"Aku hamil, Fir, tapi Daniel tidak menginginkannya,"
Saat sahabatnya itu mengungkapkan alasannya yang menghindarinya bahkan telah mengisolasikan dirinya selama dua bulan belakangan ini, membuatnya terpukul. Namun respon Firhan bahkan mengejutkan Nesya. Firhan, Mahasiswa S2, tampan, mapan dan berdarah konglomerat, bersedia menikahi Nesya, seorang mahasiswi miskin dan yatim-piatu yang harus berhenti kuliah karena kehamilannya. Nesya hamil di luar nikah setelah sekelompok preman yang memperkosanya secara bergiliran di hadapan pacarnya, Daniel, saat mereka pulang dari kuliah malam.
Di tengah keputus-asaan Nesya karena masalah yang dihadapinya itu, Firhan tetap menikahinya meski gadis itu terpaksa menikah dan tidak mencintai sahabatnya itu, namun keputusan gegabah Firhan malah membawa masalah yang lebih besar. Dari mulai masalah dengan ayahnya, dengan Dian, sahabat Nesya, bahkan dengan Daniel, mantan kekasih Nesya yang menolak keras untuk mempertahankan janin gadis itu.
Apa yang terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moira Ninochka Margo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DELAPAN Dinner
Firhan tersenyum padaku, lalu mengelus rambut ini setelah ia kembali melihat dan memesan ikan apa yang akan jadi menu makan malam kami.
Tempatnya indah dan ramai. Sebuah Restaurant Seafood yang berada di Ancol. Katanya, tempat ini khusus di pesan oleh tamu istimewa kita, tamu yang dikhususkan pula untuk menemuiku. Aku bergetar, saat wajah Daniel tadi sore terlintas di pikiran. Lagi pula, tidak mungkin tamu istimewanya adalah dia, kan? Ia tahu betul bagaimana perasaanku dengan lelaki yang kubenci itu.
Tempat ini ternyata sangat nyaman dan banyak peminatnya. Bandar Djakarta, itulah namanya. Ada tempat khusus untuk memilih seafood yang akan di jadikan menu makanan sang pengunjung. Aku dan Firhan juga memilih tempat tepat berada di area luar seperti dining atau teras Resto. Rasanya dinner di pinggir pantai dan laut. Embusan angin sepoi, kini menyentuh kulit wajah dan masuk ke dalam pori hingga berefek dingin.
"Kamu suka tempat ini?" Suara Firhan di samping saat ini membuat aku memandangnya.
Senyuman kini menguap sembari mengangguk cepat. "Sangat!" akuiku dalam senyuman masih merekah di wajah ini.
"Syukurlah, mereka tidak salah memilih tempat." Gumamannya itu membuat aku menelengkan wajah ke arahnya.
"Mereka?"
Lelaki yang duduk di sebelahku itu mengangguk cepat sembari tersenyum yang membuat kedua mata ini memandang penuh tanya, bingung dan tak menyangka. Lagi-lagi hanya senyuman manis dan kilatan tatapan mata yang penuh menggoda dan jahil sebagai jawaban darinya hingga dengus terdengar dan merengut padanya yang seketika membuatnya terkekeh.
"Hei, Nyonya Firhan, jangan mengacaukan wajah cantikmu hanya kerana… " dan kalimatnya seketika terhenti dan berubah dengan senyuman manis, saat kupaksakan senyum lebar itu ke arahnya.
"Nah, begitu lebih baik," ringannya acuh dengan tampang innocent-nya yang lagi-lagi membuat aku mendengus.
"Fir?"
Suara paruh baya wanita yang kesannya terdengar bahagia dan begitu dirindukan suamiku kini membuat kami menoleh. Mataku terpaku, memandang sosok wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan tampak muda dengan gaun panjang merah gardennya, rambut di sanggul dan di sebelahnya berdiri gadis manis dengan ikalan rambut cokelat dengan dipadu dengan dress hijau tosca pendek hingga ke lutut. Tangannya melingkar ke lengan wanita paruh baya itu sembari mereka tersenyum berseri dengan mata berbinar. Yeah, itu adalah ibunya Firhan dan Adiknya.
"Ibu! Isti!" seru Firhan dengan senyuman lebar yang seketika berdiri dan disusul aku. Suamiku itu merentangkan tangannya dan kedua perempuan itu dengan raut wajah bahagia yang masih penuh senyuman riang berhambur menghampiri. Ibu memeluk Firhan penuh erat dan sejenak meneteskan airmata, lalu mengusapnya. Kemudian, disusul Isti yang begitu berseri dan senang melihat kakaknya, memeluk begitu erat. Aku yang bahkan melihat itu hanya bisa terharu sambil masih tersenyum dalam mata berbinar, kemudian mendesah diam-diam.
