Hidup Syakila hancur ketika orangtua angkatnya memaksa dia untuk mengakui anak haram yang dilahirkan oleh kakak angkatnya sebagai anaknya. Syakila juga dipaksa mengakui bahwa dia hamil di luar nikah dengan seorang pria liar karena mabuk. Detik itu juga, Syakila menjadi sasaran bully-an semua penduduk kota. Pendidikan dan pekerjaan bahkan harus hilang karena dianggap mencoreng nama baik instansi pendidikan maupun restoran tempatnya bekerja. Saat semua orang memandang jijik pada Syakila, tiba-tiba, Dewa datang sebagai penyelamat. Dia bersikeras menikahi Syakila hanya demi membalas dendam pada Nania, kakak angkat Syakila yang merupakan mantan pacarnya. Sejak menikah, Syakila tak pernah diperlakukan dengan baik. Hingga suatu hari, Syakila akhirnya menyadari jika pernikahan mereka hanya pernikahan palsu. Syakila hanya alat bagi Dewa untuk membuat Nania kembali. Ketika cinta Dewa dan Nania bersatu lagi, Syakila memutuskan untuk pergi dengan cara yang tak pernah Dewa sangka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati yang melunak
Jantung Syakila berdebar kencang saat dia tiba di tempat yang dari luar terlihat seperti tempat pengobatan tradisional namun sebenarnya adalah tempat yang menyimpan banyak rahasia kelam.
Ditempat itu, banyak orang yang sudah menghilang. Di tempat itu, segala keputusasaan akan menemukan tempat untuk melebur
Syakila melangkah dengan langkah patah-patah. Bukan karena dia ragu, namun karena ini pertama kalinya dia memasuki tempat itu.
"Dokter sedang tidak ditempat. Anda bisa kembali lain kali," cepat seorang wanita didepan pintu.
"Aku kemari bukan untuk berobat," kata Syakila sambil memainkan ujung kaos yang dia kenakan.
"Kalau begitu, untuk apa?" tanya perempuan itu lagi.
Syakila tak menjawab. Dia mengeluarkan sebuah kartu undangan unik dari saku celananya.
Perempuan dengan penampilan gotik itu menatapnya sebentar dengan seksama. Kemudian, perempuan itu mengambil kartu undangan unik tersebut dari tangan Syakila. Usai memastikan keaslian kartu undangan tersebut, baru lah ia kembali mengeluarkan suara.
"Ponsel?" Tangan perempuan itu terulur ke depan.
Syakila dengan cepat merogoh sakunya kemudian menyerahkan ponsel yang ia bawa kepada perempuan itu.
"Ikut aku!" ucap perempuan itu. Ponsel milik Syakila dia berikan kepada seorang laki-laki yang semula sedang meracik obat di samping pintu masuk.
Semua hal ditempat ini seperti sebuah keajaiban yang hanya Syakila pernah lihat di film-film. Perempuan berpenampilan gotik itu menuntun Syakila ke sebuah ruangan. Semakin jauh mereka berjalan, semakin berbeda pula suasana yang Syakila rasakan.
Sekarang, Syakila benar-benar merasa ditempat yang asing. Tempat pengobatan tradisional yang semula ia masuki, tiba-tiba berganti menjadi sebuah tempat modern dengan cahaya putih terang yang mendominasi.
Saat pintu terakhir dibuka, Syakila berdiri terpaku saat menemukan seseorang yang pernah tak sengaja ia temui di atap gedung rumah sakit setahun yang lalu. Seseorang, yang menawarinya untuk 'mati' demi mendapatkan kesempatan kehidupan kedua yang lebih baik.
"Selamat datang, Syakila!" sambut perempuan tua dengan rambut yang sudah memutih semua.
Disisinya, berdiri seorang pria berumur 30-an dengan setelan jas yang rapi dengan ekspresi yang sangat serius.
"Anda masih mengingat saya?" tanya Syakila tak menyangka.
Perempuan tua itu tersenyum. "Tentu saja. Aku mengingat semua orang yang berhak untuk mendapatkan kehidupan kedua."
Perempuan yang tadi mengantarkan Syakila segera undur diri. Sementara, Syakila dipersilakan duduk di sofa yang tersedia.
"Aku tidak menyangka kalau kamu akan benar-benar datang" ucap perempuan tua itu. Dia menggeser secangkir teh ke hadapan Syakila.
Wajahnya tersenyum teduh. Namun, dibalik senyuman itu, tersimpan aura yang tidak bisa Syakila gambarkan.
"Saya ingin lenyap, Nyonya," ucap Syakila.
Perempuan tua itu tersenyum. Teringat, saat pertemuan pertamanya dengan Syakila, perempuan muda itu ingin bunuh diri dengan cara melompat dari gedung rumah sakit.
Beruntung, dia menemukan Syakila tepat waktu. Kala itu, Syakila ingin bunuh diri karena benar-benar sudah menyerah. Namun, berkat bujukan perempuan tua itu, Syakila akhirnya mengurungkan niatnya untuk bunuh diri.
Perempuan tua itu bilang, bunuh diri tak akan menyelesaikan masalah apa-apa. Sampai ke alam baka pun, hanya Syakila yang akan menderita. Sementara, mereka yang sudah menyakiti Syakila, belum tentu memperoleh penderitaan yang sama.
