Jam tiga pagi, seorang lelaki dilempar ke kursi taman atas dosa yang bukan salahnya, seorang gadis telah jatuh hati dan sang pengagum iri.
Tinju melayang dan darah mengalir, sang lelaki hampir mati...
Namun!
Muncul iblis. Hitam emas. Sekali pukul dan sang pengagum terjatuh.
Siapakah sosok ini?
*mengandung kekerasan
*update setiap Senin & Kamis (20.00 WIB)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sayakulo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seorang Gadis Tak Dikenal
'Permisi' yang diminta oleh seorang wanita.
...----------------...
Tak dapat dipungkiri bahwa yang mengucapkan 'permisi' itulah seorang perempuan.
Suaranya begitu lembut, begitu halus, tetapi cukup keras agar siapapun yang berada di dalam mendengarnya.
Hanya saja, ia langsung mengizinkan dirinya masuk tanpa mengetuk pintu, karena itu Godai - juga diriku - segera berdiri dan dalam posisi siap menyerang.
Godai, sang lelaki berambut putih memandang kepada pendatang tak dikenal dan tak dundang ini dengan tatapan tajam, pastinya ia penasaran, begitu juga diriku.
Tetapi seberapa rasa penasaran yang dimiliki oleh kami berdua, pasti akan dikalahkan oleh naluri melindungi diri dari hal yang tak dikenal.
Tak kenal maka tak sayang, bukan?
Godai berdiri lalu menarik kursi yang tadinya diduduki dan ditempatkan olehnya di depan, sebagai pembatas diantara dirinya dan penyusup ini.
Sedang diriku hanya berdiri, tak melakukan apa², lagipula, apa yang dapat kulakukan?
Kembali kepada penyusup itu.
"Ooh," ia terkejut, "maaf, aku ngagetin ya," lalu mundur menempel pintu.
"Kamu siapa?" tanya Godai tajam, matanya tak lepas dari penyusup ini, "dan perlu apa?"
"Namaku Dhien," jawabnya sembari melepas topi yang awalnya menutup mata, mata yang berwarna hitam, dua²-nya, "aku murid pindahan".
Penyusup itu, yang mengatakan bahwa ia Dhien, adalah seorang perempuan.
Rambutnya lurus panjang sepanjang mantel kulit coklat yang dipakainya. Jujur, dengan rambutnya yang hitam, mukanya yang putih, dan mantel kulit coklat, semua terlihat sangat serasi; penampilan yang sangat menarik.
Sangat cantik menurutku tentunya.
"Hari ini aku dateng ke sini karena diminta ngurus ekskul, dan dari info yang aku dapet, semestinya di sini itu ekskul literatur kan ya?" lanjut Dhien sembari melepas mantelnya.
Dibaliknya adalah turtleneck putih lengan panjang yang begitu kontras dengan rambutnya, tapi tak jauh berbeda dengan kulitnya.
Dirinya semakin cantik saja.
Hanya saja satu fitur yang membuatnya begitu istimewa, dalam arti tidak umum, yakni dada tiada tanding yang mencembung dari pakaian yang menempel.
Namun, kedua itu adalah seragam iklim dingin, untuk cuaca dingin, mengapa?
"Oowh," Godai merenggang, kursi yang tadinya berada di depan ia tarik ke samping, dengan begitu hilanglah pembatas diantaranya, "ngurus ekskul toh..."
Namun, kini Dhien yang membuat sebuah pembatas; mantel kulit digantungkan di lengan kiri selayaknya jemuran, "Iya, betul", Dhien mengangguk.
Godai mulai berbicara kepadanya, nadanya lebih tenang, "Iya, ini ruangan ekskul literatur."
"Cuma sendiri aja kah?"
"Enggak sih, seingetku ada dua orang lagi, satu dari kelas dua, satu kelas tiga," ia menjelaskan.
"Lagi pada sakit?"
"Enggak juga..." ditepis asumsi itu oleh Godai.
"Emang biasanya kalau jam ekskul pada ngapain?"
"Ya, kita nulis cerita, atau novel, atau apapun itu."
"Owh, berarti kamu ada cerita dong," Dhien memuji.
Namun muka Godai justru murung, "Belum sih..." ia memelas. "Sebetulnya juga aku masuk ekskul ini karena sepi aja, enak," kemudian ia tersentak.
