"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."
"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"
Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
Raga panik dan mencari kesana kemari di tangannya Kian berteriak pelan memanggil nama saudaranya itu.
"Ayo kita minta bantuan pada pak Satpam," ucap Raga pada Kian yang mengangguk setuju.
Sebelum mencapai tempat itu terdengar suara anak kecil yang berteriak, "Hei! Kian! Sini." Tampaklah Keenan yang ternyata berada di area Zona Kreativitas, dia duduk di kursi kecil sambil melihat seorang anak yang lebih besar sedang mencoba membuat batik dengan pola kartun kesukaannya. Raga langsung bernapas lega sementara Kian berlari dan memeluk Keenan dari belakang.
"Sini duduk di sampingku."
Reno bergabung dengan beberapa orang tua yang sedang mengawasi anak-anak mereka. Keenan yang penasaran sekaligus takut mencoba menarik tangan Raga dengan tujuan minta pertolongan.
Raga duduk di bawah dengan alas tikar, dia membantu menuangkan malam cair ke atas kain, sementara Keenan memilih pola mobil kesukaannya dengan dibimbing oleh Raga. "Mas, ayo buat yang bagus," ucap Keenan semangat. Kian merasa iri dan ingin juga mencoba. Setelah batik pola mobil Keenan jadi kini ia berpindah untuk membatu Kian yang sudah siap dengan berbagi macam pola di kepalanya.
Setelah puas bermain dan belajar, mereka menuju kantin dan memesan es krim. Raga senang bisa menghabiskan waktu dengan adik-adiknya itu. Tidak terasa sudah setahun mereka berpisah, setiap kali mereka melakukan panggilan video si kembar selalu menyuruhnya datang.
Raga membawa adik-adiknya itu ke daerah Malioboro untuk membeli beberapa oleh-oleh yang akan dibawanya pulang. Ia melihat pedagang aksesoris yang menjual gelang, kalung, dan gantungan kunci berbentuk Tugu Jogja. Raga memutuskan untuk membeli beberapa dibantu oleh si kembar yang memilih beberapa gelang warna-warni.
Setelah lelah berbelanja, mereka duduk di bangku di pinggir jalan dan mencicipi jajanan khas. Mereka membeli tiga porsi serabi yang hangat dengan topping cokelat dan keju.
"Rasanya luar biasa enak!"seru Kian sambil asik mengunyah. Raga tersenyum sembari mencicipi wedang ronde miliknya.
"Mas, nanti naik itu ya," ucap Keenan menunjuk ke arah andong yang sedang membawa penumpang menuju tujuan mereka.
"Oke, tapi habiskan dulu makanan kalian."
Setelah istirahat, Raga menepati janjinya, mereka naik andong dan seorang kusir membawa mereka menyusuri Malioboro sambil menikmati pemandangan pedagang, wisatawan, dan gedung-gedung tua di sepanjang jalan.
Selama seminggu Raga berada di Jogja, kini tiba waktunya dia untuk kembali. Dia pergi pagi sekali bahkan si kembar belum bangun dari tidurnya.
Sang ayah mengantarkan kepergian anak sulung kembali ke kota kelahirannya. Mereka berpelukan cukup lama sembari ayahnya menyampaikan beberapa wejangan yang didengar Raga dengan seksama. Dia pun pergi meninggalkan kota itu dengan diiringi perasaan sepi.
***
Bri akhirnya sampai di rumah setelah mengerjakan setumpuk berkas yang ia rasa tidak ada habisnya. Dibukanya pagar dan membawa mobilnya masuk ke dalam garasi. Ketika hendak menutup pagar dia melihat sebuah motor berwarna hitam terparkir di garasi rumah tetangga samping itu.
Sehabis mandi Bri duduk meja kerjanya dan memeriksa pekerjaan yang masih tertunda sambil menyeruput kopi susunya dia memainkan jari-jarinya di atas keyboard.
Dia baru tidur pukul 2 pagi dengan kepala pening luar biasa, diambilnya sebutir tablet penghilang sakit dan menarik selimutnya siap untuk terlelap.
Pagi itu, cahaya matahari perlahan menyelinap melalui celah-celah jendela, menari di atas lantai kayu yang masih dingin. Dari luar, terdengar suara ayam berkokok bersahutan, seakan memberi tanda bahwa hari telah dimulai. Angin pagi yang sejuk membawa aroma rumput basah dan bunga-bunga di taman kecil depan rumah.
