"Aku tidak bisa mencintainya, karena sejak awal hatiku tidak memilihnya. Semua berjalan karena paksaan, surat wasiat ayah, janji ayah yang harus aku penuhi."
"Semua yang terjadi bukan atas kemaunku sendiri!"
"Dengarkan aku, Roselyn... hanya kamu yang mampu membuatku merasakan cinta."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qireikharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Terluka Karena Kamu.
Jayden melangkah masuk ke dalam kantornya dengan wajah kesal karena ucapan Roselyn yang terngiang di pikirannya. Ia masuk ke dalam lift menuju ruangan kerjanya.
"Kamu dari mana saja, Jayden?" tanya Naeira yang sudah berada di dalam ruangannya. Jayden terdiam di ambang pintu dengan menatap datar padanya.
Jayden tidak peduli, ia masih saja diam sambil duduk di kursi kerjanya. Naeira menatap Jayden dengan tatapan meneliti terlihat wajahnya sedang memendam kekesalan.
"Aku tahu dari Davin bahwa perusahaan cabang sedang memiliki masalah, apa itu yang membuatmu akhir-akhir ini sibuk? Sering meeting diluar?, biar aku ambilkan kopi ya?," Jayden masih saja diam tak menjawab pertanyan Naeira, sedangkan Naeira berjalan menuju pantry untuk membuat kopi kesukaan Jayden.
Beberapa menit kemudia Naeira membawa kopi dan meletakannya tepat di atas meja, ia tidak peduli bahwa Jayden tidak menjawab pertanyaannya.
"Kamu pasti lelah ya," ucap Naeira dan mencoba memijat pundak Jayden dengan lembut ia membuka jasnya perlahan.
Jayden menepis halus tangan Naeira yang berada di pundaknya, sorot matanya dingin, tak sedikit pun menunjukkan ketertarikan.
Tidak perlu Naeira, pergilah ke ruanganmu, sudah cukup," kata Jayden.
Wajah Naeira menegang, ia kesal. “Kenapa kamu selalu menolak aku Jayden? Aku hanya peduli padamu, aku ini istrimu” tegas Naeira.
Jayden menatapnya tajam, lalu berdiri dan menatap lurus, aku tidak butuh perhatianmu, lagi pula di kantor kamu harus tahu batasannya.”
“Aku ini istrimu Jayden, tak perlu ada batasan dengan suamiku sendiri!” bentaknya.
Pundaknya bergetar menahan emosi. Ada rasa perih yang menusuk dalam hatinya, yang membuat dadanya sesak oleh penolakan dingin itu.
Jayden tidak peduli, dan memilih diam sebelum ia meninggalkan Naeira sendiri di ruangannya.”
“Sampai kapan dia seperti ini padaku? sampai kapan akan selalu dingin, menolakku? Padahal aku sudah berusaha keras, bahkan rela menurunkan harga diriku demi dia," gumam Naeira batinnya bergemuruh, matanya berkaca-kaca, menahan sesak dalam dadanya.
-----
Jayden melangkah masuk ke ruang meeting, Davin sudah menunggunya dengan beberapa berkas di tangannya, wajahnya serius, matanya menatap tajam seolah ingin memastikan sesuatu kepada Jayden.
“Jayden apa kamu sudah menyelesaikan masalah di kantor cabang?beraninya—”
Belum sempat Davin menyelesaikan ucapannya, Jayden terlebih dulu mengangkat tangan, memotong pembicaraan, sorot matanya dingin menatap Davin.
“Semuanya sudah aku selesaikan. Tidak perlu ada orang lain yang tahu lebih jauh,” potongnya tegas.
Davin mengernyit terheran dengan sikap Jayden yang seolah sedang dalam kondisi mood jelek tapi bukan menyangkut masalah perusahan.
“Ya sudah kalau begitu, aku tidak akan ikut campur soal permasalahan di kantor cabang,” ujar Davin dengan santai, lalu berdiri, menepuk bahu Jayden sekilas.
“Ini dokumen yang kamu minta dari perusahaan Alde. Mereka ingin meeting denganmu besok pagi,” ucap Davin sambil memberikan dokumen itu dan membahasnya lebih jauh.
Jayden hanya mengangguk tanpa berbicara lagi, membuat Davin sedikit penasaran. Raut wajah Jayden nampak memendam kekesalan yang membuatnya terlihat kacau, ia lebih banyak diam dan tak banyak interaksi dengan semua orang hari ini selepas pulang dari kampus.
"Entah apa yang terjadi padanya sehingga begitu kesal," gumam Davin dalam hati yang sejak tadi memperhatikan sikapnya.
"kalau begitu aku pergi dulu, masih ada beberapa meeting yang harus dihadiri." Davin melangkah keluar tanpa Jayden merespon perkataannya.
Pikiran Jayden terus tertuju pada Roselyn, perkataannya begitu membekas dihatinya, sehingga membuatnya kesal seolah cintanya telah ditolak oleh gadis itu.
Ponselnya bergetar dari layar notifikasinya terlihat beberapa pesan masuk salah satunya dari Roselyn, tampak wajah Jayden kembali berbinar melihat nama dari pesan masuk itu.
"Halo Roselyn, ada apa?" Jayden langsung menghubungi Roselyn tanpa ingin membalas melalui pesan.
"Pak, kenapa bapak meninggalkan kelas seacara tiba-tiba, justru malah memberi tugas yang cukup banyak. Para mahasiswa di kelas saling curiga bapak dan aku ada masalah," sahut Roselyn dari sambungan telepon, nadanya terdengar cukup kesal.
"Saya sedang tidak mood, terserah saya mau meninggalkan kelas atau tidak, bukan urusan kamu," jawab Jayden datar.
