NovelToon NovelToon
Di Bawah Aturan Suami Baruku

Di Bawah Aturan Suami Baruku

Status: sedang berlangsung
Genre:Dokter / Selingkuh / Crazy Rich/Konglomerat / Konflik etika
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: Ziafan01

Saat Shima lyra senja seorang dokter berbakat di rumah sakit ternama, menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, dunianya hancur seketika.
Pengkhianatan itu tidak hanya merenggut pernikahannya, tapi juga rumah, nama baik, dan tempat untuk pulang.
Di titik terendah hidupnya, ia menerima tawaran tak masuk akal datang dari Arru Vance CEO miliarder dingin dengan aturan yang tidak bisa dilanggar. Pernikahan kontrak, tanpa cinta, tanpa perasaan. Hanya ada aturan.
Namun, semakin dekat ia dengan Arru, semakin ia sadar bahwa sisi dingin pria itu menyembunyikan rahasia berbahaya dan hati yang mampu merasakan semua yang selama ini ia rindukan.
Ketika pengkhianatan masa lalu kembali muncul dan skandal mengancam segalanya, Shima harus memilih: mengikuti aturan atau mempertaruhkan segalanya demi cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziafan01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ROYAN HAVEN HOTEL-SUITE 1708

Arru berdiri tidak jauh dari ruang kerja Shima.

Koridor itu sunyi, hanya sesekali dilewati perawat jaga malam. Dari balik kaca buram, ia bisa melihat siluet Shima yang duduk diam di balik meja, ponsel di tangannya.

Arru mengeluarkan ponsel.

Jarinya Pun bergerak cepat.

Arru:

Lanjutkan ke tahap berikutnya.

Pesan itu terkirim.

Ethan membalas hampir seketika.

Ethan:

Dimengerti.

Arru menyimpan ponselnya. Tidak ada keraguan di wajahnya. Tidak ada emosi berlebihan. Semua sudah dihitung sejak awal.

Ia melangkah pergi, meninggalkan koridor yang dingin dan seorang perempuan yang belum tahu bahwa kebenaran sedang disiapkan untuknya.

Di dalam ruangannya, Shima masih duduk.

Ia menggulir layar ponselnya tanpa benar-benar membaca. Berita kesehatan. Pesan grup dokter. Notifikasi yang lewat begitu saja.

Lalu sebuah pesan masuk.

Nomor tidak dikenal.

Shima mengerutkan kening.

Pesannya singkat.

Royal Haven Hotel - Suite 1708.

Tidak ada nama pengirim.

Tidak ada penjelasan.

Shima menatap layar itu lama.

Ia hampir mengabaikannya. Hampir.

Namun entah kenapa dadanya terasa sesak. Ada sesuatu yang bergetar di dasar nalurinya. Sesuatu yang sudah lama ia tekan.

Ia mengetik balasan.

Siapa ini?

Tidak ada jawaban.

Beberapa detik berlalu.

Satu menit.

Dua menit.

Pesan itu tetap menggantung dingin dan sunyi seperti ruangan tempat ia duduk.

Shima menghela napas pelan.

Ia mengunci ponselnya, bersandar di kursi. Berusaha menertawakan dirinya sendiri.

Mungkin hanya lelucon.

Mungkin salah kirim.

Namun otaknya menolak tenang.

Nama hotel itu terlalu dekat.

Terlalu spesifik.

Dan waktunya… terlalu tepat.

Di luar ruangannya, langkah kaki Arya terdengar mendekat lalu menjauh. Suaranya samar, tertawa kecil bersama seseorang suara yang sudah ia kenal terlalu baik.

Shima membuka kembali ponselnya.

Pesan itu masih ada.

Dan tanpa ia sadari

satu langkah kecil itu akan membawanya pada kebenaran yang selama ini berusaha ia lindungi dari dirinya sendiri.

Sementara di tempat lain, Arru Vance telah bergerak.

Bukan untuk menghancurkan.

Melainkan untuk membuka topeng yang sudah terlalu lama dipakai dengan nyaman oleh orang-orang yang mengira tidak akan pernah tertangkap.

Shima memandangi layar ponselnya beberapa detik lebih lama.

Nomor tidak dikenal.

Tanpa nama.

Ia menghela napas pelan dan mengunci layar.

“Mungkin salah kirim,” gumamnya pada diri sendiri.

Ia berdiri, merapikan jas putihnya, mencoba kembali menjadi dokter yang rasional perempuan yang tidak hidup dari prasangka.

Namun ponselnya kembali bergetar.

Satu pesan masuk.

