau tidak suci tapi tetap hidup, daripada kau mati karena menolak Dion."
{Pangeran, kendalikan diri anda. Hati anda berdegup kencang, suhu tubuh anda mulai naik} ucap sistem, suaranya seakan mengejek pangeran sekya.
"Diam," gumam Sekya dalam hati.
Ia melepaskan pelukannya, lalu menangkup wajah Eliana dengan kedua tangannya. Ibu jarinya mengusap lembut pipi Eliana. Sekya menunduk, mencium bibir Eliana dengan lembut, lalu memperdalam ciuman itu. Ciuman itu terasa begitu menenangkan dan penuh kasih sayang. Perlahan, Sekya membawa Eliana terbaring di ranjang, tanpa melepaskan ciuman mereka.