Paijo, pria kampung yang hidupnya berubah setelah mengadu nasib ke Jakarta.
Senjata andalannya adalah Alvarez.
***
Sedikit bocoran, Paijo hidupnya mesakke kek pemeran utama di sinetron jam lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CACING ALASKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Rahasia yang Tak Pernah Diungkap
Langit di atas desa tempat Mbok Sarni tinggal tampak kelabu, seolah ikut menyimpan duka yang membekam di hati Paijo. Burung-burung enggan berkicau, dan angin sore seperti sengaja berjalan lambat, memberi ruang pada setiap perasaan yang merayap pelan di antara derai napas yang berat.
Paijo duduk di tepi ranjang Mbok Sarni, menatap wajah keriput perempuan renta itu yang tampak semakin pucat dan cekung. Selang infus bergantung di sisi ranjang, mengalirkan sisa-sisa harapan yang tak seberapa. Rumah itu sunyi. Tak ada suara televisi, tak ada obrolan tetangga, bahkan derak kayu pun seolah segan untuk berisik.
“Jo…” suara Mbok Sarni lirih, nyaris seperti desahan terakhir dari sebuah rahasia yang telah terlalu lama terkubur.
Paijo menoleh, menunduk. “Iya, Mbok. Paijo di sini…”
“Sakjane… awakmu kuwi… ora mung anak ndesa.” (Sebenarnya… kamu itu… bukan cuma anak kampung.)
Paijo menarik napas, tersenyum kecil. “Mbok, wis ya… wis, Mbok istirahat wae. Aku ngerti, Mbok mung ngigau.” (Sudahlah, Mbok… istirahat saja. Aku tahu, Mbok cuma mengigau.)
Mata Mbok Sarni mengerjap. Tangannya gemetar saat menggenggam jari Paijo yang kasar. “Ora, Jo… Mbok kudu ngomong saiki. Wektuku wis ora suwe.” (Tidak, Jo… Mbok harus bicara sekarang. Waktuku sudah tidak lama.)
Paijo menahan napasnya.
“Kowe kuwi… anak sing disimpen. Ibumu, wanita ningrat… nyimpen awakmu nang desa, mergo wedi. Wedi karo wanita liyo, selir bapakmu… sing arep mateni awakmu supaya anak’e dewe sing waris.” (Kamu itu… anak yang disembunyikan. Ibumu, perempuan bangsawan… menyembunyikanmu di desa karena takut. Takut pada wanita lain, selir ayahmu… yang ingin membunuhmu agar anaknya yang mewarisi.)
Paijo terdiam. Tidak percaya. Nafasnya tercekat, seperti tenggorokannya disumpal kerikil kenyataan.
“Mbok…” suaranya serak. “Mbok ngopo ngapusi aku? Iki lucu. Kayak sinetron.” (Mbok… kenapa bohong sama aku? Ini lucu. Kayak sinetron.)
Mbok Sarni tidak tertawa. Tidak ada senyum. Hanya isak tipis. “Mbok ora duwe alesan ngapusi. Kowe isih bayi wektu kuwi. Ibumu mung titip, nganggo cincin sing saiki wis ilang. Mbok dijanji’i bakal dijemput, tapi ora tau bali maneh. Mbok jaga awakmu… nganti saiki.” (Mbok tak punya alasan untuk berbohong. Kamu masih bayi saat itu. Ibumu hanya menitipkanmu, dengan cincin yang kini sudah hilang. Dia berjanji akan kembali menjemput, tapi tak pernah datang lagi. Mbok menjaga kamu… sampai sekarang.)
Paijo berdiri, mengacak rambutnya. “Iki omongan ngaco, Mbok. Mbok lali umur, ya? Paijo iki cuma bocah kampung. Anak petani. Sing wis nasibnya njelma dadi pelayan napsu ibukota. Ora usah ngimpi dadi anak konglomerat.” (Ini omongan ngawur, Mbok. Mbok lupa umur, ya? Aku ini cuma anak kampung. Anak petani. Yang takdirnya sudah jadi pelayan hawa nafsu di ibukota. Tak usah mimpi jadi anak konglomerat.)
Namun sesuatu di dada Paijo terasa aneh. Dingin. Dan dalam. Seperti lubang yang perlahan membesar. Rahasia itu terlalu absurd untuk diterima, tapi juga terlalu rinci untuk diabaikan.
...****************...
Hari itu, Paijo pulang ke Jakarta dengan kepala berat. Wajah Mbok Sarni yang sayu masih tergambar jelas. Tapi bukan hanya itu yang membayangi pikirannya. Ada satu nama, satu bayangan, yang terus datang seperti angin malam menyusup dari jendela terbuka: Suzy.
Tapi Suzy sudah menghilang dari hidupnya.
Malam itu, Jakarta dipenuhi lampu-lampu pesta. Paijo mengenakan jas hitam elegan, rambut disisir ke belakang. Claudia menggandeng tangannya, seperti sepasang raja dan ratu dalam parade dunia glamor. Mereka datang ke pesta ulang tahun seorang produser film ternama.
Sebuah pesta digelar megah di ballroom hotel bintang lima. Lampu gantung kristal berkilauan, gaun para wanita menjuntai penuh glamor, dan tawa para lelaki bergema seperti konser para hipokrit.
