Apa mungkin gadis kaya itu mencintai pria miskin sepertiku dengan tulus?
Namaku Aditya Pratama, aku adalah seorang musisi jalanan yang setiap hari harus menjajakan suaraku untuk mencari nafkah.
Aku lahir dan besar di Bandung, sudah setahun ini aku merantau di Ibukota untuk mencari pekerjaan agar aku bisa mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menghidupi Ibu dan juga Adikku.
Malang betul nasibku, setahun sudah berlalu sejak pertama aku datang ke kota ini, tapi aku belum juga mendapatkan pekerjaan dan akhirnya aku harus tetap mengamen untuk menyambung hidup.
Dalam pekerjaanku tak jarang pula aku menghibur sepasang kekasih dengan suaraku, menyanyikan lagu-lagu cinta untuk mereka.
Tanpa pernah berpikir bagaimana dengan kehidupan cintaku sendiri, selama ini aku memang tak pernah memikirkan hal itu, saat ini yang terpenting bagiku adalah bagaimana caranya agar aku bisa menghidupi Ibu dan Adikku.
Tapi semua itu berubah semenjak aku mengenal seorang gadis bernama Riri, gadis cantik dan kaya raya anak pengusaha ternama dan sukses di negeri ini.
Apakah mungkin gadis populer, cantik dan juga kaya raya sepertinya mencintaiku yang hanya seorang pengamen jalanan.
UPDATE SETIAP HARI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ega Aditya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Puncak Bintang
Pagi itu terdengar Bunyi ayam berkokok yang menandakan malam telah berganti pagi.
Aku membuka kedua mataku dan mendapati Udin sudah tidak ada di tempat tidurnya, aku pun mencarinya dan ternyata dia berada di halaman depan, sedang membantu adikku menjemur pakaian.
Cinta memang aneh dan dapat merubah seseorang, Udin yang selama ini kukenal sebagai seorang pemalas tiba-tiba menjadi seseorang yang sangat rajin...Ya itulah keajaiban Cinta.
Kemudian aku sedikit terkejut karena seseorang menepuk pundakku dari belakang.
"Hayooo ngapain, ketauan ya lagi ngintipin Bang Udin sama Rai." Ternyata itu Riri yang sedari tadi ada di belakangku.
"Eh kamu Ri, aku kira belum bangun."
"Enak aja, aku udah bangun daritadi kali, ini baru selesai bantu Ibu di dapur buat sarapan."
"Wah sakti ya Ibuku bisa membuat seorang tuan putri yang biasa di istana megah turun ke dapur."
"Ngga kok dit bukan Ibu yang suruh, tapi aku yang mau, itung-itung belajar masak, nanti juga aku kan akan jadi seorang Ibu rumah tangga, masa suamiku nanti makan makanan buatan orang terus sih."
"Calon istri yang baik, nggak salah aku pilih kamu."
"Yeeee GR, siapa juga yang mau jadi Istri kamu."
Beberapa saat kemudian terdengar suara Ibu dari meja makan yang memanggil kami semua untuk sarapan bersama.
"Adit hari ini mau kemana?" Tanya Ibu.
"Mau ke bintang Bu."
"Ke bintang Dit?" Terlihat muka Riri begitu kebingungan.
"Iya ke bintang, kamu pasti suka tempatnya Ri..Lu nggak ikut kan Din?" Tanyaku kepada Udin.
"Iya deh gw nggak ikut, gw ngerti Dit, gw di rumah aja sama Neng Rai." Jawab Udin.
"Maaf Bang Udin, Rai mau ke rumah temen ada acara." Sambung Rai.
"Ya udah nggak apa-apa Neng Rai, Bang Udin Anter ya." Jawab Udin dengan nada agak memaksa.
"Iiiih nggak usah bang Udin." Kata Rai.
"Kita berangkat jam berapa Dit?" Tanya Riri.
"Jam 4 sore Ri."
"Lho kok sore banget, nanti kalau kita kemaleman gimana?"
"Sengajaaaa...Di sana itu emang terasa indahnya waktu malam Ri, nggak apa-apa kan Bu kalau Adit pulang agak malam?" Ibuku pun mengangguk tanda memberi izin.