Bri menggerutu pelan, kepalanya yang semula dirasanya sudah sembuh kini mulai berdenyut. Suasana yang tadinya tenang mengiringi lelap tidurnya sekarang berganti menjadi seperti neraka baginya.
Suara keras itu memenuhi seluruh ruangan di kamarnya, Bri bangun sambil menutup telinganya tak tahan dengan suara itu, siapa orang gila yang menyetel musik keras seperti ini batinnya.
Bri turun dan mendapati beberapa gelas yang berada di didapurnya bergetar kecil akibat kerasnya musik yang diputar itu. Tanpa merapikan dirinya, dia pergi keluar rumah dan mengedarkan pandangan mulai mencari asal suara itu.
Ternyata sang tetangga misterius yang belum pernah ditemuinya, Bri tak menunggu lama dan bergegas berjalan dengan penuh emosi menghampiri rumah di sebelahnya itu.
Rumah itu berwarna abu-abu tua sedangkan pintu utama dan garasinya berwarna hitam. Sama sepertinya rumah itu juga punya lantai tambahan di atasnya.
Bri berhenti di depan pintu itu, untungnya pagar tidak terkunci jadi dia bisa langsung masuk. Diketuknya pintu itu berulang kali, namun sang pemilik tak kunjung datang. Dia frustasi hingga berkacak pinggang, heran juga tidak ada tetangga yang protes mengenai musik berisik itu.
Bunyi pintu terbuka membuyarkan lamunan Bri. Tampaklah seorang pria yang mungkin seumuran dengannya sedang mengucek matanya, rambutnya yang acak-acakan menutup matanya. Bri sudah siap mengeluarkan segala emosi yang ada dirinya sedangkan si tetangga tampak malas menatap tamu pagi harinya itu.
"Siapa ya?" tanya pria itu yang kini menggaruk tengkuknya yang gatal, sementara matanya setengah terpejam.
"Aku tentangga baru. Di sebelah sana. Aku kemari karena terganggu dengan musikmu," ucap Bri yang berusaha mengendalikan dirinya.
"Oh ya. Ada apa dengan musiknya?" tanya pria itu santai yang membuat Bri semakin kesal dengan respon itu.
"Ada apa katamu? Tolong kecilkan suaranya! Itu sangat mengganggu," seru Bri yanh semakin kesal.
"Baiklah," ucap tetangganya yang masih tidak mengganggap bahwa musiknya mengganggu.
"Kau tidak merasa bersalah rupanya. Musikmu mengganggu ketenangan orang lain. Kau di sini kan tidak tinggal sendiri. Tolong hargai orang lain juga." Bri bersedekap sambil sesekali menunjuk ke arahnya.
"Untuk ukuran orang baru kau berisik juga ya, baiklah." Pria itu tanpa basa-basi langsung menutup pintunya meninggalkan Bri yang masih melongo.
"Dasar brengsek! Awas saja kau tidak mengecilkan musikmu!" Seru Bri yang masih dongkol namun terpaksa harus meninggalkan tempat itu. Setelah keluar dari pagar tetangganya dia bertatapan dengan sepasang suami istri yang rumahnya ada di depan, mereka tersenyum menyapa Bri dan dibalasnya dengan sangat canggung.
Bri masuk ke dalam rumahnya masih dengan kekesalan yang belum sepenuhnya keluar, untungnya suara musik itu sudah dikecilkan.
"Pria gila itu benar-benar harus diwaspadai. Dan juga kenapa tidak ada satupun yang protes," ucapnya bicara pada diri sendiri.
"Aduh! Kepalaku sakit lagi." Dia memegangi kepalanya sambil mengambil segelas air.
Dipandangi jam yang tergantung di dinding, "Sial! Aku terlambat," ucapnya sambil terburu-buru naik kembali ke atas untuk bersiap-siap berangkat kerja.
Bri sudah siap dengan mengenakan blazer berwarna abu-abu muda senada dengan celana panjangnya dan dalaman kemeja kuning muda berbahan sifon. Rambutnya dikuncir kuda tak lupa dia memakai heelsnya. Bri memastikan rumahnya aman untuk ditinggalkan dan bergegas keluar seraya mengunci pintu matanya menatap rumah di sebelahnya yang tampaknya belum ada aktifitas apapun.