NovelToon NovelToon
Dinikahi Nenek 60 Tahun

Dinikahi Nenek 60 Tahun

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Sablah

Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***

Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

jejak digital pagarjati

Mobil terus melaju melewati pusat kota. Lampu-lampu toko menyala, pejalan kaki lalu lalang, suara klakson terdengar akrab, semua terasa begitu hidup, kontras dengan keheningan aneh yang mereka tinggalkan di desa itu.

Tak lama, mobil mulai memasuki area kos-kosan Danu. Sebuah bangunan dua lantai yang tampak biasa. Di sekelilingnya banyak warung kecil, laundry, dan tukang ojek nongkrong di pinggir jalan.

"Nah, kita sampai," ujar Bima sambil mengerem perlahan. "Nu, lo beneran oke?"

Danu mengangguk, membuka pintu. Tapi saat ia melangkah keluar, Galang ikut membuka pintunya juga.

"Gue ikut lo dulu ke atas, Nu," kata Galang tiba-tiba.

Bima dan Naya saling pandang, tapi tidak berkomentar. Mungkin mereka mengerti bahwa ada hal yang ingin dibicarakan Galang secara pribadi dengan Danu.

Naik ke lantai dua, kosan Danu masih seperti biasa. Sepi, hanya suara kipas angin dari kamar sebelah terdengar samar.

Danu membuka pintu kamarnya. Sedikit berantakan, tapi masih bisa ditoleransi. Ia menjatuhkan ransel ke lantai dan duduk di pinggir kasur.

Galang masuk pelan-pelan, berdiri di dekat jendela. Ia menatap keluar, lalu berbalik menatap Danu.

"Nu, gue tahu lo nyembunyiin sesuatu."

Danu mendongak. "Apaan maksud lo?"

"Lo bukan cuma naik ke lereng buat ngobrol sama Nyai Laras, pasti ada kejadian lain yang belum lo ceritain ke Gue, Bima dan Naya." ujar Galang pelan. .

Danu menatap mata sahabatnya itu. Tatapannya jujur, tapi tetap penuh tekanan.

"Lo nyembunyiin cerita lain dari sana, kan?"

"Gue cuma… ngobrol bentar," ucap Danu akhirnya. "Gak ada yang aneh. Lo juga denger sendiri kan dari cerita pak Kades?, Nyai Laras emang orang sakti, suka ngomongin hal-hal yang kita gak paham. Mistis lah, masa lalu lah."

"Tapi lo keliatan beda setelah dari sana," Galang tetap menatap Danu dengan lekat "Kayak… kayak lo ninggalin sesuatu. Atau malah bawa sesuatu."

Danu memandang ke arah kipas yang berputar malas di langit-langit. Hening sejenak. Lalu, ia tersenyum kecil, senyum yang malah membuat Galang makin curiga.

"Lang, kita ini udah semester akhir, ya," ucap Danu, suaranya ringan, mengalihkan arah.

Galang sempat terdiam. "Hah?"

"Gue belum ngerjain revisi bab empat. Dosen pembimbing juga udah nagih. Lo gimana skripsi lo?"

Galang menyipitkan mata, menatap Danu dengan raut yang tidak puas. Tapi dia tetap menjawab, "Lancar sih, tinggal revisi dikit juga. Tapi—"

"Baguslah," potong Danu cepat. "Eh, minggu ini gue mau pulang. Nyokap udah nanya-nanya terus kapan gue balik. Katanya adik gue nanyain juga, katanya kangen abang gantengnya."

Galang mengernyitkan alis. "Lo balik minggu ini?"

"Iya, paling lama lusa. Lo ikut ya. Kayak biasa. Nyokap pasti udah nyiapin sambal terasi favorit lo." Danu tertawa kecil. "Gue juga udah kangen makanan rumah."

Galang terdiam. Sorot matanya melunak, kenangan hangat tentang rumah Danu seolah menyeruak. Tiba-tiba segala kecurigaan itu terasa jauh, seperti kabut yang perlahan menguap.

