Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Mobil pemadam berwarna merah itu melaju perlahan, membelah jalanan kota yang sepi dalam malam yang kelabu.
Dari balik jendela, lampu-lampu kota tampak buram, tercampur dengan tetesan air mata yang tak henti jatuh dari mata Aluna.
Ia duduk diam di kursi penumpang, memeluk tubuhnya sendiri, seakan berusaha menghangatkan hati yang telah retak.
Sementara di belakang sana, jauh dari pandangan, Bu Ratna masih berdiri di depan rumah—memandang kepergian Aluna dengan tatapan penuh kebencian.
Suara terakhir wanita itu, dingin seperti pisau, masih terngiang di telinga Aluna:
"Malam ini kau boleh saja pergi, Aluna. Tapi ingat, aku tidak akan pernah membiarkanmu hidup tenang di luar sana."
Pundak Aluna bergetar kecil. Ketakutan itu menelusup diam-diam ke dalam hatinya, mencengkram napasnya.
Zayyan, yang mengemudi di sebelahnya, melirik sekilas ke arah Aluna.
Ada perih yang berdesir di dadanya melihat betapa rapuh gadis itu saat ini.
Tapi ia menahan diri untuk tidak banyak bicara. Ia tahu—malam ini bukan saatnya untuk memaksa Aluna berbicara. Yang ia butuhkan hanyalah kehadiran yang diam, tapi pasti.
...----------------...
Mereka tiba di sebuah gedung apartemen di sudut kota. Bukan apartemen mewah yang mengilap dan ramai, tapi sebuah gedung sederhana yang dikelilingi taman kecil, dengan lampu-lampu temaram yang memantulkan kehangatan pada dinding-dinding bata berwarna hangat.
Zayyan mematikan mesin mobilnya, lalu menoleh pada Aluna dengan senyum tipis yang mencoba menenangkan.
"Ayo, kita sudah sampai."
Dengan langkah pelan, Aluna turun dari mobil. Angin malam menerpa wajahnya, membawa aroma tanah basah dan daun yang berguguran. Zayyan memimpin jalan, membawa Aluna masuk ke dalam gedung. Mereka menaiki lift kecil yang berdenting lirih saat berhenti di lantai enam.
Pintu apartemen bernomor 602 terbuka dengan suara klik yang lembut.
Saat Aluna melangkah masuk, aroma samar kopi dan kayu memenuhi hidungnya.
Apartemen Zayyan sederhana, tapi penuh kehangatan. Lantai kayu dipoles mengkilap, dinding dicat dengan warna putih susu, dihiasi beberapa lukisan kecil bergaya minimalis.
Di pojok ruangan, ada rak buku berisi koleksi novel dan jurnal pemadam kebakaran. Sebuah sofa abu-abu besar bertengger di tengah ruang tamu, dengan selimut rajutan terlipat rapi di atasnya.
Lampu gantung dari anyaman rotan menyinari ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut.
Suasana apartemen itu seolah memeluk siapa pun yang masuk, menawarkan perlindungan dari dunia luar.
"Masuklah," ujar Zayyan pelan.
Aluna menatap sekeliling dengan mata kosong, langkahnya berat, seperti orang yang baru saja kehilangan seluruh dunianya.
Zayyan menuntunnya ke sebuah pintu di sebelah kanan.
"Ini kamarmu untuk sementara waktu, aku harap kau senang selama tinggal disini." katanya sambil membuka pintu.
Kamar itu sederhana, tapi hangat.
Ada tempat tidur dengan sprei putih bersih, sebuah meja kecil dengan lampu baca, dan jendela besar yang menghadap ke taman di bawah sana. Tirai tipis berkibar perlahan diterpa angin malam.
Aluna melangkah masuk, berdiri di tengah kamar, membiarkan tatapannya menyapu seluruh ruangan.
Hatiku hampa, pikirnya.
Semewah apapun tempat ini, tak akan pernah bisa menambal lubang besar yang menganga di dalam hatinya malam ini.
Zayyan memperhatikan ekspresi Aluna, matanya yang sembab, pundaknya yang lunglai. Tanpa berkata apa-apa, ia berjalan ke dapur kecil dan mulai membuatkan sesuatu.
Bunyi dentingan sendok, desis air panas, aroma cokelat manis yang perlahan mengisi udara.
Tak lama, Zayyan kembali dengan secangkir coklat hangat di tangannya.
Ia mendekat, menyerahkan cangkir itu pada Aluna dengan hati-hati.
"Istirahatlah, Aluna," suaranya lembut, menenangkan. "Aku tahu ini tidak mudah bagimu. Tapi percayalah... kau akan bisa melewati semua ini dengan baik. Aku percaya kalau kau bisa hidup lebih baik tanpa mereka."
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/