'Kenapa kamu harus mati sementara mereka akan tetap baik-baik saja? Tidakkah kamu ingin balas dendam, Syakila?'
Dua pertanyaan itu yang membuat Syakila akhirnya menyadari sesuatu. Dia tidak layak mati untuk orang-orang jahat itu. Dia layak berbahagia, memperoleh kehidupan yang jauh lebih baik.
"Sudah yakin?" tanya perempuan tua itu.
"Yakin," angguk Syakila.
"Kamu bawa seluruh dokumen mu?" tanya perempuan tua itu lagi.
Syakila mengangguk. Sebuah map ia keluarkan dari tas ransel yang sedari tadi ia bawa di punggungnya.
"Uangnya?"
Syakila menarik napas panjang untuk meredakan ketegangan yang ia rasakan. Kemudian, dia menyerahkan selembar cek yang diberikan oleh Viola sebelumnya.
"Baiklah," perempuan tua itu menerima cek yang diberikan Syakila dengan senyuman puas. "Seminggu lagi, kamu akan 'mati'. Ada permintaan khusus, bagaimana kamu akan 'mati', Syakila?"
Syakila menahan napas sejenak. "Aku..."
*****
Keluar dari tempat itu, Syakila bergegas menuju ke rumah orangtua angkatnya. Dia akan menjemput Andrew. Jika dia pulang tanpa Andrew, maka kebohongannya akan terbongkar. Bisa jadi, Dewa akan semakin memperketat penjagaan terhadap dirinya.
"Darimana saja kamu?"
Degh.
Syakila mematung saat melihat sosok Dewa yang ternyata sudah menunggunya dengan ekspresi marah di ruang tamu rumah orangtua angkatnya.
Tatapan pria itu terlihat ingin tahu. Ia penasaran, curiga, sekaligus tidak suka.
"A-aku... Aku habis bertemu dengan sahabatku," jawab Syakila.
"Sahabat?" Dewa mengerutkan alisnya. "Siapa?" lanjutnya bertanya.
"Kak Dewa tidak kenal. Jadi, percuma saja aku sebutkan namanya," jawab Syakila.
Brak.
Dewa menggebrak meja. Dia tak suka dengan jawaban Syakila.
"Jawab saja, Syakila!" tegasnya dengan suara yang naik satu oktaf.
Syakila menghela napas panjang. Pria ini benar-benar aneh. Kenapa Syakila merasa jika Dewa sedang cemburu?
"Namanya Viola Langford. Dia putri dari Tuan Nate Langford. Kak Dewa pasti mengenal nama itu, kan?"
Dewa berpikir sebentar. Ya, dia mengenal Nate Langford. Laki-laki itu adalah pengusaha perhiasan yang cukup terkenal di kota ini. Dan, kalau Dewa tidak salah ingat, Nate Langford memang memiliki satu orang putri.
"Kamu mengenal putri Tuan Langford?" tanya Dewa tak percaya.
"Kami kuliah di kampus yang sama, Kak Dewa," jawab Syakila. "Kalau Kak Dewa tidak percaya, Kak Dewa bisa cek langsung ke kampus atau ke keluarga Langford."
Akhirnya, Dewa percaya. Syakila tak mungkin melibatkan orang sepenting keluarga Langford jika memang berniat berbohong. Keluarga Langford bukanlah orang yang bisa diusik. Meski, tidak semenakutkan keluarga Clarke, namun Langford tetap nama yang disegani karena koneksi mereka yang terkenal luas.
"Lain kali, jika ingin bertemu dengan teman, beritahu aku!" ucap Dewa melunak.
"Kalau aku bilang, Kak Dewa tidak mungkin mengizinkan," balas Syakila jutek.
Dewa mengaku salah. Dia tak seharusnya mengurung Syakila. Namun, dia bisa apa? Firasatnya akhir-akhir ini terus merasa buruk. Seolah-olah, dia akan kehilangan Syakila secara tiba-tiba. Padahal, Dewa sama sekali belum siap.
Dia senang Nania kembali dan akhirnya resmi menjadi miliknya. Namun, untuk melepaskan Syakila, dia juga belum bisa rela.
"Bagaimana keadaanmu? Sudah benar-benar sembuh?" Dewa tiba-tiba mendekat. Dia menyentuh dahi Syakila dengan punggung tangannya.
"Sudah tidak apa-apa," jawab Syakila. Ia mundur selangkah. Menciptakan jarak yang benar-benar terasa di hati Dewa.
"Syakila, aku..." Dewa maju selangkah. Kembali mengikis jarak diantara mereka. Kedua tangannya meremas bahu Syakila. Makin lama, wajahnya semakin dekat ke wajah Syakila.
Rasa bersalah dengan rasa yang asing jadi bercampur. Dewa tidak tahu apa yang terjadi pada hatinya. Yang jelas, semenjak Syakila berhenti peduli padanya, ia merasa jadi gelisah.
"Dewa, Kamu sedang apa?"
lah
semoga syakila bahagia dan bisa membalas dendam terhadap keluarga dito yang sangat jahat
menanti kehidupan baru syakila yg bahagia...