Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***
Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
yang tidak diakui
Setelah upacara penutupan selesai, suara peluit terakhir dari pembina menjadi pertanda bebasnya para peserta camping dari barisan. Dalam sekejap, lapangan yang semula rapi dengan deretan siswa kini berubah menjadi kerumunan yang riuh rendah. Beberapa anak langsung berhamburan menghampiri orang tua mereka yang menunggu di pinggir lapangan. Ada pula yang berkumpul di sekitar guru pendamping, menunggu aba-aba untuk naik ke bus sekolah yang terparkir tidak jauh dari area camping.
Di antara keramaian itu, Danu dan Galang tetap berdiri di sisi mobil, memindai lapangan dengan pandangan awas. Tak butuh waktu lama, sosok yang mereka tunggu akhirnya muncul.
"Mas Danu! Kak Galang!" suara nyaring itu datang dari seorang gadis remaja yang melambaikan tangan dengan semangat. Nadia, adik kandung Danu, berlari kecil menghampiri mereka sambil menyampirkan ransel besar di pundaknya. Rambutnya sedikit kusut, wajahnya kemerahan karena terpapar matahari, tapi sorot matanya cerah. Meski tubuhnya tampak lelah, ada semangat yang tak bisa ditutupi dari caranya berjalan dan tersenyum.
Danu langsung melangkah cepat, menyusul adiknya di tengah lapangan. Galang tak jauh di belakangnya. Begitu bertemu, Danu merengkuh Nadia sebentar dalam pelukan singkat, lalu menatap wajahnya lekat-lekat.
"Capek, Nad?" tanyanya lembut.
"Iya, banget. Tapi seru kok," jawab Nadia sambil tersenyum tipis.
"Sini, tasnya biar aku bawa," sahut Galang, langsung meraih tas besar di punggung Nadia tanpa menunggu jawaban.
"Ada barang lain?" tanya Danu.
Nadia mengangguk. "Masih ada sleeping bag dan matras. Sama sisa sarapan tadi yang belum aku buang."
Ketiganya berjalan bersama menuju tempat tenda Nadia berdiri tadi. Setelah mengumpulkan semua barang, mereka pun kembali ke mobil. Danu membuka bagasi, menyusun barang-barang Nadia dengan rapi, lalu menutup pintu dengan satu hentakan ringan.
Begitu semua siap, mereka masuk ke dalam mobil. Galang duduk di kursi depan seperti biasa, sementara Nadia duduk di belakang sambil langsung bersandar lelah.
Mobil perlahan melaju keluar dari area bumi perkemahan, menembus jalan tanah yang masih basah oleh embun pagi.
Di dalam mobil, tidak ada percakapan selama beberapa menit. Hanya suara kipas AC yang berhembus pelan, dan desiran roda yang melindas kerikil. Danu mengemudi dengan tenang, sementara sesekali menoleh ke kaca spion untuk melihat kondisi adiknya.
Nadia terlihat diam, tapi tak tidur. Pandangannya tertuju ke luar jendela, menyaksikan pepohonan yang perlahan berganti dengan rumah-rumah penduduk saat mereka mulai mendekati jalan utama.
Dan ketika pandangan Nadia sudah beralih ke situasi mobil, matanya langsung menangkap tas rotan kecil yang berada tak jauh darinya.
"Eh,... Ini roti siapa?" gumam Nadia tiba-tiba.
Danu dan Galang saling melirik cepat, tapi Galang yang lebih dulu menjawab.
"Gak tau roti dari siapa, tapi enak."
"Wah, dari panitia camping kali, Kak" kata Nadia santai. "Soalnya tadi juga ada yang bilang panitia nyediain makanan sisa buat yang nginep."
Danu tidak menanggapi. Ia hanya diam, fokus mengemudi. Tapi kata-kata Nadia malah makin mengusik pikirannya. Apa mungkin benar roti itu dari panitia? Tapi bagaimana caranya panitia bisa meletakan di dalam mobilnya, sedangkan mobil itu dalam situasi terkunci.
