Jangan lupa like dan komennya setelah membaca. Terima kasih.
Menjadi tulang punggung keluarganya, tidak membuat Zayna merasa terbebani. Dia membantu sang Ayah bekerja untuk membiayai sekolah kedua adik tirinya hingga tamat kuliah.
Disaat dia akan menikah dengan sang kekasih, adiknya justru menggoda laki-laki itu dan membuat pernikahan Zayna berganti menjadi pernikahan Zanita.
Dihina dan digunjing sebagai gadis pembawa sial tidak menyurutkan langkahnya.
Akankah ada seseorang yang akan meminangnya atau dia akan hidup sendiri selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Ada tamu
Semua keluarga tengah menikmati makan malam dengan tenang. Fahri sedari tadi sesekali melirik ke arah Zayna. Pria itu heran melihat mantan kekasihnya yang terlihat biasa saja. Dia kira butuh berhari-hari untuk gadis itu menumpahkan kesedihannya.
Fahri berpikir, apa Zayna memang tidak pernah mencintainya seperti yang dikatakan istrinya? Semalam Zanita memang berbicara dengan pria itu dan mengatakan jika kakaknya itu tidak benar-benar mencintainya. Memikirkan hal itu membuat Fahri menahan emosi. Dulu dia sangat mencintai Zayna bahkan rela melakukan apa pun.
"Ekheem." Deheman Savina membuat Fahri salah tingkah.
"Pa, skincare aku habis. Aku mau minta uang!" pinta Zivana sambil menadahkan tangannya.
"Papa belum gajian," sahut Rahmat.
"Dhek, di tempat kerja Kakak ada lowongan, barangkali kamu berminat melamar di sana, Kakak bisa bantu," sela Zayna.
"Aku masih pengen santai dulu, Kak. Ngapain sih buru-buru! Apa Kakak sudah nggak mau kasih kita uang lagi?" tanya Zivana dengan ketus.
"Bukan gitu, Dhek. Kakak cuma mau kasih tahu saja, barangkali kamu mau kerja. Kamu, kan, sudah lulus sejak tiga bulan yang lalu. Sayang kalau ijazah kamu nggak digunakan," ujar Zayna dengan hati-hati.
"Kamu itu kenapa sih? Bilang saja kalau iri karena Zivana bisa lulus kuliah, sementara kamu cuma lulusan SMA," ketus Savina.
"Iya nih Kakak, aku tuh maunya kerja di kantoran, bukan pelayan restoran seperti Kakak," sela Zivana sekaligus mengejek kakaknya.
"Kita sedang menikmati makan malam dan kalian sudah membuat keributan. Tidak bisakah kalian nikmati saja makanan kalian!" tegur Rahmad dengan tegas.
"Papa kan tahu siapa yang mulai lebih dulu? Jadi jangan salahkan Mama dan Zivana," sahut Savina.
"Zayna cuma mau bantu Zivana saja, Ma! Nggak ada maksud lain," bela Zayna.
"Alasan," cibir Savina.
"Kenapa Mama bicara seperti itu? Aku sungguh-sungguh ingin membantu Zivana. Tidak ada maksud lain"
"Dari dulu kamu itu selalu tidak suka dengan apa pun yang dimiliki Zanita dan Zivana. Apalagi sekarang disaat Zanita sudah menikah dengan pria yang diidamkan semua wanita. Kamu pasti iri padanya, Kan?"
"Aku ti—"
"Zayna!" tekan Rahmad dengan melototkan matanya saat melihat Zayna akan menyela ucapan Savina.
Gadis itu mengepalkan tangan kirinya yang berada di bawah meja. Sedangkan tangan kanannya menyuap makanan ke dalam mulut dengan cepat. Selalu seperti ini, setiap kali terjadi perdebatan dalam keluarga. Pasti Zayna yang akan disalahkan.
Akhirnya gadis itu diam dan tidak bicara lagi karena memang dia paling takut pada Papanya. Zayna tidak lagi menimpali pembicaraan mereka, entah apa yang mereka bicarakan saat ini. Yang pasti membicarakan sesuatu yang menyenangkan menurut mereka.
Setelah selesai makan malam, Zayna membereskan meja, yang lainnya kembali ke kamar. Sementara Rahmat ke teras depan. Dia menghubungi seseorang dan membuat janji bertemu besok saat makan siang. Meski ragu, tapi hanya orang itu yang bisa diandalkan.
*****
Besok siangnya, saat jam makan siang, Rahmad menunggu seseorang di sebuah restoran dekat tempatnya bekerja. Tidak berapa lama, yang ditunggu akhirnya datang. Seorang pemuda dengan pakaian santai menuju ke tempat pria itu.