"Nyokap lo masih suka bikin opor ayam tengah malam?"

"Masih lah! Dan lo tahu kan, bokap gue pasti nanya kenapa lo belum punya pacar. Siapin mental," goda Danu, akhirnya bangkit dari kasur sambil membuka lemari kecil di pojok kamar.

Galang tertawa kecil. "Sialan lo, Nu."

Mereka tertawa, seolah tidak ada apa-apa yang terjadi. Tapi di balik tawa itu, Danu masih menyimpan satu dunia yang tidak bisa ia ceritakan. Tentang liontin yang kini sengaja ia sembunyikan di balik tumpukan baju, tentang Nyai Laras, tentang waktu yang bergeser, bahkan tentang apapun yang mungkin tertinggal di desa itu.

Dan Danu, tetap memilih diam.

*****

Keesokan harinya,

Dibelahan bumi lain.

Naya berdiri di depan pagar besi setengah berkarat itu sambil mengetuk-ngetuk pintu kecil di sampingnya. Udara pagi masih segar, belum banyak kendaraan lewat. Ia melirik jam tangannya. 07.15.

"Semoga belum mandi," gumamnya, lalu mengetuk lagi, kali ini lebih keras.

Tak lama, terdengar suara langkah kaki diseret malas, dan pintu terbuka. Muncul wajah Bima, rambut awut-awutan, kaus lusuh dan celana pendek. Matanya masih sayu.

"Nay? Pagi-pagi gini?"

"Lo belum mandi ya? Pas banget," kata Naya, langsung menyelip masuk sebelum Bima bisa menghalangi.

"Eh, lo ngapain sih tiba-tiba nyamperin?"

Naya melepas jaketnya, melempar ke sandaran kursi, lalu menatap Bima dengan wajah serius. "Gue pengen ngomongin Danu."

Bima menghela napas dan menggaruk kepala. "Gue kira ada yang penting banget. Ngopi dulu, napa?"

"Terserah deh, yang penting gue butuh bicara sama lo"

Naya memilih duduk di kasur Bima, sedangkan tuan rumah nya berjalan kearah meja kecil di sudut kamar. Bima menuangkan kopi instan ke dua gelas plastik, menyeduh nya, lalu menyerahkan satu ke Naya. Mereka duduk berseberangan, kipas angin kecil berdengung pelan di pojok ruangan. Kos Bima sederhana, tapi cukup nyaman.

Naya memegang gelas kopinya tapi tak langsung minum.

"Bim, lo ngerasa nggak sih... Danu berubah?"

Bima mengangkat alis. "Berubah gimana?"

"Sejak pulang dari desa itu, dia jadi pendiam. Nggak nyamberin obrolan, nggak ngelawak kayak biasanya, bahkan di grup chat dia cuma ngucap 'thanks' terus ngilang. Kayak bukan Danu."

Bima akhirnya mengangguk. "Gue juga ngerasa. Tapi mungkin dia lagi banyak pikiran? Skripsi, misalnya?"

Naya menatapnya datar. "Lo pikir gue nggak kenal Danu? Otak dia itu encer. Ga mungkin masalah skripsi itu jadi beban buat dia. Bahkan Danu aja sempet bantuin Galang nyusun outline. Dan dia selalu semangat tiap abis jalan-jalan, biasanya rame banget nyeritain hal-hal lucu. Tapi sekarang... dia kayak kehilangan bagian dari dirinya."

Bima menunduk sejenak, lalu berkata pelan, "Kemarin malam, Galang juga nginep di kosan Danu. Gue sempat lihat wajah Galang agak tegang waktu turun. Tapi pas gue tanya, dia bilang 'semuanya baik-baik aja.' Gue rasa... emang ada yang mereka berdua tutupin."