"Hai, Isti. Senang bertemu denganmu lagi." Sapaku lalu memeluknya saat pandangan kami bertemu, sembari tersenyum dan ia membalas dengan erat dan raut wajah berseri, meski kami sedikit canggung.
"Hai, Kak, senang juga bertemu denganmu malam ini. Dan yang lebih penting, terima kasih, telah menjaga kakakku." Sahut adik Firhan yang masih canggung, dan tersenyum tulus setelah pelukan terlepas.
Anggukan dan senyumanku menguap begitu saja. Mataku lalu beralih memandang hangat penuh kasih itu.
Tuhan, entah mengapa, rasanya aku melihat almarhumah ibu. Rasanya seperti memiliki ibu lagi.
Berusaha sebisa mungkin untuk tak menangis di hadapan mereka dalam perasaan yang masih kikuk.
"Dan… "
"Ibu! Panggil aku Ibu, Nak! Kamu tentu saja sudah menjadi anakku juga," pinta ibu Firhan menyela ucapanku yang membuat sontak memeluk wanita itu dan menangis dalam pelukannya.
Sekilas, aku melihat, orang-orang di sekitar kami menatap dengan tatapan aneh. Dan aku, tak peduli.
Oh, Tuhan, terima kasih untuk malam ini, terlebih, membuat Firhan bahagia!
"Ayo, silahkan duduk! Makanannya sudah di pesan, mungkin sebentar lagi akan datang." Sela Firhan setelah pelukan kami terlepas. Mungkin, ia risih dengan tatapan aneh yang masih memerhatikan di sekitar.
Kami lalu mengobrol, membahas tentang kabar masing-masing, keadaan kehamilanku, keseharian adik Firhan dan tentang kehidupan kami.
"Oh ya, Bu, ayah mengapa tidak datang?" tanyaku di sela-sela gurauan dan obrolan kami.
Dan seketika, suasananya terasa berubah, seperti tegang. Sekilas kulihat, mata ibu dan Isti memandang aneh Firhan, lalu mereka berdua tersenyum kikuk ke arahku.
Ah, Nes, dasar bodoh! Apa yang kau perbuat? Kau benar-benar mengacaukan suasana!
“Maaf,” lirihku yang terlontar begitu saja. namun, ibu hanya tersenyum hangat sembari menyentuh lembut pipiku. Kehangatan kasih sayang seorang ibu kini menjalar seketika di seluruh syarafku. “Tidak apa-apa, Nak,” lembutnya teduh menatap yang kubalas dalam senyuman dan mata berbinar.
Tangan Suamiku itu kini meremas jemariku untuk menenangkan dan tersenyum, begitu pun Isti
“Ayah tidak bisa datang, dia sangat sibuk, mungkin lain kali kita bisa bertemu dengannya,” sela Firhan berusaha membuatku mengerti.
Lelaki yang sejenak ekspresinya berubah kikuk itu kini berusaha tersenyum simpul di hadapanku, namun senyumnya tak menyentuh mata sembari mengangguk perlahan, seolah meyakinkan dirinya juga. Meski, aku merasa ada sesuatu alasan yang pastinya bukan sesuai asumsiku, tapi pikiran bodoh—negative itu masih berusaha di tepis dan menekan ke dalam otak bahwa ayah memang benar-benar sibuk.
Sejenak, menangkap mata mereka bertiga saling memandang satu-sama-lain, dan tiba-tiba saja suasana berubah tegang dan canggung. Sepersekian detik kemudian, suasana tiba-tiba berubah, saat pelayan datang dan membawa pesanan kami yang tengah di sajikan di meja. Ada Nasi Putih, Cumi Teppanyaki, Cumi Goreng Mentega, Ikan Bawal Jepang Sauce Bandar, Kepiting Tarakan Jantan Sauce Padang, Kerapu Steam, Udang Galah Super Sauce Telak dan beberapa Juice serta Air Mineral untuk kami, dan semua menu sesuai pesanan yang telah disebutkan oleh salah satu pelayan yang melayani kami—dari beberapa pelayan tadi. Setelah mengucapkan terima kasih dan meninggalkan kami, kami lalu makan sembari sesekali mengobrol.
...* * * *...