Di Era Kolonial, keinginan memiliki keturunan bagi keluarga ningrat bukan lagi sekadar harapan—melainkan tuntutan yang mencekik.
~
Ketika doa-doa tak kunjung dijawab dan pandangan sekitar berubah jadi tekanan tak kasat mata, Raden Ayu Sumi Prawiratama mengambil jalan yang tak seharusnya dibuka: sebuah perjanjian gelap yang menuntut lebih dari sekadar kesuburan.
~
Sementara itu, Martin Van der Spoel, kembali ke sendang setelah bertahun-tahun dibayangi mimpi-mimpi mengerikan, mencoba menggali rahasia keluarga dan dosa-dosa masa lalu yang menunggu untuk dipertanggungjawabkan.
~
Takdir mempertemukan Sumi dan Martin di tengah pergolakan batin masing-masing. Dua jiwa dari dunia berbeda yang tanpa sadar terikat oleh kutukan kuno yang sama.
~
Visual tokoh dan tempat bisa dilihat di ig/fb @hayisaaaroon. Dilarang menjiplak, mengambil sebagian scene ataupun membuatnya dalam bentuk tulisan lain ataupun video tanpa izin penulis. Jika melihat novel ini di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Kanjeng Ibu
Sumi tetap diam, jari-jarinya semakin erat mencengkeram lipatan kain jariknya. Ini bukan pertama kali pembicaraan seperti ini terjadi, tapi tak pernah seterang-terangan ini di depan umum.
"Lagipula," lanjut Kanjeng Ibu dengan nada menuduh, "aku mendengar desas-desus di luar sana. Omongan buruk yang sangat merusak nama baik Prawiratama."
"Omongan buruk apa, Bu?" tanya Soedarsono, wajahnya menunjukkan kecemasan.
"Bahwa Sumi sengaja memilih Lastri sebagai garwo ampil pertama—perempuan dari keluarga Mangunkarsa yang terkenal tidak subur—untuk menutupi kekurangannya. Membuat orang-orang beranggapan bahwa sebenarnya kaulah yang tidak bisa memberikan keturunan, bukan Sumi."
Wajah Soedarsono semakin serius. "Itu fitnah! Sumi memilih Lastri karena dia cantik dan dari keluarga yang berbudi baik, bukan karena alasan lain!"
"Tapi desas-desus tetap beredar," balas ibunya yang tampak kesal. "Dan yang lebih buruk lagi, omongan itu mulai dipercaya oleh keluarga-keluarga terpandang lain. Tidakkah kau mengerti dampaknya bagi keluarga kita? Untuk adik-adikmu yang sedang dipingit, menunggu lamaran?"
Soedarsono terdiam. Ada dua adik perempuannya yang sedang menunggu lamaran dari priyai, jadi citra keluarga Prawiratama sangat penting.
Desas-desus semacam itu bisa berdampak pada mereka yang mungkin tidak dianggap subur untuk menghasilkan penerus.
"Ibu sudah bicara dengan Raden Kartasura," lanjut Kanjeng Ibu. "Putrinya, Retnosari, masih muda dan sehat. Suaminya meninggal sudah satu tahun, dia baru dikaruniai satu putri. Jadi Ibu putuskan mengambil menantu janda, yang jelas subur rahimnya. Dia bersedia menjadi Raden Ayu baru di rumah ini jika kau menceraikan Sumi."
Sumi akhirnya mengangkat wajahnya, menatap mertua dan suaminya bergantian. "Mohon maaf, Ibu. Tolong beri saya waktu setahun lagi. Saya ... saya sedang berusaha mencari jalan."
"Lima belas tahun sudah sangat lama!" bentak Kanjeng Ibu. "Dan hasilnya? Kosong! Sementara keluarga lain sudah memiliki cucu banyak, dan aku masih harus menjelaskan pada setiap orang mengapa putraku belum juga memiliki pewaris!"
Soedarsono mengangkat tangannya, mencoba menenangkan ibunya. "Ibu, tolong bersabar. Saya tidak bisa begitu saja menceraikan Sumi. Dia telah mendampingi saya selama lima belas tahun dengan setia."
"Kesetiaan?" Kanjeng Ibu tertawa sinis. "Itu hanya alasanmu saja. Pasti karena kecantikannya, kamu berat sekali melepasnya sejak dulu. Apa gunanya kecantikan kalau tidak bisa menghasilkan? Ingat posisimu, Darsono. Kau bukan hanya seorang suami, tapi putra Ibu satu-satunya sebagai garwo padmi.”