"Eh, silahkan duduk, kasian kamu berdiri," ucapnya sembari mengarahkan Dhien ke meja.
Dirinya dipersilahkan duduk di tempatnya tadi, dan Godai duduk di seberangnya, sekarang meja menjadi pembatas diantara dirinya dan Dhien.
Tingkah laku ini membuat se-akan² dia tak senang dengan orang lain, tapi karena Dhien adalah orang asing, maka bisa dimaklumi, mungkin.
"Oh, ya," mulai Dhien setlah dirinya duduk menghadap Godai, "kalau boleh tahu, namamu siapa ya?"
"Godai," jawabnya santai.
"Siapa?"
"Godai."
"Maaf, boleh diulang?" Dhien tersenyum ramah.
"Go. Dai."
"Aku boleh pindah ke situ enggak ya?" jarinya menunjuk kepada kursi di kiri depan Godai, kursi yang jauh lebih dekat daripada tempat Dhien duduk.
"...Silahkan," jawaban itu tertahan cukup lama, jelas Godai tak menyukai tindakan ini, tetapi entah mengapa dirinya lakukan.
Di sisi lain, Dhien pun segera bergerak.
Mantel dan topi itu digantungkan di kursi sebelumnya, sehingga yang berpindah adalah turtleneck putih yang berusaha untuk menahan dua bola besar milik gadis berkulit putih dan rambut hitam panjang.
Di bawahnya, ialah rok coklat hitam yang serasi dengan mantel kulit.
"Maaf ya, kalau di situ kurang kedengeran," Dhien kembali mengeluarkan senyuman ramah.
Senyuman yang sama yang dipakai untuk keramahan sambil dirinya duduk dan memotong jarak yang tadinya jauh menjadi dekat, dan secara tak langsung menghilangkan pembatas yang telah dibuat.
"...Iya, gapapa."
"Kalau kamu kurang nyaman aku bisa pindah kok—"
"—Gapapa," Dhien langsung dipotong olehnya, "nanti kalau pindah malah susah kita ngobrolnya, kayak kata kamu."
"Oke²" Dhien setuju, "jadi, Godai tadi ya?"
"Iya, Godai."
"Jadi, Godai, misalkan aku masuk ekskul ini, kamu gimana?"
"Maksudnya?" Godai melirik heran, jelas ia heran.
Mengapa pula ada orang asing yang ingin memasuki lingkungan sini dan menanyakan akan dirinya?
Mungkin saja ini semacam hal yang berhubungann dengan rasa hormat, atau apapun itu yang dipikirkan oleh Dhien, sangatlah aneh.
"Ya, misalkan aku masuk ekskul literatur, kamu nyaman?"
GOdai belum mampu menjawab pertanyaan demikian - konsep dari pertanyaan itu sangatlah aneh baginya, ia hanya bisa memandang seratus kilometer ke dalam Dhien, mencoba untuk mencari alasan dari pertanyaan yang begitu langka juga luar biasa.
"Buat apa? Kalau kamu masuk sini ya masuk aja," jawab Godai apatis.
"Begini, Godai. Ayahku bilang, 'kalau masuk lingkungan orang, tanya dulu mereka mau aku ada di sana atau enggak. Misalkan enggak ya pergi, kalau mau ya tetep di sini' - semacam norma kesopanan kalau bisa dibilang," berarti tebakanku atas hal kesopanan itu benar, tetapi sang gadis belum selesai menjelaskan.
"Soalnya - mohon maaf ya - daritadi aku perhatiin kamu jaga jarak terus, jadi aku kira kamu kurang nyaman kalau aku di sini."
Godai masih heran dengan penjelasan itu - atau bisa dibilang dirinya menolak penjelasan seperti itu - seperti dirinya tak pernah mengenal konsep kesopanan yang seperti ini.
Ia duduk, mencoba untuk mencerna penjelasan yang telah diberikan Dhien ini (dari bapaknya) mengenai norma kesopanan.
"Jadi... aku tanya lagi," Dhien melanjutkan, "kamu nyaman enggak misalkan aku masuk ekskul ini?"
Godai terdiam cukup lama.
"Ya..." hingga ia menguraikan pendapatnya. "Itu pilihanmu, misalkan kamu mau, ya silahkan, kalau kamu mau ekskul lain, ya silahkan. Masalah aku nyaman atau enggak ya itu masalah nanti."
"Nanti?" Dhien bertanya lagi.