Waktu sudah menunjukan pukul 16.00 sore. Aku dan Riri bersiap untuk pergi ketempat tujuan menggunakan mobil, dalam perjalanan Riri bertanya karena penasaran tentang tempat yang akan kami tuju.
"Kita mau kemana sih Dit? Tadi kamu bilang mau ke bintang, bintang apa sih?" Tanya Riri dengan muka bingung.
"Nanti juga kamu tau begitu sampai disana, tenang aja sebentar lagi sampai kok."
"Huuuuh Adit sok misterius banget sih sama aku."
"Tuh liat di depan kita udah sampai Ri."
"Puncak Bintang?"
"Iya, kamu pasti suka sama tempatnya."
Aku mengajak Riri menyusuri bukit di Puncak Bintang itu, dan memperlihatkan suasana kota Bandung di bawahnya.
"Mana bagusnya Dit? Enak sih tempatnya sejuk banyak pohon Pinus tapi kalo gini-gini doang mah biasa aja menurut aku, lagian kamu cuma ajak kita ngeliatin rumah-rumah sama gedung-gedung di bawah nih?"
"Sabar, tunggu sebentar lagi matahari terbenam."
Tak berapa lama matahari pun terbenam hingga kini sore hari telah berganti malam.
"Tuh Ri coba deh liat kebawah."
"Waaaaaah indah banget Dit, semua lampu di kota Bandung keliatan kaya bintang ya Dit."
"Iya mungkin karena itulah namanya puncak bintang."
Perlahan kuberanikan diriku untuk memegang tangan Riri dan ternyata Riri menerima genggaman tanganku.
"Eh Ri liat ada bintang jatuh, kita harus buat permohonan, tutup mata kamu lalu kamu ucapkan permintaanmu dalam hati."
Kami berdua menutup mata dan mengucapkan permintaan masing-masing di dalam hati.
"Udah." Ucap Riri.
"Aku juga Udah, kamu minta apa Ri?"
"Rahasia dong."
"Kalo aku sih minta supaya kamu bisa cinta sama aku."
Riri tersenyum dan kemudian menyandarkan kepalanya di bahuku. Tak terasa malam semakin larut dan akhirnya kami berdua pulang menuju rumah.
Sesampainya kami di rumah waktu sudah menunjukan Pukul 22.00 malam, keadaan rumah sangat sepi, mungkin Ibu sudah tertidur karena sendirian dirumah sedangkan Udin dan Rai belum pulang. Kami berdua duduk-duduk di depan teras sambil berbincang.
"Makasih ya Dit buat hari ini, Riri seneeeeeng banget kamu ajak Riri ke Puncak Bintang."
"Iya Ri sama-sama, makasih juga karena kamu aku bisa pulang ke Bandung, biasanya Aku pulang setahun sekali, itu pun kalo tabunganku cukup."
"Aku seneng bisa kenal Ibu dan Rai, keluarga kalian begitu hangat dan menyenangkan."
"Oh iya Ri bsk rencananya kami sekeluarga mau nyekar ke makam Bapak, kamu mau ikut?"
"Mau Dit..Mau banget."
Tak lama datanglah Udin yang pulang sendirian dengan berjalan kaki.
"Lho Din, Rai kemana?" Tanyaku pada Udin.
"Rai pergi sama cowok di jemput pake motor, gw di tinggal."
"Lah terus lu darimana?"
"Tau ah Gw mau tidur, keseeeeel gw."
Udin lalu masuk ke kamar dengan perasaan kesal dan kecewa.
Tak lama kemudian datanglah Rai, dan benar saja apa yang di katakan Udin. Rai diantar pulang oleh seorang pria menggunakan sepeda motor.
"A udah pulang?" Tanya Rai.
"Udah daritadi De."
"Bang Udin mana? Rai takut dia lupa jalan pulang soalnya tadi aku tinggal di alun-alun."
"Ada tuh di kamar, lagi nangis kayaknya hahahaha."
"Nangis kenapa emangnya A?"
"Tadi dia cerita katanya waktu kalian lagi berdua kamu di jemput sama cowok, patah hati kayaknya dia."