Tiba-tiba wajah perempuan tua itu berubah, seolah teringat sesuatu. Matanya menyipit menatap Sumi.
"Tunggu dulu ... jangan-jangan ini ada hubungannya dengan Kedung Wulan?"
Sumi tersentak kaget, matanya melebar. "K-Kedung Wulan?"
"Ya, tanah terkutuk itu," ujar Kanjeng Ibu dengan nada dingin. "Tanah yang ditutup oleh Romomu saat masih menjabat sebagai Wedana Sumberejo. Dulu, sebelum ditutup, Kedung Wulan adalah tempat pemujaan bagi perempuan yang ingin cepat hamil.”
Tatapan Kanjeng Ibu menerawang, seolah mencoba mengingat peristiwa mengerikan puluhan tahun yang lalu. “Tapi kemudian ... terjadi sesuatu. Setelah terjadi penyelidikan, juru kunci tempat itu yang dituduh melakukan kejahatan, membuatnya dihukum mati oleh Belanda, dan romonya Sumi—saat itu menjabat Wedana yang berwenang atas wilayah itu—memerintahkan penutupan total area sendang.”
Sorot matanya yang tajam kemudian beralih pada Sumi. “Kenapa dulu aku tidak pernah berpikiran tentang ini saat mengambil Sumi menjadi menantu, aku terlalu tertipu oleh kecantikannya. Dan ironis, bahwa putri sang Wedana yang menutup tempat keramat itu kini tidak bisa memiliki keturunan. Seolah ... kutukan telah jatuh pada keluarganya."
"Ibu!" tegur Soedarsono. "Itu takhayul."
"Takhayul?" Kanjeng Ibu berdecak lidah. "Di tanah Jawa ini, Darsono, garis antara takhayul dan kenyataan sangatlah tipis. Leluhur kita tahu hal-hal yang tidak kita pahami."
Kemudian, seolah bosan dengan pembicaraan, Raden Mas Soedarsono melirik jam besar yang berdiri di sudut pendopo.
"Sudah hampir waktunya, Ibu. Kita harus bersiap."
"Bersiap untuk apa?" tanya sang ibu.
"Ibu lupa? Jamuan makan malam di rumah Karesidenan. Mevrouw Van Reijden secara khusus mengundang keluarga kita," jawab Raden Mas Soedarsono sambil bangkit dari kursinya. "Dan aku dengar keluarga Van der Spoel juga diundang—pemilik perkebunan tebu terbesar di karesidenan ini. Itu kesempatan baik untuk membicarakan rencana perluasan tanah kita."
“Ohh … iya. Ibu sudah tua, sering lupa sekarang.” Kanjeng Ibu turut berdiri, sambil menatap Sumi yang masih duduk bersimpuh di lantai. "Dan kau," katanya dingin, "pastikan kau tampil sempurna malam ini. Jangan tambah malu keluarga kita dengan penampilan yang tidak pantas."
Tanpa menunggu jawaban, perempuan tua itu berjalan menuju ruang dalam, diikuti oleh Soedarsono yang melemparkan tatapan minta maaf pada istrinya sebelum menghilang di balik pintu.
Sumi tetap duduk di tempatnya, napasnya terasa berat. Ucapan mertuanya tentang Kedung Wulan dan ayahnya terus terngiang.
Apakah benar ada hubungan antara kemandulannya dan tempat itu? Dan jika benar, mengapa Ki Jayengrana justru mengarahkannya ke sana untuk ritual?
Dengan tangan gemetar, ia menyeka setitik air mata yang jatuh di pipinya. Semakin besar tekanan yang ia rasakan, semakin besar pula tekadnya untuk menjalani ritual bulus hingga tuntas—apa pun risikonya.
Malam ini, di rumah Karesidenan, ia akan bertemu banyak orang penting. Termasuk keluarga Van der Spoel, pemilik tanah Kedung Wulan.
Mungkin ini kesempatan untuk berbicara lebih lanjut dengan Martin tentang tempat itu—dan tentang misteri yang mungkin melibatkan ayahnya sendiri.
Kereta kuda berukir dengan lambang Prawiratama meluncur di jalan utama kota menuju rumah Karesidenan.