"Ngomong-ngomong, tadi malam ada cerita aneh loh" lanjut Nadia membuka pembicaraan lagi. Kali ini wajahnya berubah sedikit serius.
"Aku bangun sekitar jam tiga. Tiba-tiba kayak ada yang nyanyi di dekat pohon besar. Padahal harusnya semua peserta udah tidur."
Galang langsung menoleh ke belakang. "Nyanyi? Suara siapa?"
Nadia menggeleng. "Gak tau. Suaranya kecil banget, kayak gumaman. Tapi jelas bukan suara anak-anak."
Danu dan Galang saling pandang lagi. Tapi kali ini, tak ada dari mereka yang tertawa atau meremehkan cerita itu.
"Aku gak berani keluar tenda sih," lanjut Nadia. "Tapi pagi-pagi pas jalan ke lapangan, aku lihat ada jejak kaki... kayak telapak dewasa. Tapi gak ada arah jelas. Cuma melingkar di sekitar tenda."
Mobil melaju pelan di jalanan berbatu. Di depan, matahari pagi mulai naik tinggi, menerangi aspal yang lembab. Danu mengeratkan genggaman pada setir.
Dan untuk sesaat, tak ada yang bicara. Cerita Nadia menggantung di udara, merayap pelan ke dalam pikiran mereka bertiga seperti kabut tipis yang datang tanpa disadari.
Danu melirik ke kaca spion, memperhatikan wajah Nadia yang kembali menunduk sambil memainkan ujung kausnya. Ia bisa merasakan sesuatu yang sama dengan yang Nadia rasakan. Suatu firasat, entah tentang apa, tapi cukup kuat untuk membuat udara di dalam mobil seketika berubah.
"Gue jadi inget masalah tadi pagi, Nu. Soal bau melati yang lo sangkut pautkan dengan Nyai Laras" Ucap Galang pelan, tapi terlihat lebih serius.
Nadia yang mendengar itu langsung mendongak. "Nyai Laras? Siapa itu, Mas?"
Galang sempat membuka mulut, bersiap untuk menceritakan lebih jauh tentang siapa sebenarnya Nyai Laras. Tapi sebelum satu kata pun keluar, Danu melirik cepat ke arahnya dari balik kemudi. Pandangan itu sekilas, tapi cukup tajam dan jelas. Sebuah kode yang hanya bisa dimengerti Galang.
'Jangan sekarang. Jangan di depan Nadia.'
Galang langsung mengatupkan bibirnya kembali. Ia memalingkan wajah ke jendela, mengalihkan pandangannya ke hamparan sawah yang mulai tersapu cahaya pagi. Helaan napas panjang terdengar dari hidungnya, dan ia menahan lidahnya yang hampir saja menjelaskan semuanya.
Di kursi belakang, Nadia menatap keduanya dengan alis sedikit terangkat. Ia bisa merasakan perubahan atmosfer dalam sekejap.
"Mas Danu?.. Kak Galang?..," ujarnya pelan, "siapa Nyai itu? Kenapa gak dilanjut lagi ceritanya?"
Danu hanya tersenyum kecil, tanpa menoleh. "Nyai itu bukan siapa-siapa, Nad. Dia hanya orang yang pernah kami temui waktu lalu di kota sebelah."
"Cuma warga desa?" desak Nadia.
Danu mengangguk pelan. "Iya. Seseorang yang kebetulan terlibat dalam kejadian yang kami alami waktu itu. Nanti, kalau kamu udah siap denger semuanya, Mas cerita."
Nadia terdiam. Ia tahu, kalau kakaknya sudah bicara seperti itu, artinya ada hal yang sengaja disimpan. Tapi ia juga paham, tak semua hal bisa langsung dibagikan. Kadang, cerita yang terlalu berat butuh waktu sebelum bisa dipahami.
Galang, masih menatap keluar jendela, akhirnya berkata pelan, "Yang penting sekarang kita semua udah aman. Udah keluar dari sana, dan Nadia juga udah bareng kita lagi."