"Hadeuuuh Bang Udin Bang Udin makanya pas tadi mau Rai kenalin jangan kabur duluan, A sini A." Riri memanggil pria yang masih menggunakan helm itu dan ternyata setelah membuka helm lelaki tersebut adalah Iman sepupuku.
"Ooooh Iman toh ternyata..Kumaha damang man?"
"Damang A, A Adit udah lama pulang ke Bandung?"
"Baru tiga hari man..Papah-Mamah gimana, sehat?"
"Alhamdulillah sehat A."
"Kok bisa pergi sama Rai Man? Emang dari mana?"
"Jadi begini lho A kan Rai bilang tadi pagi mau kerumah temen Rai, nah A iman ini yang ngajak, dia naksir sama temen Rai tapi malu katanya kalo main kerumahnya sendiri, jadi wae ngajak Rai." Rai menjawab pertanyaanku.
"Oh jadi begitu ternyata si botol kecap cuma salah paham." Akupun tertawa sekeras-kerasnya dan tiba-tiba Udin keluar rumah dengan wajah penuh senyuman.
"Buseeeet gw kira udah tidur lu, ternyata lu nguping omongan kita daritadi Din?" Tanyaku kepada Udin.
"Iya A." Jawab Udin.
"A Adit Iman pamit pulang dulu ya udah malam takut dicariin si Mamah." Iman pun kemudian pamit untuk pulang.
"Udah yuk bubar semuanya, udah malem waktunya tidur."
Akhirnya semua kesalahpahaman sudah selesai malam itu juga. Kini malam telah berganti dengan pagi, kami semua bersiap untuk berangkat menuju makam Ayah.
"Yuk berangkat yuk." Ajak Ibu kepada kami semua.
"Tunggu sebentar Bu, Riri ambil kunci mobil dulu."
"Gak usah Ri makamnya Deket kok di pemakaman umum kampung sebelah, jalan sebentar juga sampe." Jawabku.
Akhirnya kami pergi ke makam Ayah dengan berjalan Kaki. Hingga 15 menit kemudian tibalah kami di makam ayah, setelah menyiramkan air dan menaburkan bunga kamipun berdoa untuk ayah.
Setelah selesai dan bersiap untuk pulang aku meminta agar mereka jalan terlebih dulu, sedangkan aku sendiri masih berada di depan makam ayah.
Ayah Adit kangen..Ayah apa kabar disana, maaf jika sekarang Adit jarang datang, karena sekarang Adit mencari nafkah di Jakarta...
Ayah yang tenang di sana karena sekarang Ibu dan Rai sudah m njadi tanggung jawab Adit.
Adit pergi dulu ya Yah, Adit sayang Ayah...
Tak terasa air mata ini menetes di pipiku, kemudian aku pulang menyusul Ibu dan yang lainnya, hingga akhirnya kami tiba dirumah secara bersamaan.
"Kalian Istirahat dulu saja, biar Ibu siapkan makan siang dulu." Ucap Ibu.
"Mari Bu biar Riri bantu."
"Rai juga Bu."
Selagi para wanita memasak di dapur tinggallah aku dan Udin di teras rumah.
"Aa." Udin membuka percakapan.
"Apa sih lu Din masih manggil gw pake sebutan Aa aja, geli tau gak dengernya."
"A kita pulang besok kan ya?"
"Stop panggil gw Aa, kalo ngga ini pot bunga terbang ke muka lu."
"Hehehehe galak banget sih Ama calon Ade Ipar."
"Bodo amat, iya kita pulang besok, cieeee yang mau pisah..Sedih kan lu Din?"
Entah apa yang di pikirkan Udin setelah mengetahui kami akan pulang besok, dia melamun seperti memikirkan sesuatu.
ceritanya...👍👍👍👍
tapi gw support banget dengan karya lu bg, walau banyak yg bilang mutar mutar tapi gw suka, spesifikasi dari setiap aktor nya jelas dan dapet, jadi bisa memahami hampir seluruh peran yang di bicarakan, dan menurut gw itu sih adrenalin banget.
lupain aja kata orang, mereka belum pernah baca novel one piece, dan lainnya kali lebih panjang dan blibet di tambah flashback nya wkwk
the best, gw support lu