Naya meletakkan gelasnya. "Itu dia. Gue nggak tenang. Dan lo tahu, waktu kita sampai ke kosan Danu kemarin, dia sempat berhenti lama banget di tangga, diem, kayak mikirin sesuatu. Terus pas dia buka pintu kamarnya... dia kelihatan kayak orang yang baru kehilangan sesuatu."

"Atau... dapet sesuatu," tambah Bima setengah berbisik.

Naya menatapnya cepat. "Maksud lo?"

Bima mengangkat bahu. "Ya nggak tahu. Gue cuma asal ngomong. Tapi lo bener, Nay. Desa itu... ada sesuatu yang aneh. Dan kayaknya semua itu bermula waktu Danu naik ke lereng gunung"

Hening sejenak.

Angin pagi dari jendela menyapu tirai tipis. Naya menatap keluar, matanya kosong.

"Aku pengen tahu siapa wanita yang di bilang Nyai Laras itu," ujarnya tiba-tiba. "Kalau Danu nggak mau cerita, gue bisa cari sendiri. Pasti ada yang nulis soal desa itu di internet. Di blog, di forum horor, atau di berita lama."

"Lo yakin mau gali-gali kayak gitu?" tanya Bima ragu. "Kalau ketemunya sesuatu yang... lebih dari sekadar cerita biasa?"

Naya mengangguk mantap. "Berarti itu tandanya kita harus lebih dari sekadar penasaran."

Bima terdiam. Ia menyandarkan punggung ke dinding, menatap langit-langit kamar sejenak.

Naya meraih kopinya yang sudah hampir dingin, lalu menyesapnya pelan. Rasa pahitnya pas, tapi pikirannya tetap tidak tenang.

"Gue nungguin lo siap-siap deh," ucap Naya akhirnya. "Kita ke kampus bareng. Lo kan ada kelas jam sepuluh, kan?"

Bima melirik jam dinding. "Iya, tapi... lo yakin mau langsung ke kampus pagi-pagi gini? Belum tentu juga ada info yang lo cari di sana."

"Gue nggak nyari info di perpustakaan, Bim. Gue mau ke ruang komputer. Siapa tahu di internet ada yang nyebut soal Nyai Laras, atau pengalaman aneh di desa itu."

Bima mengangguk pelan, lalu berdiri dan mulai menuju lemari pakaian nya. "Oke. Tapi kita jangan bilang-bilang Danu atau si Galang dulu, ya."

"Gue tahu," jawab Naya pendek.

Selagi Bima bersiap, Naya menunggu di teras kosan. Angin masih membawa aroma tanah basah, entah karena embun atau sisa hujan semalam. Ia mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi pencarian, dan mulai mengetik: desa Pagarjati. lereng gunung Pagarjati, perempuan tua, Nyai Laras.

Hasilnya tak memuaskan. Kebanyakan hanya situs wisata, blog traveling biasa. Tak ada yang menyebut tentang sosok misterius atau rumah tua di lereng gunung.

Naya menghela napas. "Kayaknya emang harus di kampus, nih."

Bima akhirnya keluar lima belas menit kemudian, rambutnya masih basah disisir seadanya. "Udah. Yuk."

Mereka naik mobil Bima, menyusuri jalanan kota yang perlahan mulai padat. Naya masih diam sepanjang perjalanan, menatap ke depan, pikirannya penuh dengan bayangan tentang Danu yang berubah... dan sosok Nyai Laras yang mungkin lebih nyata daripada yang mereka kira.

*****

Sampainya di kampus,

Ruang komputer kampus masih sepi ketika mereka tiba. Beberapa mahasiswa tampak sibuk dengan tugas masing-masing, tapi kebanyakan kursi masih kosong. Bima langsung pamit menuju kelasnya, sementara Naya masuk dan memilih duduk di pojok, paling dekat jendela.

Ia menyalakan salah satu komputer, menunggu loading sambil menggigit kuku jempol, kebiasaan lamanya saat gugup atau penasaran.

Begitu halaman pencarian terbuka, Naya mulai mengetik lagi: Nyai Laras desa Pagarjati.