Kali ini bukan teks.

Foto.

Shima membuka layar dan dunia yang ia kenal runtuh dalam satu tarikan napas.

Arya.

Laura.

Di depan lobi hotel yang sama.

Dekat. Terlalu dekat.

Tangan Arya melingkar di pinggang Laura.

Laura tertawa bebas, tanpa topeng.

Latar waktu di foto menunjukkan sepuluh menit yang lalu.

Shima tidak menjatuhkan ponselnya.

Ia tidak menangis.Ia tidak berteriak.

Tangannya gemetar ya.

Dada sesak ya.

Tapi yang paling mengerikan adalah:

ia tidak terkejut.

Seolah sebagian dirinya sudah tahu sejak lama.

Ia meraih tasnya. Mengambil kunci mobil dengan gerakan terburu tapi terkontrol. Tidak pamit. Tidak berpikir panjang.

Lift terasa terlalu lambat.

Lorong terasa terlalu panjang.

Begitu duduk di kursi pengemudi, Shima menutup pintu mobil dengan keras.

Mesin menyala.Tangannya mencengkeram setir.

“Jangan nangis,” bisiknya. “Bukan sekarang.”

Mobilnya melaju keluar dari parkiran rumah sakit, membelah malam yang terasa terlalu terang.

Alamat hotel itu terngiang di kepalanya seperti vonis.

Di tempat lain, Arru sedang berdiri di dekat jendela kantornya ketika ponselnya bergetar.

Pesan dari Ethan.

Ethan:

Shima menuju hotel. Sendirian.

Arru menatap layar itu lama lebih lama dari biasanya.

“Bodoh,” gumamnya pelan. Bukan pada Shima. Pada situasi.

Ia mengambil kunci mobilnya.

Tanpa jas. Tanpa asisten.

Hanya keputusan cepat yang jarang ia ambil.

Shima tidak menyadari mobil hitam yang keluar dari parkiran rumah sakit beberapa menit setelahnya.

Tidak tahu bahwa seseorang menjaga jarak cukup dekat untuk melihat, cukup jauh untuk tidak terlihat.

Lampu kota memantul di kaca depan mobilnya. Matanya panas, tapi kering. Nafasnya pendek-pendek.

Setiap lampu merah terasa seperti hukuman.

Saat hotel itu akhirnya terlihat bangunan tinggi dengan lampu emas menyala angkuh Shima menepi sesaat.

Tangannya bergetar di atas kunci kontak.

Kalau ini benar…

hidupku tidak akan sama lagi.

Ia mematikan mesin.

Keluar dari mobil.

Melangkah masuk ke lobi hotel dengan wajah yang terlalu tenang untuk perempuan yang sedang menuju kehancuran.

Dan di seberang jalan Arru Vance memarkir mobilnya.

Tatapannya terkunci pada pintu hotel yang baru saja menelan Shima.

“Jangan sendirian,” katanya lirih.

Malam itu, kebenaran tidak lagi menunggu.

Ia sedang dibuka dan tidak satu pun dari mereka akan keluar dari hotel itu sebagai orang yang sama.

Mobil melaju terlalu cepat untuk malam yang seharusnya tenang.

Lampu jalan berkelebat seperti garis-garis cahaya yang tidak sempat ia tangkap. Shima menekan tombol panggilan di ponselnya, jari-jarinya gemetar.

Satu dering.

Dua.

“Arya,” suara itu akhirnya terdengar. Sedikit terengah. Sibuk.

“Mas di mana?” tanya Shima, berusaha menjaga nadanya tetap normal.

“Di rumah sakit,” jawab Arya cepat. “Lagi operasi. Kenapa?”

Shima menggenggam setir lebih erat. “Operasi apa?”

“Aku nggak bisa jelasin sekarang,” katanya. “Kamu pulang aja. Jangan nunggu.”

Nada itu terburu, defensif.

“Mas,” Shima menelan ludah. “Kamu yakin?”

Arya terdiam sepersekian detik. Terlalu singkat untuk disebut jeda, terlalu lama untuk disebut wajar.

“Shima,” katanya kemudian, lebih rendah. “Kamu terlalu capek. Pulang. Istirahat.”

Klik.

Telepon terputus.

Shima tidak menangis.

Ia hanya menurunkan ponsel perlahan, lalu menginjak pedal gas lebih dalam.

Lobi hotel berkilau oleh cahaya emas.

Shima melangkah masuk dengan wajah datar. Tidak ada yang mencurigainya. Tidak ada yang tahu bahwa dadanya hampir runtuh.

Lift.