Langit sudah mulai gelap, dan lampu-lampu mulai dinyalakan di sepanjang jalan protokol.
Raden Mas Soedarsono duduk di samping istrinya dalam kereta tertutup yang dilapisi beludru merah.
Ia mengenakan beskap hitam resmi dengan keris pusaka terselip di pinggang, sementara Sumi tampil anggun dalam kebaya sutra biru tua dengan selendang transparan yang dihiasi sulaman perak.
Soedarsono meraih tangan Sumi dan menggenggamnya erat.
"Jangan diambil hati perkataan Ibu tadi," bisiknya lembut. "Diajeng tahu sendiri bagaimana Ibu. Beliau memang kadang berkata keras, tapi bukan berarti serius."
Sumi menoleh, tatapannya sendu disorot temaram lampu kereta. "Tapi bagaimana kalau kita diminta cerai betulan, Kangmas? Saya tidak bisa membayangkan hidup tanpa Kangmas."
Soedarsono tersenyum tipis, kemudian dengan gerakan lembut mengecup pelipis istrinya. Sentuhan singkat itu membuat wajah Sumi bersemu.
Meski sudah bersama selama lima belas tahun, kemesraan dari suaminya masih bisa membuatnya berdebar.
"Sudah lima tahun terakhir Ibu seperti ini. Pasti hanya gertakan, biarkan saja," ujar Soedarsono menenangkan. "Seumpama diminta cerai betul, kita bisa berpura-pura berpisah di hadapan keluarga. Kau tetap tinggal di rumah besar kita, dan Ibu tinggal di Kadipaten seperti sekarang. Kangmas yang akan pindah rumah. Kita masih bisa bertemu dan berhubungan diam-diam."
Sumi menggeleng pelan, tidak setuju dengan solusi yang ditawarkan suaminya. "Itu bukan jalan keluar, Kangmas. Saya tidak mau hidup dalam kepura-puraan."
"Lalu apa yang kau inginkan, Diajeng?" tanya Soedarsono dengan menghela napas panjang. “Kangmas akan melakukan apapun untuk tetap mempertahankan Diajeng.”
Ada ketulusan dalam suaranya yang membuat mata Sumi berkaca-kaca. Di tengah tekanan untuk memiliki keturunan, di tengah desakan untuk menceraikannya, suaminya masih mencintainya—sesuatu yang jarang terjadi di kalangan bangsawan yang pernikahannya sering kali didasarkan pada kepentingan keluarga.
"Berikan saya waktu, Kangmas," bisik Sumi. "Mungkin beberapa bulan lagi, ada keajaiban."
Sebelum Soedarsono bisa bertanya lebih lanjut, kereta mereka sudah memasuki halaman rumah Karesidenan.
Bangunan megah bergaya kolonial itu berdiri gagah dengan puluhan lampu yang menerangi seluruh halamannya.
Beberapa kereta dan mobil mewah sudah terparkir rapi di halaman, menandakan bahwa banyak tamu penting telah tiba.
Kereta berhenti, dan seorang pelayan Belanda berseragam resmi membukakan pintu. Soedarsono turun lebih dulu, kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu Sumi.
"Jaga sikap kalian. Ingat, kita keluarga Prawiratama." Kanjeng Ibu memperingatkan, juga mengingatkan Soedarsono tentang beberapa nama penting yang harus ia temui di jamuan nanti.
Rumah Karesidenan tampak gemerlap dengan puluhan lampu kristal yang tergantung di langit-langit tinggi.
Ruang depan yang luas telah disulap menjadi ruang jamuan dengan meja-meja bundar yang dilapisi taplak putih dan dihiasi rangkaian bunga segar.
Para tamu—campuran antara pejabat Belanda, priyayi Jawa, dan pengusaha dari berbagai latar belakang—berkelompok dalam lingkaran-lingkaran kecil, berbincang sambil menikmati minuman yang dihidangkan oleh pelayan berseragam rapi.
"Ah, Raden Mas Soedarsono!" Tuan Residen Van Reijden, seorang pria paruh baya dengan kumis tebal khas Belanda, menghampiri mereka dengan gelas sampanye di tangan. "Senang Anda bisa hadir malam ini. Dan tentu saja, Kanjeng Raden Ayu dan Raden Ayu juga."
