Follow IG Author, @ersa_eysresa
Setelah bertahun-tahun setia mendampingi suaminya dari Nol, rumah tangga Lestari mendapatkan guncangan hebat saat Arman suaminya tega membawa wanita lain ke rumah. Melati, wanita cantik yang membawa senyum manis dan niat jahat.
Dia datang bukan sekedar untuk merusak rumah tangga mereka, tapi ingin lebih. Dan melakukan berbagai cara untuk memiliki apa yang menjadi hak Lestari.
Lestari tidak tinggal diam, saat mengetahui niat buruk Melati.
Apa yang akan dilakukan oleh Lestari?
Apakah dia berhasil mengambil kembali apa yang menjadi miliknya?
"Karena semua yang tampak manis, tak luput dari Murka Sang Penguasa, "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa Anak-Anak
Lestari tercekat di ambang pintu. Suara langkah kecil yang tadi ia dengar seolah menggema di dalam dinding, tak wajar. Ia memanggil pelan,
"Dimas?"
Tak ada jawaban. Hanya hawa dingin yang perlahan merambat di sekujur kulitnya, seperti embun kematian. Di ujung kamar, cermin retak yang sejak semalam tak ia sentuh kini tampak lebih gelap, seolah ada kabut yang merayap di balik pantulannya.
Dan di sana, seperti muncul dari bayangan—ia melihat sosok kecil berdiri. Dimas.
Tapi Dimas yang ini… bukan anaknya.
Mata hitam itu berubah merah menyala, wajahnya datar, tak berjiwa. Ia menatap lurus ke arah Lestari, seolah ingin menembus kulit dan tulangnya. Lestari nyaris menjerit, tapi mulutnya seolah terkunci oleh rasa takut yang membatu.
"Dimas…?" suaranya nyaris tak terdengar.
Sosok dalam cermin mengangkat tangan dan menunjuk langsung ke wajahnya. Suara berat, bukan suara anak kecil, terdengar di dalam kepalanya, tanpa mulut bergerak.
"Ibu baru bilang… kamu harus pergi."
Tubuh Lestari limbung. Ia melangkah mundur, terantuk karpet, hampir jatuh. Ia memalingkan muka, merapal doa pelan. Saat ia membuka mata kembali, cermin itu kosong. Retakan-retakan masih ada, tapi sosok itu lenyap seperti kabut pagi.
Lestari tak menunggu lagi. Ia menuju ranjang anak-anak dan menemukan Dimas tengah tertidur, wajahnya tenang. Napasnya lembut. Tapi perasaan di dada Lestari tak tenang. Ia membelai kepala anak itu sambil berbisik lirih,
"Ibu di sini, sayang… Ibu gak akan biarkan siapa pun menyakitimu."
Namun ketika jari-jarinya menyentuh kening Dimas, tubuh anak itu menegang. Bibir mungilnya bergerak, membentuk kata dan suara yang keluar lagi-lagi bukan milik seorang bocah.
"Sudah kubilang… jangan ganggu."
Lestari tersentak. Suara itu dingin, datar, seperti bisikan dari sumur tak berdasar. Lestari terdiam dan terus merapalkan do'a, surat pendek dan dzikir dalam hati, berharap anaknya itu segera sadar.
Pagi datang dengan langit suram. Matahari malu-malu menembus awan kelabu. Lestari tidak tidur semalaman. Ia duduk di sisi tempat tidur Dimas, masih membaca doa dalam hati, menyalakan ayat-ayat dari ponsel, berharap ruangan itu tetap terjaga dari gangguan makhluk tak kasat mata.
Tapi semakin banyak doa yang ia ucapkan, semakin gelisah Dimas terlihat.
Anak itu duduk di meja sarapan, wajahnya pucat dan tatapannya kosong. Ketika kakaknya, Dara, menyodorkan segelas susu, Dimas hanya memandangnya tanpa ekspresi. Tangannya tak bergerak.
"Sayang, kamu kenapa? apa kamu baik-baik saja? " tanya Lestari lembut.
Dimas menatap ke arah Lestari, lalu tersenyum samar. Tapi senyuman itu… bukan senyuman anak-anak. Itu senyuman yang sinis, dingin.
"Tadi malam dia datang. Ibu baru. Dia pegang tangan Dimas. Katanya Ibu gak boleh marah-marah lagi."
Lestari menahan napas. Ini bukan sekadar mimpi. Dimas sudah mulai bicara tentang dia. Tentang Melati.
"Dimas denger dari mana?"
"Dia bisikin aku pas bunda tidur…"
Lestari tertegun, saat dia tidur. bukannya semalam dia tidak bisa tidur. Kenapa Dimas berkata seperti ini. Hal ini membuat lestari ketakutan.
