Berawal dari ganti rugi, pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi. Seiring waktu, tanpa sadar menghadirkan rindu. Hingga harus terlibat dalam sebuah hubungan pura-pura. Hanya saling mencari keuntungan. Namun, mereka lupa bahwa rasa cinta bisa muncul karena terbiasa.
Status sosial yang berbeda. Cinta segitiga. Juga masalah yang terus datang, akankah mampu membuat mereka bertahan? Atau pada akhirnya hubungan itu hanyalah sebatas kekasih pura-pura yang akan berakhir saat mereka sudah tidak saling mendapatkan keuntungan lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 08
"Lilyy sayang .... I'm coming."
Terdengar suara cempreng Ines. Dengan gegas Lily keluar rumah dan melihat sahabatnya yang sedang menurunkan standar motor.
"Ya ampun. Tumben amat elu bawa motor. Gue pikir kita bakal pakai sepeda gue," kata Lily. Mengalungkan tas di pundak sembari memakai sepatu.
"Jangan gila. Perjalanan jauh, Ly. Kalau ngayuh sepeda, ntar bedak gue luntur. Emang elu mau, gue ketemu Arvel dengan bedak yang belepotan?" Ines mendengkus kesal.
"Enggak papa lah. Kalau emang Arvel suka sama elu, walaupun muka elu kayak monyet miskin, dia bakalan tetep suka sama elu."
"Allahuakbar! Elu sekolah cuma raga doang, mulut elu enggak ikut sekolah apa?! Lemes amat!" sungut Ines.
Tanpa peduli ucapan Ines, Lily segera melajukan motor tersebut. Menuju ke restoran tempat di mana acara reuni itu diadakan. Walaupun merasa enggan, Lily tetap ikut serta demi sahabatnya. Sekali lagi yang perlu ditegaskan. Demi menemani Ines bertemu dengan Arvel.
Hampir dua puluh menit perjalanan, Lily memarkirkan motornya. Lalu berjalan bergandengan dengan Ines. Restoran itu terbilang mewah untuk sekelas rakyat dirinya. Lily justru merasa tidak percaya diri saat masuk di sana.
"Wah, selamat datang Nona Lily."
Terdengar suara Yasmin yang membuat Lily merasa muak saat ia membuka pintu. Banyak yang sudah datang di sana. Namun, mereka belum melihat keberadaan Arvel di ruangan itu. Ines pun mendadak lesu. Khawatir Arvel benar-benar tidak datang.
"Terima kasih atas sambutannya dari manusia yang paling terhormat, Nona Yasmin." Lily membalas sapaan si musuh dengan tenang. Sama sekali tidak takut.
"Gue pikir, elu enggak akan dateng ke sini," ujar Yasmin dengan sinis.
Lily menarik kursi dan mendudukkan bokongnya dengan gaya elegan.
"Elu pikir gue takut datang? Gue udah diundang, udah pasti gue datang." Lily membalas sambil tersenyum simpul. Ah, senyuman yang membuat Yasmin semakin merasa kesal.
"Ya, harusnya elu sadar diri. Kalau gadis miskin kayak elu, enggak pantas datang ke sini," kata Yasmin. Tidak ada yang berani mendebat karena mereka sudah tahu siapa Yasmin. Berani berurusan dengan dia, sudah pasti hidupnya tidak akan baik. Namun, semua tidak berlaku untuk Lily. Selama benar, gadis itu tidak merasa takut dengan siapa pun.
"Terus, kalau memang elu enggak mau gue datang, harusnya elu kasih notif, dong. Terkhusus Nona Sekar Lily Permata. Diharapkan untuk tidak datang," ujar Lily dengan santainya. "Karena elu enggak ngasih catatan seperti itu, jadi gue pikir siapa pun bisa datang."
"Sudah, sudah. Maaf, Yasmin. Lily datang ke sini karena nemenin gue. Gue yang maksa dia buat ikut."
Prok prok prok!
Yasmin bertepuk tangan dengan keras. Hingga membuat suasana di ruangan itu mendadak hening. Wajah mereka nampak tegang. Namun, sekali lagi tidak dengan Lily yang masih saja bersikap tenang.
"Kalian berdua ini memang satu spesies. Miskin dan kampungan. Sudah pasti kalian akan saling melindungi satu sama lain. Begitu 'kan?" Yasmin berbicara sinis.
"Jadi, ini di sini kita mau reuni, apa elu emang berencana mau ngebully gue sama Ines? Kalau emang cuma buat ngebully, mendingan gue pulang sekarang." Lily bangkit dan hendak pergi dari sana. Rasanya sudah malas sekali jika harus meladeni Yasmin si sombong itu.