"Ya, nanti."
"Berarti kamu enggak masalah?"
"Kurang lebih."
Mata Dhien tak berbinar, tapi senyumnya begitu terang.
"Oke!!!" jawabnya senang, "makasih ya, Godai," dirinya tersenyum, tetapi langsung hilang, "eh," tetiba pesimis, "kan kata kamu ada dua orang lagi kan ya anggotanya?"
"Iya," jawab Godai singkat, dirinya juga penasaran atas perubahan sikap Dhien, tetapi dirinya menebak, pun juga diriku; pastinya Dhien mau memastikan kalau dua orang lainnya juga nyaman dengan kehadirannya di sini - gadis yang sangat aneh.
"Godai, merka di mana aja—rumahnya di mana?!" tanya Dhien kencang, "aku mau ke sana!"
"Kamu mau mastiin mereka juga oke!?" Godai berseru - mungkin terbawa Dhien.
"Iya!" Dhien segera lari mengambil mantel dan topi.
"Enggak perlu!" bentak Godai.
"Perlu!" Dhien balik bentak, "kalau mereka enggak mau nanti aku diusir!"
"Mana bisa mereka ngusir kamu kalau mereka aja enggak ada di sini!"
"Bisa! Kan mereka lebih senior!" Dhien sudah menempel dengan pintu depan/"
"Enggak bakal kok! Toh mereka juga jarang ke sini!"
Sungguh janggal, gadis ini.
Tetapi, diriku salut akan norma kesopanannya itu.
Dibandingkan diriku yang tak pernah meminta izin, toh apa gunanya juga.
Namun, kesopanan itu, apakah perlu sampai sebegitunya?
"Makanya aku mau ke rumah mereka!"
"Yang ada kamu diusir betulan nanti!" bentak Godai kelima kalinya, dilanjutkan dengan yang keenam, "udahlah, enggak usah susah² begitu. Kalau kamu begitu, yang ada kamu minta diusir."
Dhien pucat.
Hitam matanya mengecil.
"Tapi—" matanya ber-kaca², "tapi aku enga' mau diusir..."
"Ah—" Godai loncat dari duduknya, bersiap untuk menghadapi yang berada di depannya.
Air mata pun mengalir.
Hueeeeeee!
"Enggak, enggak kok, kamu enggak bakal diusir, tenang aja, mereka malah seneng kali, anggotanya nambah."
"B'etul it'u?" Dhien terisak bertanya.
"Iya."
"Baguslah," kemudian dirinya tersenyum.
"Ini."
Sekotak tisu, Godai mengambilnya dan mendekati si perempuan tangis ini.
"Makasih ya, Godai," ucap Dhien, "kamu baik".
Godai tak tahu harus merespon apa akan kata² itu, sehingga dirinya diam seribu bahasa.
"Sama²."
"Jadi, aku boleh ya masuk ekskul literatur?"
"Iya—masuk ya masuk aja."
"Oke!" Dhien mengacungkan jembol, emosinya cepat kali berubah, apa tangisan tadi hanya fabrikasi? "Kalau begitu, makasih ya, Godai, aku izin balik dulu."
"Iya, sama²" jawabnya monoton seperti sebelumnya.
Pintu itu pun terbuka, "Sampai ketemu nanti ya, Godai," dan paruh badan Dhien ditelan olehnya.
"Iya," sisi lain pintu itu dipegang, Godai bersiap menutup di saat tamu (dahulunya penyusup) ini keluar.
Sebuah lambaian tangan.
Godai membalas lambaian itu juga, tetapi tak seheboh sang pengirim.
Klik.
Kini hanyalah dirinya (dan diriku).
Kemudian lelaki berambut putih ini berkata.
Hal yang sama yang sudah kuutarakan.
Cewek aneh.
Tapi ramah.
Cantik.
Tiba² mukanya memerah, entah apa yang dilihatnya.
Tetapi, memanglah Dhien perempuan yang aneh.
Ekspresif.
Tak seperti Godai.
Tak seperti diriku juga.
Agak sepertinya.
Seorang yang terakhir kali kutemui sebelum menjalani nasib ini.
Tetapi jelas ini bukan kisah tentangnya.
Kisah ini mengenai sepasang sejoli dengan jiwa pemuda yang selalu berpijar.
Tik.
"Ah."
Seketika hujan.
Barangkali gadis itu peramal?