Sementara itu, Danu menatap lurus ke depan, menahan semua pikiran dan perasaan yang berkecamuk. Ia tahu, cepat atau lambat, Nadia akan tahu semuanya. Tapi bukan sekarang. Belum. Sebelum ia sendiri benar-benar memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi antara dirinya... dan Nyai Laras.
Mobil masih melaju pelan, suasana sempat hening, hingga tiba-tiba Nadia kembali bersuara dari kursi belakang, dengan nada datar namun sarat makna.
"Oiya Mas..." katanya pelan, tapi cukup jelas terdengar di dalam kabin mobil. "Mas Danu udah bohong ya sama Nadia... juga sama Mama Papa."
Danu langsung mengernyit, matanya cepat melirik ke kaca spion untuk menangkap ekspresi adiknya. "Hah? Bohong apa?"
Nadia duduk tegak, matanya menatap lurus ke spion. "Mas udah punya pacar, ya? Mas bahkan udah mau serius, kan... sama wanita itu?"
Seketika tangan Danu yang memegang setir sedikit menegang. Ia refleks menatap spion lebih lekat, seolah ingin memastikan Nadia sedang bercanda. Tapi dari wajah adiknya, tak ada gurat tawa. Hanya keseriusan penuh tanda tanya.
Galang yang duduk di kursi depan langsung menoleh cepat ke arah Danu, matanya membulat.
"Woi, bro! Kapan lo punya pacar, hah? Gila lu! berani-beraninya sembunyiin hal sepenting ini dari gue! Dan dari yang lain juga!" seru Galang, nyaris berteriak. "Gue pikir lo masih jomblo setia, ternyata diem-diem udah mau serius sama cewek?!"
"Tunggu dulu. Pacar?" Nada suaranya naik satu oktaf, jelas tersinggung sekaligus tidak percaya. "Pacar siapa?"
Nadia menyandarkan dagunya ke kursi depan. "Pacar Mas itu loh… Wanita yang udah nyelametin nyawa Nadia dua kali, Mas."
Kali ini Danu langsung menoleh kearah Nadia. "Nad, jangan bercanda. Mas gak punya wanita spesial, apalagi pacar!"
Tapi Nadia hanya menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara yang lebih pelan namun tegas, "Mas jangan bohong. Kak Isabella sendiri yang bilang… kalau Mas itu pacarnya."
Danu membeku.
Galang pun tampak kebingungan. "Isabella? Bukankah itu wanita yang kemarin sempat dibahas? Pembina camping itu kan?"
Nadia mengangguk perlahan, matanya menatap kosong ke luar jendela sambil mulai bercerita.
***
[Flashback – Hari Sebelumnya]
Suasana lapangan sudah mulai tenang setelah acara pentas seni selesai. Anak-anak kembali ke tenda masing-masing, masih tertawa-tawa membahas pertunjukan lucu barusan. Sebagian dari mereka langsung antre mandi, sementara yang lain memilih istirahat sejenak.
Nadia duduk sendiri di depan tendanya, mengenakan jaket dan mengelus kaki yang lelah. Ia sedang menunggu giliran mandi, sembari menikmati sisa malam yang dingin tapi tidak terlalu menusuk.
Dari sisi bayangan pohon, sosok yang familiar muncul dengan langkah ringan. Isabella. Kali ini mengenakan selendang tipis dan membawa gelas berisi air hangat. Senyum lembutnya menyapa.
"Kamu sendirian?" tanyanya sambil duduk di samping Nadia tanpa perlu perkenalan lagi.
Nadia menoleh, agak kaget, tapi kemudian mengangguk. "Iya, lagi nunggu giliran mandi, Kak."
Wanita itu tersenyum, lalu duduk di samping Nadia dengan tenang. Ia menyodorkan gelas ke arah Nadia. "Minum dulu, biar hangat."