"Tunggu dulu, dong. Gue 'kan belum puas. Di mana pacar elu yang miskin itu? Jangan bilang kalau elu enggak berani bawa dia ke sini," kata Yasmin masih dengan angkuhnya.
Ines menoleh ke arah Lily, lalu berbisik di telinga gadis tersebut. "Elu udah punya pacar?"
"Dia salah paham. Dia pikir Om Tampan itu pacar gue."
"Ngapain kalian bisik-bisik!" sentak Yasmin kesal.
"Enggak papa. Gue cuma males aja ladenin elu. Ngapain juga elu nanyain pacar gue, elu naksir dia karena tampan, 'kan?" Lily tersenyum menggoda. Sementara Yasmin langsung melengos.
Brian mana mungkin datang. Bahkan, Lily tidak mengajak pria itu sama sekali. Walaupun mereka saat ini sedang menjalani hubungan sebagai kekasih pura-pura, tetapi Lily sama sekali tidak ingin mengajak Brian. Tidak mau membawa pria itu pada masalah yang berhubungan dengan Yasmin.
"Cih! Tampan tapi miskin buat apa?!"
"Elu yakin banget kalau dia orang miskin?! Jangan sampai elu malu setelah tahu dia siapa," tantang Lily tanpa rasa takut.
"Oh, buat apa gue malu. Harusnya elu yang malu. Teman-teman, asal kalian tahu. Lily yang pemberani ini, dia adalah simpanan om-om. Kalian tahu 'kan semiskin apa teman kita ini. Demi bertahan hidup, dia rela menjadi wanita simpanan," kata Yasmin dengan keras.
Tangan Lily terkepal erat. Napasnya memburu karena terbakar emosi. Hampir saja ia tidak bisa mengendalikan diri. Namun, usapan lembut Ines di lengannya membuat Lily menghela napas panjang. Ia harus bisa lebih tenang.
"Nona Yasmin, jangan besar kepala!" hardik Lily. "Jangan sampai gue nemuin fakta bahwa yang disebut wanita murahan itu elu sendiri. Biasanya saat menunjuk ke orang lain, satu telunjuk menunjuk ke orang lain, tapi empat lainnya menunjuk diri sendiri."
"Bilang apa lu?! Elu nuduh gue."
"Oppsss!! Santai, Nona. Gue cuma bilang kalau biasanya. Lah, elu malah sewot. Jangan-jangan ... elu tersinggung ya?" Lily menunjukkan senyuman liciknya lagi. Membuat Yasmin terbungkam. Wajahnya nampak sangat gugup.
Siapa yang membela Yasmin? Tidak ada. Bahkan, mereka pun semua ikut diam saat Lily sudah bersikap seperti itu.
"Setiap kesabaran ada batasnya. Elu bisa hina gue sepuas elu. Tapi, jangan harap gue bakal tinggal diam setelah elu hina habis-habisan. Gue udah tahu, wanita sejenis elu, justru biasanya yang suka naik ke ranjang om-om buat ngejar popularitas, apalagi elu seorang model 'kan? Gue yakin elu bukan hanya pernah tidur dengan satu pria."
Plak!
Tamparan yang sangat keras terdengar di ruangan itu. Yasmin sudah menampar Lily dengan kuat. Hingga sudut bibir Lily mengeluarkan setitik darah saking kuatnya. Lily tidak menangis. Hanya mengusap pipinya yang memerah. Sementara Ines merasa sangat khawatir.
"Lily, ayo pergi dari sini." Ines tidak mau suasana semakin memanas.
Lily mendekatkan wajahnya, berbisik di telinga sang sahabat. "Nanti dulu, elu belum ketemu Arvel, Nes."
"Astaga. Jangan mikirin itu. Mendingan sekarang kita pulang sebelum semua makin panas. Yasmin nampar elu aja udah keterlaluan," kata Ines.
"Kalau elu berani pergi dari sini, itu artinya elu emang takut sama gue."
Ah, Yasmin belum juga sadar diri. Masih sangat menantang.
"Ingat, gue pergi bukan karena takut. Gue cuma males aja ngadepin wanita kayak elu. Soal tamparan, kalau cuma buat ngebales, gue bisa banget. Tapi tangan suci gue terlalu berharga harus bersentuhan dengan kulit kotor elu!"
kenapa Lily begitu syok melihat Om tampan datang yang ikut hadir dimalam itu 🤦