Kesayangan Tuan Sempurna

Kesayangan Tuan Sempurna

Anak-Anak yang Malang

Sore itu hujan turun dengan sangat derasnya. Menyebabkan suara bising yang tiada henti. Derasnya guyuran hujan itu meredam tangis seorang gadis kecil berusia 8 tahun. Ia duduk bersimpuh di depan peti mati yang diatasnya bertengger foto sepasang laki-laki dan perempuan paruh baya.

Tangis gadis kecil itu begitu buruk. Ia meraung-raung sambari memukul dadanya karna sesak. Matanya sudah bengkak dengan kedua pipi yang telah basah karna air mata. Tak ada kata-kata yang keluar, selain isak tangis dari bibir mungilnya.

Di belakangnya ada tiga orang paruh baya. Dua pria dan satu wanita. Mereka tengah berdebat dengan sengit. Seakan tak ada yang mau mengalah atau menengahi.

"Bagaimana sekarang? Toni dan Bella pergi dengan meninggalkan anak yang masih kecil itu. Hahhh ..."

"Mau ikut siapa dia? Keluargaku sudah cukup susah. Aku harus berjuang menghidupi tiga anak. Gak bisa aku kalau harus membawanya."

"Kau pikir hidupku juga gak susah?! ... Kita gak punya pilihan selain salah satu dari kita harus membawanya. Kalau tidak kita akan dikecam oleh masyarakat."

Ketiga orang itu terus saling melempar tanggung jawab, tanpa memperdulikan perasaan gadis kecil yang mendengar semua perdebatan itu. Kesedihan gadis kecil itu semakin menjadi.

Namun, saat ini air mata dan isak tangisnya seakan tertahan. Bayangan hari-hari indah bersama kedua orang tuanya berkelebat di ingatannya becampur dengan bayangan masa depan abu-abu yang menantinya.

"Mama ... Papa ... Kenapa kalian pergi tanpa membawaku?!" Ucap lirih gadis kecil itu menatap foto di depannya.

Tatapannya kosong. Bahkan, manik matanya seakan tertutup kabut. Hanya ada kehampaan dan keputus asa'an di sana.

Dengan lunglai ia bangkit berdiri untuk keluar dari ruangan duka itu. Melewati paman dan bibinya yang masih berdebat, bahkan tak sadar akan kepergiannya.

Gadis kecil itu berjalan keluar tanpa arah dan tujuan. Langkahnya lunglai seakan tak bernyawa. Sampai ia terhenti di teras rumah duka itu. Ia menatap langit berawan gelap dan derasnya hujan sore kala itu. Gadis kecil itu berdiri di sana cukup lama. Melamun entah sampai ke mana otak kecilnya itu berkelana.

Sampai ia mendengar suara isak tangis yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia mengikuti suara tangis itu, sampai ke sisi rumah duka.

Di sana ia melihat seorang anak laki-laki yang sepertinya lebih tua darinya. Anak laki-laki itu tengah berjongkok dan menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya. Dengan berani gadis kecil itu berjalan mendekatinya. Tanpa bersuara ia ikut duduk berjongkok di samping anak laki-laki itu.

Merasa ada orang lain di sampingnya. Anak laki-laki itu mengangkat kepalanya dan menoleh ke samping. Ia terheran melihat seorang gadis kecil dengan tampilan berantakan tiba-tiba ikut berjongkok di sampingnya.

"Siapa kamu?" Tanya anak laki-laki itu tajam. Gadis kecil itu diam dan tak menjawab.

Merasa diabaikan, anak laki-laki itu menatap tajam ke arah gadis kecil itu. Ia memperhatikan tatapan kosong dari sepasang mata yang bengkak. Bahkan masih ada sisa air mata diujung mata dan pipi gadis kecil itu. Akhirnya, anak laki-laki itu hanya diam dan membiarkannya ikut berjongkok di sampingnya.

Detik dan menit terus berlalu. Hanya keheningan yang ada di antara kedua anak itu. Sampai gadis kecil itu membuka suaranya.

"Kenapa kakak menangis sendirian di sini?" Tanyanya dengan pandangan yang masih sibuk menatap derasnya hujan di depannya.

Terkejut dengan pertanyaan mendadak gadis kecil itu. Anak laki-laki itu diam beberapa saat, sebelum menjawab pertanyaannya.

"Hari ini ayahku meninggal. Aku tak bisa menangis di depan ibuku yang sudah cukup terpukul dengan kepergian ayah ..." Jawabnya dengan hembusan nafas berat diakhir kalimatnya. Gadis kecil itu akhirnya menoleh dan menatap matanya. Sepasang manik mata bewarna hitam menatapnya dengan intens. Ia seakan bisa tenggelam di dalamnya.