"Assalamualaikum," ucap seorang pria yang bernama Ayman.
"Waalaikumsalam. Tepat waktu sekali."
Ayman hanya tersenyum mendengar ucapan Rahmat. Entah itu pujian atau ejekan, dia tidak memikirkannya. Pria itu datang karena ingin satu hal, yaitu Zayna. Ya, Ayman memang sebelumnya pernah melamar gadis itu. Namun, ditolak oleh Rahmat karena merasa pemuda ini tidak cocok untuk putrinya.
Pria itu tidak pernah patah semangat. Meski sudah pernah ditolak berkali-kali oleh Rahmat, tapi dia selalu datang kembali dan melamar lagi. Hingga Ayman menyerah saat Rahmat berkata jika Zayna akan menikah dengan kekasih gadis itu. Pria itu sadar diri karena dirinya hanya tukang ojek yang penghasilannya tidak seberapa.
Tadi malam, dia terkejut karena Rahmat meminta untuk bertemu. Ayman bertanya-tanya, apa yang pria paruh baya itu inginkan darinya? Bukankah dia sudah menyerah dan merelakan Zayna menikah dengan orang lain?
"Apa kabar, Pak Rahmat?"
"Seperti yang kamu lihat, saya selalu baik. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan, tapi sebelum itu pesanlah makanan lebih dulu."
"Ya." Ayman mengangguk dengan sedikit ragu. Seorang pelayan datang dan mencatat pesanan Ayman dan Rahmat.
"Jadi, Pak Ramat mau bicara apa dengan saya?"
"Apa kamu sudah menemukan pengganti Zayna?"
Ayman tersenyum dan menggeleng, hingga detik ini hatinya hanya untuk Zayna. Tidak ada celah sedikit pun untuk wanita lain.
"Apa kamu masih ingin menikah dengan Zayna?"
Mendengar pertanyaan seperti itu, tentu saja membuat Ayman terkejut. Dia tidak berani mengambil kesimpulan, takut jika itu hanya bualan semata. Meski dalam hati pria itu sangat ingin menjadikan Zayna istrinya.
"Maaf, maksud Anda apa? Bukankah Zayna sudah menikah?"
"Kamu tidak mendengar berita itu? Pernikahan Zayna sudah dibatalkan karena calon suaminya lebih memilih menikah dengan Zanita—putri keduaku."
Ini berita lebih mengejutkan lagi. Kenapa tidak ada yang menceritakan padanya? Apa memang dirinya yang terlalu meratapi kesedihan, hingga tidak mau mendengar berita tentang Zayna lagi? Atau memang orang di sekitarnya yang tidak lagi mengikuti kabar gadis itu.
"Bagaimana itu bisa terjadi? Bukankah pria itu kekasih Zayna? Atau pria itu berselingkuh dengan adik Zayna?"
"Aku memintamu ke sini untuk bertanya mengenai lamaranmu waktu itu, bukan untuk menceritakan tentang apa yang terjadi dengan putriku kemarin! Jika kamu bersedia, datanglah ke rumah malam ini bersama orang tuamu."
Bagaikan tersiram air es di tengah gurun pasir, begitulah yang Ayman rasakan. Bertahun-tahun lamarannya ditolak oleh Rahmat dengan berbagai alasan. Kesempatan untuk memiliki pujaan hatinya ada di depan mata. Dia akan mempergunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.
"Maaf, Pak Rahmat. Orang tuaku berada di kampung. Untuk ke sini pasti memerlukan waktu. Bagaimana kalau saya mengajak paman saya saja?"
Rahmad berpikir sebelum menjawab, "Boleh saja, asal beliau tidak repot."
"Tentu saja tidak. Paman saya pasti senang melihat saya akan menikah."
Senyum tak pernah pudar dari bibir pria itu. Akhirnya semua doa-doanya terkabul. Ayman akan memberi kabar pada orang tuanya jika dirinya telah berhasil mendapatkan restu dari calon mertuanya. Kini hanya tinggal meyakinkan gadis itu.
Makanan mereka datang. Keduanya makan sambil sesekali membahas acara nanti malam. Sungguh Ayman merasa bahagia. Mudah-mudahan gadis itu mau menerimanya.
Setelah menghabiskan makan siangnya, Rahmat undur diri, dia harus kembali bekerja. Pia itu menghubungi sang istri terlebih dahulu dan mengatakan agar membeli beberapa buah karena nanti malam akan ada tamu. Meski bingung, Savina mengiyakan permintaan sang suami begitu saja.
.
.
.