Beberapa detik... hasilnya muncul.

Kebanyakan tetap tidak relevan. Ada satu entri dari blog pribadi yang hanya menyebut “Nyai Laras” sebagai nama umum di daerah Jawa, tapi bukan apa yang ia cari.

Ia mempersempit pencarian: desa Pagarjati, rumah tua, perempuan tua, gunung, kejadian aneh.

Naya kembali menggulir halaman blog itu. Sampai Salah satu tautan menarik perhatiannya. Sebuah postingan di forum lama, tanggalnya sudah lewat lebih dari 2 tahun lalu. Judulnya:

//“Pernah ke desa yang penduduknya seperti orang kuno?”//

Naya mengeklik, Dan di layar, cerita yang muncul membuat bulu kuduknya perlahan meremang.

//“Gue berkunjung ke desa ini 2 tahunan lalu, dan ini bukan pertama kalinya, sebelumnya gue kesana sekitar tujuh tahun lalu. Entah kenapa rasanya kayak ada utang yang belum lunas. Tapi desa itu... anehnya, kayak nggak berubah sama sekali. Warganya masih pakai baju yang sama kayak tujuh tahun lalu. Sarung, kebaya, blangkon. Nggak ada jejak teknologi. Bahkan radio aja nggak gue lihat.”//

Naya membaca lebih lambat sekarang. Setiap kata seperti menegaskan apa yang mereka alami beberapa lalu.

//“Yang paling gila, kepala desanya. Tiap kali gue tanya, kepala desa mereka kemana? warga bilang dia lagi nggak ada. Dan itu terjadi selama tiga hari gue di sana. Bahkan pas gue tanya ke anak kecil, mereka jawab ‘Pak Lurah cuma muncul kalau ada yang bertapa di lereng gunung.’ Apaan tuh maksudnya?”//

Naya mengernyit, menggulir ke bawah.

//“Malam terakhir, gue denger gamelan dari arah lereng. Padahal nggak ada yang tinggal di atas sana. Waktu gue tanya ke ibu-ibu tua yang jual makanan, dia cuma bilang: ‘Mereka sedang mempersiapkan tamu.’”//

Naya menelan ludah. Jantungnya berdegup makin cepat. Ia bergumam, “Danu... Lereng gunung??....”

Naya langsung teringat tentang Danu kan kejadian hilang nya Danu beberapa hari itu.

//“Gue akhirnya pergi sebelum matahari naik. Nggak sanggup. Tapi sebelum gue keluar dari desa, ada anak perempuan kecil yang nyamperin gue dan bisik: ‘Kalau kamu pernah lihat nenek tua perempuan berkebaya putih berdiri di tengah kabut, jangan jawab apa-apa. Jangan tanya, jangan menyapa.’”//

Naya membeku. nenek tua berkerudung putih? apa itu nyai Laras?

Dan yang paling membuat bulu kuduk Naya meremang…

//“Gue sempet nanya ke warga sekitar tentang desa Pagarjati. Ada yang jawab singkat: ‘Oh, desa itu suka nyedot orang dari dunia luar. Biasanya yang terlalu penasaran.’”//

Naya menutup tab browser. Pandangannya kosong menatap layar komputer yang memantulkan wajahnya sendiri. Tapi sekarang wajah itu bukan sekadar wajah mahasiswa yang sedang iseng mencari tahu sesuatu. Itu wajah seseorang yang tahu:

apa yang mereka alami... mungkin belum selesai.

Dan bisa jadi, Danu belum sepenuhnya kembali.

Postingan itu diakhiri dengan peringatan:

//“Jangan datang ke Pagarjati sendirian. Jangan pernah naik ke lereng kalau dipanggil.”//

Tangan Naya perlahan menutup mulutnya sendiri. Matanya menatap layar dengan pandangan kosong. Ia mundur dari kursi, berdiri sejenak sambil menarik napas panjang. Perasaannya tak karuan.

"Danu…," gumamnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!