"Yah, Sebagai anak laki-laki satu-satunya, aku harus terlihat kuat. Baik di depan keluarga maupun ibuku. Hanya saja, aku juga ingin menangis. Kepergian ayahku juga sangat menyedihkan bagiku ..." Imbuhnya tanpa sadar. Entah kenapa tatapan gadis kecil di sampingnya itu seperti menariknya untuk jujur.

"Kakak boleh menangis sepuasnya di sini. Kalau sudah merasa baik kakak bisa kembali ke ibu kakak ... Sedangkan aku sudah gak ada tempat kembali ..." Jawab gadis kecil itu lirih. Anak laki-laki itu bisa melihat kesedihan dan rasa putus asa yang teramat di matanya.

"Apa yang terjadi?"

"Hari ini mama dan papaku meninggal. Mereka meninggalkanku sendiri tanpa membawaku ..."

Anak laki-laki itu tertegun mendengar penjelasan gadis kecil di sampingnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya keluh seakan tak bisa keluar sepatah katapun. Dengan lembut ia hanya bisa menepuk-nepuk ringan puncak kepala gadis kecil disampingnya.

Gadis kecil itu diam menerima ketulusan dari orang asing di sampingnya. Ia bisa merasakan kehangatan mengalir dari sentuhan lembut di kepalanya sekarang. Walau, hari esoknya masih kelabu. Ia sedikit mendapatkan harapannya lagi. Bahwa, semua akan baik-baik saja.

"Terima kasih ... Aku akan baik-baik saja. Kakak juga harus seperti itu ya ..." Ucap gadis kecil itu dengan senyum diwajahnya. Kali ini anak laki-laki itu bisa sedikit melihat kilatan semangat di kedua matanya.

"Yah, tentu saja." Jawabnya dengan senyum kecil yang juga mulai tersungging diwajahnya.

Dengan lembut anak laki-laki itu mengusap bekas air mata dari kedua pipi gadis kecil di sampingnya itu dengan sapu tangannya.

"Bawalah ini." Ucap anak laki-laki itu menyodorkan sapu tangannya ke arah gadis kecil itu. Ia menerimanya dengan senang hati.

Beberapa saat mereka kembali terdiam. Sampai mereka mendengar beberapa suara orang paruh baya berteriak.

"Ellia ... !!!"

"Ah, aku sedang di cari. Aku harus pergi ... Selamat tinggal kak." Pamit gadis kecil itu, setelah mendengar namanya di panggil.

Belum sempat anak laki-laki itu menjawab, Ellia sudah berlari pergi. Melihat Ellia pergi, ia ingin mengikutinya sampai ia melihat sesuatu yang berkilau di tanah. Ia segera memungutnya. Dan ternyata itu adalah sebuah anting berbentuk bunga mawar. Dan anting itu hanya tinggal sebelah. Ia teringat tadi sepertinya Ellia memakai anting itu.

Tanpa pikir panjang anak laki-laki itu bangkit dan berlari dengan maksud mengembalikan anting yang ditemukannya itu. Tapi, ia sudah terlambat. Ia melihat Ellia masuk ke sebuah mobil dan dengan cepat mobil itu pergi meninggalkan rumah duka.

Ia pun menatap lagi anting kecil ditangannya, kemudian ia genggam erat benda kecil itu sembari teringat perkataan Ellia yang mengatakan kalau semua akan baik-baik saja.

"Tuan muda Gavin, di sini anda rupanya." Ujar seorang pria paruh baya mengenakan setelan jas hitam resmi.

"Ada apa pak Hasan?"

"Nyonya Irene mencari anda." Jawabnya sopan.

"Baiklah. Ayo kita kembali ke tempat ibu. Semua akan baik-baik saja." Ucap Gavin yang membuat pria bernama Hasan di sebelahnya merasa terharu dengan ketabahan tuan mudanya itu. Padahal ia baru berusia 13, tahun ini.

Dengan begitu kedua anak malang itu, mulai melangkah menuju ke lembar kehidupan mereka yang baru. Masa depan yang masih abu-abu dihadapan mereka. Mereka yakini akan menjadi cerah pada akhirnya.

Apakah bisa?

.

.

.

Bersambung ...

Terpopuler

Comments

irie kun 🖤

irie kun 🖤

kaaa nikma baruu baca awalnya udah di bikin mewek aja tapi seruuu 😍🔥 semangat teruss ya ka jangan lupa jaga kesehatan jugaa ☺️

2025-02-01

1

YuniSetyowati 1999

YuniSetyowati 1999

Aku mampir kak othor

2025-02-15

1

KOHAPU

KOHAPU

akhirnya back juga...

2025-02-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!