Tak mau ambil risiko, Lestari segera mengatakan kepada Bu Nurul tentang apa yang terjadi pada Dimas. Perempuan sepuh itu datang dengan wajah muram dan tas kecil berisi botol minyak zaitun, garam laut, dan air doa.
Ritual sederhana dimulai. Dimas diminta duduk bersila, matanya ditutup. Ibu Nurul membacakan ayat-ayat pelindung, mengolesi ubun-ubunnya dengan minyak, dan mengitari tubuhnya dengan garam. Lestari menahan napas sambil menggenggam tangan putranya erat-erat.
"Kalau ada reaksi, jangan lepaskan," bisik Bu Nurul. "Dia bisa coba kabur lewat tubuh anakmu."
Beberapa menit pertama berjalan tenang. Tapi ketika ayat keempat dilantunkan, tubuh Dimas mulai menggigil. Nafasnya berat. Kepalanya terhuyung, lalu matanya terbuka lebar.
Mata itu merah.
Dan dari tenggorokan kecilnya, keluar suara berat dan menggelegar.
"Kalian pikir bisa usir aku? Kalian bukan siapa-siapa!"
Lestari menjerit mendengar semua ucapan Dimas,dia tidak percaya kalah Dimad kesurupan. Dimas tertawa terbahak, suaranya memantul dari dinding ke dinding.
Bu Nurul menaburkan garam ke lantai. Segera suara itu berhenti. Dimas menjerit, tubuhnya terlempar ke belakang, seperti terbakar dari dalam.
"Tarik dia!" seru Bu Nurul.
Lestari memeluk anaknya erat. Tubuh Dimas kaku, lalu menggigil hebat. Ia menangis, tubuhnya akhirnya lemas di pelukan sang ibu.
Bu Nurul mengelap keringat dari dahinya. "Belum pergi sepenuhnya. Tapi kita sudah membelah pengaruhnya. Sekarang, tinggal kau yang harus kuat. Ini belum berakhir."
Lestari mengangguk dan menangis dia memeluk erat tubuh kecil Dimas, dalam hati dia merutuki orang yang sudah membuat kedua anaknya seperti ini.
"Demi Allah aku tidak ikhlas siapapun mengganggu keluargaku, terutama anak-anakku. " ucapnya dalam hati dengan mata memerah penuh amarah.
Menjelang sore, langit gelap mendung. Lestari duduk di beranda pondok, memandangi pohon mangga yang daunnya berguguran ditiup angin. Ingatannya kembali ke masa lalu, dulu Arman menanam pohon mangga bersamanya saat mereka baru menikah. Kini, pohon itu menjadi saksi bisu runtuhnya biduk rumah tangga mereka.
Andai ia diberi pilihan, maka Melati tidak perlu melakukan hal ini kepada anak-anak nya. Karena mereka tidak bersalah, jadi jangan pernah mengusik ketenangan anak-anaknya. Cukuplah ini menjadi urusan mereka bertiga.
Ia menggenggam mushaf kecil di tangan, mengulang-ulang ayat perlindungan dengan suara pelan. Tapi hatinya tetap bergemuruh. Ada yang mendekat. Sesuatu… atau seseorang.
Ponselnya berdering dengan kuat.
Dari Nomor tak dikenal.
Dengan ragu, ia mengangkat panggilan itu.
"Hallo? siapa? "
Tak ada jawaban. Hanya deru napas.
Lalu suara perempuan terdengar. Pelan. Dingin.
"Datang ke rumah. Tengah malam. Sendirian."
"Siapa ini?"
"Atau anakmu akan aku jadikan tumbal."
Lestari menggenggam ponsel erat-erat, tubuhnya membeku. Ia tahu suara itu. Ia tak akan pernah lupa suara itu. Melati.
Ancaman itu bukan sekadar gertakan. Ia sudah melihat sendiri, Melati mulai menjadikan anak-anaknya sebagai jalan masuk. Dan jika ia tak bertindak, Dimas bisa benar-benar hancur.
Malam mulai datang. Angin menggoyang tirai jendela. Di kamar anak-anak, Lestari menyelimuti mereka satu per satu, mencium kening mereka, memeluk lebih lama dari biasanya.
Sambil menatap jam yang bergerak perlahan menuju tengah malam, Lestari tahu… ia tak punya pilihan. Jika harus memilih antara keselamatannya sendiri atau anak-anaknya, maka ia siap melawan, dengan cara langit, bukan sihir.
Ia meraih kerudung dan mushaf. Lalu menatap bayangan wajahnya di kaca yang retak itu.
"Aku akan datang, Melati. Tapi aku tak datang sendirian."
Lestari menerima tantangan Melati untuk datang ke rumahnya pada tengah malam. Tapi ia mempersiapkan dirinya bukan dengan dendam, melainkan dengan iman yang semakin kuat.