"Tapi bapak gak boleh gitu, namanya itu tidak profesional!" celetuk Roselyn.
"Terserah saya, yang penting kerjakan semua tugasnya! Dan kumpulkan di ruangan saya sore ini!" tegas Jayden sambil memiringkan bibirnya tersenyum sinis.
"Bapak marah bukan? Karena perkataan aku tadi di ruang dosen? Maaf Pak, jika perkataanku menyinggung Pak Jayden, aku gak bermaksud melukai hati bapak." Suara Roselyn terdengar rendah dan lembut, seolah merasa bersalah pada Jayden.
"Ya, saya terluka karena ucapan kamu, kamu harus mengobati luka hati saya, Roselyn," ujar Jayden datar, namun masih dengan senyumnya.
Roselyn terdiam, hanya terdengar deru napasnya yang tidak beraturan dari balik sambungan telepon.
"Roselyn jika kamu tidak mau menjalin hubungan dengan saya, sepertinya saya akan mengundurkan diri sebagai dosen," Lanjut Jayden dengan tenang.
"Ko gitu sih Pak!, kenapa masalahnya jadi begini," sahut Roselyn dengan cepat, dadanya bergemuruh.
"Saya sudah mengambil keputusan, selamat tinggal Roselyn." Jayden dengan berani menutup sambungan teleponnya. Meskipun hatinya tidak ingin melakukan hal itu. Ia ingin menguji hati Roselyn. Apakah gadis itu akan menerima keputusannya atau mengakui perasaannya dan tidak membiarkannya keluar dari kampus.
Sedangkan di sisi lain, Roselyn gelisah dirinya merasa takut dan kacau jika ucapan Jayden benar-benar terjadi. Ia menelan ludahnya lalu memutuskan berjalan kembali menuju kelas. Clara dan Fifi memperhatikannya dari kejauhan setelah Roselyn masuk ke dalam kelas.
"Kamu kenapa Roselyn? wajahmu pucat, gelisah gitu?" tanya Fifi yang sedang duduk di kursinya.
"Ya, Lyn. Kamu sakit?" ujar Clara menimpali.
"A-aku tidak apa-apa, hanya kecapean kayanya. Bukankah minggu ini banyak sekali tugas ya, apalagi harus menyiapkan penelitian buat sidang skripsi," jawab Roselyn meskipun dengan terbata.
"Tenang aja kali, Lyn jangan di ambil pusing, semuanya akan selesai, kasian diri kamu jangan terlalu dipaksakan semuanya harus selesai cepat," Timpal Reina.
"Ya lagi, Pak Jayden tega banget ngasih tugas banyak harus di kumpulkan sekarang. Bisa gak sih besok pagi aja! Kamu bisa kali lyn, rayu Pak Jayden agar tugasnya besok aja di kumpulinnya," ujar Clara sambil tersenyum menggoda Roselyn.
"Apaan sih kalian, kenapa harus aku! Fifi aja kali ah telpon dia," ujar Roselyn dengan dada yang berdebar dan menyembunyikan Pipinya yang memanas dadanya kembali berdebar tak nyaman.
"Ya, Fi kamu ajalah, kan kamu yang paling berani," celoteh Alisya sambil tertawa.
"Ye, tapi kan Pak Jayden sukanya sama Roselyn," sahut Fifi keceplosan sambil tersenyum gugup. Clara, Reina dan Alisya saling pandang dan menahan tawa.
"Ngomong apaan sih kalian ini," Roselyn pura-pura sibuk dengan ponselnya, terlihat tangannya sedikit gemetar.
"Lyn kamu sadar enggak sih? Pak Jayden tuh kelihatan suka banget tahu sama kamu dari awal," ucap Fifi dengan berani mengatakan hal seperti itu tanpa canggung lagi.
"Ya, Lyn kamu aja yang terlalu cuek pada dia. Kasian tahu, padahal kamu beruntung loh, Lyn di sukai Pak Jayden. Kamu tahu sendiri kan para mahasiswi di kampus ini menyukai dia, sedangkan dia sukanya ke kamu," sahut Reina dengan pelan. Roselyn masih saja diam seolah tak mendengarkan mereka berbicara.
"Lyn kamu lagi apa sih? sibuk banget sama ponsel! Kamu gak denger apa yang kita bicarakan?" ucap Clara.
"Ya, ih ! Kayanya Roselyn gak dengerin obrolan kita, deh!"
"Lyn?" panggil Alisya.
"Apa ih! gak penting ah obrolan kalian kenapa jadi aku yang di sudutkan dengan Pak Jayden," ucapnya cuek padahal dalam hatinya berdebar tak tenang.
"Kita gak menyudutkan, Lyn hanya saja saat kita perhatikan bahasa tubuh Pak Jayden menunjukan ketertarikan pada kamu," ujar clara pelan. Teman-temannya mengangguk setuju.
"Lalu?" tanya Roselyn datar.
"Ya, kamu gak mau gitu kalau misalkan jadi kekasih Pak Jayden, dia kan terbilang hampir sempurna," ucap Fifi sambil menahan tawa, sedangkan Roselyn masih terdiam saja tanpa menanggapi apapun.
Namun dalam hatinya Roselyn perasaan kalut, gelisah dan bingung sedang dirasakannya, hanya saja kepura-puraannya yang membuat dia kuat untuk tidak merespon apapun.
"Apa aku harus cerita pada mereka? Apa aku harus menjalani hubungan dengan Pak Jayden?, ini terlalu rumit." Dalam hatinya Roselyn terus berperang dengan perasaannya.
Lanjut Part 25》