Soedarsono membungkuk sopan, begitu pula Sumi dan ibunya. "Terima kasih atas undangannya, Tuan Residen. Suatu kehormatan bagi kami."
"Justru kehormatan bagi kami," balas Van Reijden dengan aksen Belanda yang kental. "omong-omong, saya ingin memperkenalkan Anda pada seseorang. Dia baru kembali dari Belanda satu bulan lalu. Tadi dia mencari Raden."
Van Reijden menoleh, mencari-cari seseorang di antara kerumunan tamu. Matanya berbinar saat menemukan target yang dimaksud.
"Ah, itu dia! Tuan Van der Spoel!"
Di seberang ruangan, sosok tinggi pemuda Belanda bergerak ke arah mereka. Martin Van der Spoel tampak sangat berbeda dari pertemuan mereka pagi tadi yang sedikit berantakan.
Ia kini mengenakan setelan jas hitam formal dengan rompi gelap dan dasi kupu-kupu, dilengkapi bunga putih kecil yang tersemat di saku jasnya.
Rambutnya yang bergelombang disisir rapi ke belakang, memperlihatkan wajahnya yang tampan dengan tulang pipi tinggi dan mata biru tajam.
Di tangannya yang kanan terselip cerutu yang baru dihisap separuh, menambah kesan elegan dan dewasa pada penampilannya yang sempurna.
Meski beberapa goresan kecil di tangannya—hasil dari aktivitasnya di sendang siang tadi—masih terlihat samar, Martin berhasil menyembunyikannya dengan baik di balik penampilan formalnya.
"Tuan Residen," Martin membungkuk sopan saat tiba di hadapan mereka. Ia mengangguk pada Soedarsono dan Kanjeng Ratu, lalu saat matanya bertemu dengan mata Sumi, ada kilatan pengenalan di sana. "Raden Mas, Kanjeng Raden Ayu, Raden Ayu ... senang bertemu dengan Anda semua."
"Martin di sini mewakili ayahnya, Tuan Willem Van der Spoel, yang sedang berada di Semarang," jelas Van Reijden. “Tadi Tuan Martin mencari Anda Raden, silakan berbincang-bincang, saya akan menyapa tamu yang lain.”
Soedarsono mengangguk dan mengulurkan tangannya begitu sang residen berlalu. "Saya beberapa kali bertemu dengan ayah Anda. Beliau pria yang sangat berwawasan."
Martin menjabat tangan Soedarsono dengan mantap. "Terima kasih. Ayah saya sering menyebut nama Anda dengan penuh hormat. Beliau sangat menghargai kerja sama dengan keluarga Prawiratama. Kita harus membicarakan proyek saluran irigasi baru untuk perkebunan Selatan. Mungkin nanti kita bisa duduk bersama?"
Soedarsono tersenyum, merasa tersanjung. "Dengan senang hati.”
Tiba-tiba, pandangan Martin beralih pada Sumi. "Saya rasa Raden Ayu juga bisa bergabung ... kita bisa sekaligus membicarakan obrolan pagi tadi."
Soedarsono menatap istrinya dengan alis terangkat, sementara Kanjeng Ibu menyipitkan mata curiga.
"Terima kasih, Tuan Van der Spoel," jawab Sumi tenang. "Saya berharap Tuan sudah berubah pikiran. Saya akan membeli tanah Tuan dengan harga yang pantas."
Kanjeng Ibu tampak terkejut. "Membeli tanah?"
Sebelum situasi menjadi lebih canggung, Mevrouw Van Reijden kebetulan sedang berjalan ke arah mereka, menyelamatkan Sumi dari interogasi lebih lanjut.
"Ah, Kanjeng Raden Ayu! Boleh minta waktunya sebentar. Saya ingin berbicara dengan Anda tentang acara amal bulan depan. Mari, beberapa nyonya sudah berkumpul di ruang tengah untuk membicarakannya."
Dengan enggan, Kanjeng Ibu mengikuti istri Residen, meninggalkan Sumi, Soedarsono, dan Martin.
suami nya banyak istri
mungkin yg mandul Raden Soedarso sendiri
gapai kebahagiaanmu, jangan terus berkorban
dia kan istri ya pasti bgg lah mau gmg apa secara kan udh bersuami mana mgkin dia mau memanfaakan kmu itu oengaru dr sirep mbah dukun kali martin