Claudia melangkah dengan angkuh, menggandeng Paijo di sampingnya seperti memamerkan piala. Paijo kini bukan hanya Joe Gregorius si aktor rising star, tetapi juga simbol eksotisitas dan keberanian. Para sosialita menatap iri. Para istri pejabat melirik dengan senyum setengah mabuk.
“Astaga, Joe Gregorius! Akhirnya datang juga!” seru salah satu tamu. “Dengar-dengar, kamu bakal jadi pemeran utama di film garapan internasional, ya?”
Paijo hanya tersenyum kecil. Senyum palsu yang sudah ia latih di depan cermin berhari-hari.
Claudia menariknya ke sudut ruangan yang lebih sepi. “Kau masih tidak pandai bersandiwara di depan orang banyak, sayang,” gumam Claudia, menyesap sampanye. “Tapi itu yang membuatmu istimewa.”
Tiba-tiba, seseorang datang. Seorang pria paruh baya, tinggi, dengan aura yang kuat. Rambutnya putih sebagian, namun wajahnya masih tampak karismatik. Paijo langsung merasa sesuatu di dadanya mencelos.
“Andy Wicaksana,” bisik Claudia. Suaranya hampir tak terdengar.
Pria itu mendekat. “Claudia?”
“Andy…”
Mereka saling menatap lama. Seolah ada jalinan waktu yang mendadak menyambung kembali di antara dua orang tua yang pernah saling mencintai. Paijo hanya berdiri di samping Claudia, merasa seperti penonton tak diundang dalam drama masa lalu.
“Aku tidak menyangka kamu akan ada di sini,” kata Andy.
“Aku juga tak menyangka… setelah sekian lama…”
Andy mengangguk. “Kamu tetap terlihat menawan.”
Claudia tertawa pelan. “Dan kamu masih suka memikat.”
Setelah Andy pergi, Claudia menatap Paijo lama. Ada kesedihan di matanya, tapi juga kepastian yang sulit diterjemahkan.
“Kamu mirip sekali dengannya,” ujar Claudia pelan. “Terlalu mirip.”
Paijo menatap Claudia. “Andy Wicaksana itu… cinta pertamamu?”
Claudia tersenyum, pahit. “Bukan hanya cinta pertama. Tapi juga lelaki yang hampir menjadi ayah dari anakku.”
Paijo nyaris tersedak. “Apa?”
Claudia tak menjawab langsung. Ia menatap langit-langit ballroom. “Tapi aku punya banyak rahasia, Jo. Banyak. Bukan hanya soal Andy dan aku. Tapi rahasia yang bahkan kamu mungkin tak siap untuk tahu.”
“Kenapa madam bilang begitu?”
Claudia mendekat. Menyentuh wajah Paijo perlahan. “Karena kamu juga punya rahasia yang tak kamu tahu. Dan saat waktunya tiba, dunia kamu akan jungkir balik. Sama seperti aku waktu itu.”
Paijo menarik diri. Dadanya sesak.
Claudia terkekeh pelan. “Tenang saja. Belum saatnya rahasia itu keluar.”
Di malam yang berbeda, Paijo duduk di balkon apartemennya. Sendirian. Rokok menyala di jari. Matanya menerawang ke langit gelap Jakarta.
Kesuksesan sudah dalam genggamannya. Dia kini aktor papan atas. Tawaran film, pemotretan, sponsor, mengalir tiada henti. Bayarannya meningkat berkali lipat, bahkan untuk pekerjaan gelap yang masih ia jalani.
Tapi hatinya kosong.
Tidak ada lagi Suzy yang menunggunya di depan pintu apartemen. Tidak ada lagi tawa lembut Suzy saat mereka menonton drama Korea. Tidak ada lagi pertanyaan tulus dari seorang gadis yang hanya ingin tahu siapa dia sebenarnya.
Yang ada hanyalah Claudia, dan klien-klien yang terus menagih.
Paijo pernah punya mimpi untuk berhenti. Tapi mimpi itu tenggelam dalam lumpur uang dan tekanan. Sekarang, bahkan dirinya pun tak dikenali. Ia bukan lagi Paijo, anak desa. Ia bukan lagi Alvarez si gigolo. Ia bukan lagi Joe Gregorius si artis papan atas. Ia bukan siapa-siapa.
Ia adalah nama dalam papan iklan.
Ia adalah wajah dalam layar perak.
Tapi tidak ada yang benar-benar mengenalnya. Tidak ada yang memanggilnya “Mas Paijo” dengan ketulusan seperti Suzy.
Dan ketika malam makin larut, dan bintang-bintang tampak seperti luka yang berpendar, Paijo menangis dalam diam. Air matanya jatuh bukan karena ia kehilangan dunia… tapi karena dunia telah kehilangan dirinya.
Dan ia pun tak tahu apakah ia akan sanggup menemukannya kembali.
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
jgn salahkan Suzy aelahh
next nell, semakin menarik 😁😁😁
Tpi bikin greget 😭
Jo terlalu pasrah bet, Jo ga boleh lemah ya kudu kuat lawan dong itu si lambe turah claudia jan mau dijadiin bonekanya😭😭
adududu typoku selalu tidak tau tempat🚶♀️
bagai petir disiang bolong faktanya😱😱
gemes sndiri kan jdinya 😶😶
Lu yg terobsesi sama Paijo peak itu bukan cinta lagi namanya dari mana juga pengorbanan disitu 🤯
yg ada dia tuh yg makin memperkeruh keadaan paijo🚶♀️