Nadia menerimanya dengan sopan. "Makasih ya, Kak…"
Nadia menerimanya tanpa ragu. Setelah dua pertemuan sebelumnya, ia sudah merasa nyaman dengan wanita ini. Ada ketenangan yang sulit dijelaskan tiap kali Isabella berada di dekatnya.
Obrolan mereka singkat, ringan. Tentang camping, tentang udara malam yang sejuk, tentang suara jangkrik yang ramai, dan sedikit tentang acara hiburan tadi. Isabella tampak sangat sabar dan lembut, setiap kalimatnya mengalir pelan seperti sedang membacakan cerita. Hingga pada satu titik, Isabella memandang Nadia lebih serius.
"Kalau kamu sudah pulang nanti... sampaikan sesuatu ke Mas Danu, ya."
Nadia menoleh, mengangguk penasaran.
"Jangan bilang dulu kalau aku ada di sini. Dia pasti khawatir kalau tahu aku ikut acara seberat ini. Katakan padanya… untuk jangan terlalu keras sama diri sendiri. Jangan sering-sering minum kopi. Itu gak baik untuk kesehatannya. Dan…'
Isabella diam sejenak. Suaranya jadi lebih pelan.
"…ingatkan dia untuk segera menyelesaikan kuliahnya dan menikahi ku. Aku sudah menunggu janji itu sangat lama."
[Flashback Berakhir]
***
"APA? MENIKAH??!" Galang dan Danu berseru hampir bersamaan.
Nadia hanya mengangguk santai. "Ya. Kak Isabella bilang Mas Danu udah janji mau nikahin dia setelah kuliah selesai. Dan aku setuju banget!"
Ia bersandar ke kursinya dengan senyum lebar.
"Kak Isabella itu cantik banget. Putih, anggun, sexy, baik, lembut… perfect lah. Istri idaman. Nadia aja suka liatnya. Mas Danu pintar deh milih calon istri!" katanya sambil tertawa kecil.
Galang langsung menepuk dahinya, lalu menunjuk Danu seolah menuntut pengakuan.
"Wah gila! gila!! Bisa-bisanya lo nyembunyiin ini, Nu. Lo ternyata udah punya calon istri secantik itu?! Udah janji nikahin pula?!"
Danu masih membisu, sorot matanya menatap lurus ke jalan, tapi pikirannya jelas terjebak di pusaran kata-kata Nadia barusan. Menikah? Janji? Isabella? Itu semua tak masuk akal. Ia bahkan tak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun sejak fokus dengan kuliahnya. Tapi reaksi Nadia begitu yakin, begitu… tulus.
Dan yang lebih membuatnya takut...
Kenapa semuanya terasa benar?
Di sampingnya, Galang masih tak berhenti melirik ke arahnya, mulutnya terbuka seakan ingin bertanya lagi, tapi Nadia justru yang lebih dulu bicara.
"Mas Danu nggak usah ngelak lagi deh," ujarnya santai namun menusuk. "Kalau mas masih gamau ngaku, nih aku ada buktinya."
Danu mengerutkan kening dan melihat ke kaca spion, hanya untuk melihat Nadia merogoh saku kecil tas selempangnya. Ia mengeluarkan sesuatu dengan hati-hati, membungkusnya dengan sapu tangan, lalu menyodorkannya ke arah depan.
"Nih, dari Kak Isabella."
Danu menatap uluran tangan Nadia... Kalung itu menggantung tenang di sana, bergoyang pelan seiring gerak mobil yang masih melaju. Cahaya matahari pagi menyelinap dari jendela, mengenai liontin bunga melati kecil itu dan memantulkan kilauan halus.
Dan saat sorot matanya benar-benar menangkap bentuk liontin itu...
...hatinya seperti berhenti berdetak sejenak.
Matanya membelalak. Tenggorokannya tercekat.
TANPA pikir panjang—
CKIIIIITTTTT!
Ban mobil mengerik tajam di atas batu kerikil. Mobil mendadak berhenti mendadak di sisi jalan desa. Galang yang tidak siap langsung terhuyung ke depan, menabrak dashboard cukup keras.