Raisa, gadis malang yang menikah ke dalam keluarga patriarki. Dicintai suami, namun dibenci mertua dan ipar. Mampukah ia bertahan dalam badai rumah tangga yang tak pernah reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08
Besok siang nya, raisa dan iwan pergi kerumah atun. Iwan sudah mewanti-wanti pada istri nya, jangan terlalu memaksakan diri. Namun, raisa merasa tidak enak hati kepada sari jika dia menolak untuk datang.
"Wah, lihat siapa yang datang," ucap Atin lantang, matanya menyipit penuh iri saat melihat motor Iwan yang tampak baru.
Iwan memang sengaja menjual motor nya yang lama, uang hasil jual nya iwan jadikan dp motor yang baru dan lebih mahal dari sebelum nya.
"raisa ..wan, kalian datang." sambut risma dengan ramah,dia berjalan mendekati ipar nya. Risma memang gadis baik, dia jug seorang menantu di sini tentu saja dia merasakan bagaimana jahat nya atun kepada para menantu nya.
"selamat ya ris...semoga dede nya sehat selalu dan panjang umur" ucap raisa dengan senyum bahagia nya,tidak lupa dia mengusap lembut perut ipar nya itu.
"awas sayang....kata orang tua jaman dulu ,jangan sembarangan membiarkan orang lain mengelus perut kita saat hamil. Takut nya nanti terjadi sesuatu hal yang buruk!" sela udin dengan nada yang tinggi dan sinis. Raisa dan risma reflek menoleh ke asal suara.
Raisa terdiam terpaku,hati nya benar-benar sakit. Namun dia menahan nya untuk membalas perkataan ipar nya itu.
Pandangan nya kembali tertuju risma,"oh iya...maaf ya ris ,aku tidak bisa membantu mu banyak. Ini ada sedikit untuk kamu!"ucap nya dengan mengeluarkan amplop dari dalam tas baru nya itu.
Sengaja raisa datang kesana hanya ingin membuktikan bahwa dirinua sekarang bahagia,bisa membeli motor baru,pakaian bahkan sekarang raisa terlihat mengenakan riasan wajah.
Atin sejak tadi memandang sinis ke arah ipar nya,dia benar-benar iri sekarang. "seharus nya aku yang memakai motor itu bukan dia!"gumam nta pelan dengan pandangan berkilat marah pada raisa.
"terimakasih banyak raisa..dan maaf atas perkataan suami ku."lirih nya pelan dengan mata yang sudah berkaca-kaca
Raisa hanya menanggapi dengan senyuman tipis. Tidak ada yang menyapa raisa di sana, bahkan atun dsn yang lain nya pun hanya diam seolah-olah di sana tidak ada iwan dan raisa.
Di sudut ruangan, Aji terus menatap Raisa, tatapan yang sulit dimengerti, seolah menyimpan sesuatu yang tak terucap.
Dia menyembunyikan kegugupan nya dengan memberi senyuman tipis pada ipar nya itu.
Raisa tau, aji orang yang baik, hanya saja dia salah memilih seorang istri. Istri yang selalu memiliki hati busuk dan iri hati.
"jika kamu tidak nyaman kita bisa pulang sekarang ."bisik iwan kepada sang istri,iwan benar-benar sudah muak melihat kelakuan semua keluarga nya yang sama sekali tidak menganggap nya ada.
"sebentar lagi mas...nunggu teteh datang."ucap nya dengan berbisik ,berusaha menahan gejolak amarah di hati nya.
iwan menghela nafas panjang, dia benar-benar kagum pada istrinya. "Terbuat dari apa hatimu... kenapa kamu bisa sekuat itu di lingkungan seperti ini?" gumamnya dalam hati, menatap istrinya penuh kekaguman.
Beberapa menit, sari datang beserta suami dan kedua anak nya.
"bibi raisa..." teriak riko ,anak pertama sari yang sudah berusia 8 tahun.
raisa berjongkong dan merentangkan kedua tangan nya bersiap memeluk keponakan nya itu.
Riko berlari dan langsung memeluk riasa,"bibi kemana saja. Setiap aku berkunjung kerumah nenek aku tidak melihat bibi lagi?"tanya riko dengan sangat polos.
Raisa tidak sanggup memjawab dia hanya tersenyum tipis dengan tangan yang menyubit pipi riko.
Sari mendekat ke arah raisa. Raisa dengan cepat berdiri dan mencium tangan ipar nya itu.
"bagaimana kabar mu raisa..makin cantik aja nih adik teteh" goda sari dengan mencolek dagu raisa.
"ah teteh bisa saja...teteh juga sekarang terlihat langsing dan awet muda." goda raisa dengan terkekeh kecil.
Mereka berdua tertawa ,seolah-olah mengabaikan semua orang yang ada di sana.
"oh iya...kenapa kalian ada di luar?apa acaranya masih belum di mulai?"tanya sari dengan mengrutkan dahi nya. Pandangan nya beralih pada seluruh keluarga nya. Lalu beralih kembali pada raisa dan iwan.
Sari menghela nafas panjang, dia benar-benar bingung ,apa alasan semua orang membenci raisa. Apa karena raisa bukan orang yang gampang di perintah seperti risma dan dewi?.
"teh berhubung teteh sudah datang...aku pamit pulang ya"lirih nya dengan merasa sedikit bersalah.