Pintu menutup dengan bunyi lembut.

Sunyi.

Pantulan dirinya di dinding cermin tampak asing. Mata yang biasanya tenang kini kosong bukan karena tidak merasa, tapi karena terlalu banyak yang harus ditahan.

Angka-angka menyala perlahan.

Lantai tujuh belas.

Setiap detik terasa seperti tarikan napas terakhir sebelum tenggelam.

Pintu lift terbuka.

Lorong hotel hening. Karpet tebal meredam langkah kakinya. Lampu-lampu dinding menyala redup, menciptakan suasana yang seharusnya romantis.

Nomor kamar itu terlihat di ujung lorong.

1708.

Langkah Shima melambat.

Ia berhenti tepat di depan pintu.

Tangannya terangkat ragu lalu mengetuk.

Tidak ada jawaban.

Ia menempelkan telinganya ke pintu.

Suara tawa pelan.

Suara yang ia kenal.

Shima menarik napas panjang, lalu menekan gagang pintu.

Tidak terkunci.

Pintu terbuka.

Arya berdiri di sana. Tanpa jas dokter. Tanpa jam tangan. Kemeja terbuka satu kancing.

Laura ada di belakangnya. Rambut terurai. Wajahnya pucat saat melihat Shima.

Tidak ada jeritan.

Tidak ada air mata yang jatuh.

Shima hanya berdiri.

Menatap.

Waktu seolah berhenti.

“Aku kira kamu di operasi,” kata Shima akhirnya. Suaranya datar terlalu datar untuk perempuan yang baru saja dihancurkan.

Arya membuka mulut. Menutupnya lagi.

“Shima…”

“Jadi ini ruang operasi kamu?” lanjut Shima pelan. Tatapannya bergeser ke ranjang yang berantakan. “Atau ini ruang pemulihan?”

Laura melangkah maju setengah langkah. “Shima, aku bisa jelasin..”

Shima mengangkat tangan.

Satu gerakan kecil yang membuat Laura membeku.

“Jangan,” katanya. “Kalau kamu bicara, aku mungkin akan kehilangan kendali. Dan aku nggak mau itu.”

Arya mendekat. “Ini nggak seperti yang kamu pikirkan.”

Shima tersenyum tipis.

“Kalimat itu,” katanya, “aku sudah dengar versi halusnya di rumah. Versi profesionalnya di rumah sakit. Sekarang aku dengar versi telanjangnya.”

Ia mengangguk pelan, seolah menerima diagnosis yang sudah lama ia duga.

“Aku cuma mau satu hal,” lanjutnya. “Kebenaran. Sekarang.”

Arya menunduk.

Dan itu sudah cukup.

Shima berbalik.

“Aku belum selesai bicara.”

1
Wita S
kereennnn
Sweet Girl
Siram bensin terus aja...
Sweet Girl
Buat memelihara bangkai di rumah, Laura... mending dibuang aja.
Sweet Girl
Dan bakal kehilangan Dana segar Luuu pada...
Sweet Girl
Asyeeek... beli yang kau mau, Shima...
bikin mereka yg menyakiti melongo.
Sweet Girl
Tunggu tanggal mainnya duo penghianat.
ketawa aja kalian sekarang sepuasnya, sebelum ketawa itu hilang dr mulut kalian.
Sweet Girl
Nah Lu... kapok Lu... sekalian aja seluruh Penghuni rumah sakit denger...
Sweet Girl
Kelihatan sekali yaaaa klo kalian itu bersalah.
Sweet Girl
Ada Gondoruwo🤪
Sweet Girl
Kamu pikir, setelah kau rampas semua nya, Shima bakal gulung tikar...
OOO tentu tidak... dia bakal semakin kaya.
Sweet Girl
Masuklah sang Penguasa 🤣
Sweet Girl
Dan pilihan mu akan menghancurkan mu... ojok seneng disek...
Sweet Girl
Kamu yang berubah nya ugal ugalan Brooo
Sweet Girl
Ndak bahaya ta... pulang sendiri dengan nyetir mobil sendiri?
Sweet Girl
Kok ngulang Tor...???
Sweet Girl
Wes ora perlu ngomong, Ndak onok paedaheee.
Sweet Girl
Naaah gitu dong... semangat membongkar perselingkuhan Suami dan sahabat mu.
Sweet Girl
Musuh dalam selimut, iya.
Sweet Girl
Gayamu Ra... Ra... sok bener.
Sweet Girl
Kamu jangan kebanyakan mikir tho Syma...
mending bergerak, selidiki Arya sama Laura.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!