"Loh, kenapa, Sa? Ayolah, temani sebentar aja ya, kita bareng-bareng," bujuk Sari lembut, sambil menggenggam erat tangan iparnya.
Raisa menggeleng pelan,tatapan nya penuh permohonan. Saat ini dia benar-benar tidak nyaman.
"tenang...sekarang ada teteh."ucap nya meyakinkan bahwa ipar nya akan baik- baik saja.
Raisa terdiam sesaat, matanya memandang suaminya. Iwan menanggapi dengan anggukan pelan.
"baiklah teh..."jawab nya dengan tersenyum tipis.
Sari tersenyum manis,dia mengandeng ipar nya dengan sangat hangat. Dewi yang melihat itu langsung memasang wajah masam.
Dewi memang selalu ingin dekat dengan sari, tapi entah kenapa sari selalu menjauh.
"Lihat, Bu...kenapa sih teteh selalu pilih kasih sama ipar-iparnya? Cuma Raisa aja yang diperlakukan baik!" adu Dewi pada Atun, wajahnya cemberut.
" biarkan saja wi...itu tidak akan merubah kasih sayang ibu terhadap mu. Kamu masih menjadi menantu kesayangan ibu." jawab nya dengan sedikit berteriak. Membuat fokus semua orang teralih kan pada atun.
Dewi memang selalu di manja oleh atun. Karena aji putra nya selalu memberikan uang bulanan cukup besar, sehingga membuat atun harus menyayangi istri aji.
Padahal dalam hati dewi sering kali mengeluh jika uang bulanan habis oleh mertuanya. Sering kali aji memberi nasehat jika tidak mampu tidak usah memberi uang pada ibu nya. Tapi dewi selalu mencari muka di depan mertua nya agar dia bisa lebih unggul dari senua menantu nya.
"drama apa lagi ini."gumam raisa pelan dengan pandangan menatap tajam ke arah dewi.
Acara syukuran akhirnya dimulai. Semua orang berkumpul di ruang tengah rumah Atun. Meski ramai, suasana terasa dingin, apalagi bagi Raisa dan Iwan yang sudah merasa tidak nyaman sejak awal datang.
Raisa duduk di dekat Sari, mencoba bersikap biasa saja. Iwan sesekali melirik Raisa, memastikan istrinya baik-baik saja.
Namun, ketegangan mulai terasa ketika Udin, suami Risma, mulai mengumbar sindiran yang terdengar jelas, tanpa malu-malu.
"Percuma aja dandan cantik, baju baru, motor baru, tapi anak aja gak punya. Kosong, kayak rumah kosong, sepi!" ucap Udin, sambil tertawa kecil penuh ejekan.
Beberapa orang tersenyum sinis, sebagian lainnya pura-pura sibuk sendiri, tidak berani menegur Udin.
Raisa menunduk, mencoba sabar. Iwan yang duduk di sampingnya hanya bisa menghela napas panjang, meski wajahnya mulai memerah menahan emosi.
Tak cukup sampai di situ, Udin kembali melanjutkan, "Nabung beli motor sih bisa, beli tas bisa, baju baru bisa, tapi ngasih keturunan buat suami sendiri gak bisa. Buat apa coba, sok kaya aja kerjaannya."
Raisa yang dari tadi diam, akhirnya mendongak. Wajahnya terlihat tegar, meskipun hatinya tercabik-cabik.
Dengan senyum tipis, Raisa menatap lurus ke arah Udin, lalu menjawab pelan tapi tajam, "Gapapa sih Bang, daripada punya anak tapi nganggur, terus anaknya dikasih makan apa? Kasihan Bang, anak-anak itu gak minta lahir ke dunia, tapi kalau lahir dalam keadaan miskin, terus orang tuanya gak mampu kasih makan, sekolah, kasih masa depan, itu sama aja menelantarkan anak."
Ruangan itu langsung hening. Semua mata tertuju pada Raisa.
Udin terdiam sesaat, wajahnya memerah, tapi gengsinya terlalu tinggi untuk mengaku salah.
Raisa melanjutkan, "Saya sih gak masalah dibilang gak punya anak, tapi saya gak mau egois, punya anak tapi gak bisa bahagiain mereka. Kata orang bijak, punya anak dalam keadaan gak siap secara ekonomi, itu sama aja nyakitin anaknya sendiri."
Risma, yang dari tadi hanya menunduk, menatap suaminya tajam, malu atas sikap Udin.
Iwan akhirnya ikut bersuara, suaranya tegas tapi tenang, "Kita ke sini niatnya baik, Bang, bukan buat dihina. Kalau gak senang sama kami, bilang aja, gak perlu pake sindiran kayak gitu."
"Mas, kita pulang aja yuk, aku udah cukup denger semuanya," lirih Raisa sambil berdiri.
Sari langsung berdiri mendampingi Raisa, "Raisa, sabar ya, biar teteh aja yang nanti omongin sama keluarga."
Dewi melirik sinis ke arah Raisa dan Sari yang tampak akrab, sementara Atun hanya diam tak berkutik.
Raisa merapikan tasnya, menatap seluruh keluarga di sana, "Terima kasih atas jamuannya, lain kali gak usah undang kami kalau cuma mau ngerendahin orang."
Tanpa menunggu respon, Raisa dan Iwan melangkah pergi, meninggalkan suasana syukuran yang kini berubah menjadi canggung.