Sebuah jebakan kotor dari mantan kekasih memaksa Jenara, wanita karier yang mandiri dan gila kerja, untuk melepas keperawanannya dalam pelukan Gilbert, seorang pria yang baru dikenalnya. Insiden semalam itu mengguncang hidup keduanya.
Dilema besar muncul ketika Jenara mendapati dirinya hamil. Kabar ini seharusnya menjadi kebahagiaan bagi Gilbert, namun ia menyimpan rahasia kelam. Sejak remaja, ia didiagnosis mengidap Oligosperma setelah berjuang melawan demam tinggi. Diagnosis itu membuatnya yakin bahwa ia tidak mungkin bisa memiliki keturunan.
Meskipun Gilbert meragukan kehamilan itu, ia merasa bertanggung jawab dan menikahi Jenara demi nama baik. Apalagi Gilbert lah yang mengambil keperawanan Jenara di malam itu. Dalam pernikahan tanpa cinta yang dilandasi keraguan dan paksaan, Gilbert harus menghadapi kebenaran pahit, apakah ini benar-benar darah dagingnya atau Jenara menumbalkan dirinya demi menutupi kehamilan diluar nikah. Apalagi Gilbert menjalani pernikahan yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuh
Jenara terdiam, membeku di kursinya. Merah padam wajahnya bukan karena amarah, melainkan karena rasa malu yang luar biasa. Ia dihina, di London, oleh seorang Managing Director senior, dan disamakan dengan istri yang sedang datang bulan.
Sepertinya sesuatu yang salah telah terjadi. Mungkinkah...
Setelah Mr. Hans pergi, Jenara bangkit dengan gerakan cepat, berjalan menuju jendela, berusaha menenangkan diri. Alexa, yang selama pertemuan hanya diam dan mencatat, kini mendekat dengan wajah pucat.
“Bu Jenara…” panggil Alexa pelan.
“Jangan katakan apa-apa, Alexa. Jangan sampai kau menyindirku lagi dengan kalimat yang sama,” desis Jenara, tanpa menoleh.
Alexa tidak peduli dengan amarah bosnya. Kata-kata Mr. Hans, yang secara langsung menyinggung masalah menstruasi, tiba-tiba memicu memori yang terabaikan selama dua bulan terakhir.
Alexa berdiri mematung. Jenara adalah wanita yang sangat teratur. Jadwal menstruasinya, seperti jadwal perusahaannya, tidak pernah meleset. Dan Jenara sangat sensitif terhadap pembalut. Setiap bulan, Alexa harus memastikan ia menyediakan pembalut khusus yang cocok untuk kulit Jenara yang sensitif.
Alexa mengeluarkan ponselnya, membuka fitur kalender dan catatan yang ia buat secara pribadi untuk menjaga detail bosnya.
Alexa menghitung mundur.
Periode Jenara seharusnya datang empat minggu lalu. Lalu seharusnya datang lagi beberapa hari yang lalu.
Totalnya… hampir dua bulan Jenara belum mendapatkan periodenya.
Semua keanehan Jenara, emosi meledak-ledak, mengeluh tentang bau apek, benci warna merah, protes pada air yang terlalu panas, semuanya bukan gejala PMS (Pre-Menstrual Syndrome).
Itu adalah gejala morning sickness.
Mata Alexa terbelalak, napasnya tercekat. Rasa dingin menjalar dari tulang punggungnya hingga ke ujung jari. Ia segera teringat ucapan Gilbert yang Jenara ceritakan singkat setelah kejadian itu, Tenang saja, kau tidak akan hamil. Aku mandul!
“Bu Jenara,” panggil Alexa lagi, suaranya kini sedikit bergetar.
Jenara berbalik, siap memarahi Alexa karena mengganggu.
“Ada apa lagi, Alexa? Aku bilang, aku butuh ketenangan!”
“Bu,” kata Alexa, memberanikan diri. “Sudah… sudah hampir dua bulan. Periode Ibu…”
Jenara mengerti maksud Alexa, dan seketika ia membeku. Matanya yang tajam kini memancarkan ketakutan yang sesungguhnya. Ia, yang selalu menepis kemungkinan terburuk itu, kini harus menghadapinya.
Tenang saja, kau tidak akan hamil. Aku mandul!
Apakah pria itu berbohong, atau… apakah ‘mandul’ yang ia maksud tidak sepenuhnya benar?
Jenara segera menyentuh perutnya, daerah yang selama dua bulan ia anggap ‘hening.’ Ketakutan yang baru, jauh lebih besar daripada kehancuran bisnis, kini menghantamnya.
“Tidak mungkin,” bisik Jenara. “Ini tidak mungkin terjadi.”
...********...
Dua bulan telah berlalu sejak Gilbert menerima cek lima miliar rupiah dan merasa harga dirinya runtuh. Dua bulan pula Gilbert menghabiskan sebagian besar waktu luangnya untuk mencari Jenara Sanjaya. Pencarian itu, ironisnya, terasa seperti memburu hantu yang tidak ingin ditemukan.
Gilbert telah menggunakan semua koneksi dan data dari PT Digdaya Guna yang ia dapatkan dari Althaf. Ia tahu Jenara adalah workaholic, tapi ia seolah menghilang dari muka bumi. Nomor telepon pribadinya tidak aktif, alamat rumahnya dijaga ketat, dan Jenara tidak pernah menghadiri acara sosial atau bisnis apa pun di Jakarta.
Puncak frustrasinya adalah ketika ia nekat mendatangi kantor pusat Digdaya Guna, sebuah menara kristal yang menjulang di pusat kota.
Ia, seorang Chief Operating Officer dengan reputasi tanpa cela, bahkan tak bisa melewati lobi.
“Maaf, Bapak. Apakah sudah membuat janji dengan Ibu Jenara Sanjaya?” tanya resepsionis dengan nada sopan namun dingin, menatap Gilbert seolah ia hanyalah pengantar paket.
“Belum, tapi ini sangat penting. Saya Gilbert Rahadiansyah dari…”
“Maaf, Tuan Rahadiansyah. Ibu Jenara sangat sibuk. Beliau tidak menerima tamu tanpa janji yang dikonfirmasi setidaknya dua minggu sebelumnya. Jika ini urusan bisnis, silakan tinggalkan kartu nama dan proposal Anda di sini,” potong resepsionis itu tanpa basa-basi, tanpa sekalipun menunjukkan pengakuan akan jabatan atau nama besar Gilbert.
Gilbert hanya bisa mengepalkan tangannya. Di matanya, Jenara bukan sekadar CEO, tetapi sosok arogan yang memandang remeh orang lain. Sepenting apakah sosok Jenara ini sampai-sampai sistem keamanannya seketat ini? Apakah wanita itu benar-benar lupa dengan kejadian terakhir bersama Gilbert.
Sungguh harga diri seorang Gilbert Rahadiansyah teraniaya.
Rasa sakit fisik di pinggangnya sudah hilang, tetapi luka emosional karena diperlakukan seperti pria bayaran belum terobati. Uang lima miliar itu masih tersimpan rapi di brankas pribadinya, menunggu hari pembalasan.
Akhir pekan ini, Gilbert memutuskan untuk menghabiskan waktu di rumah Althaf. Meskipun ia memiliki kediaman pribadi yang mewah, ia selalu merasa damai di rumah sahabat sekaligus atasannya Alena, dan Althaf. Di sana, ia bisa melepaskan jubah COO-nya yang kaku dan menjadi Paman yang hangat.
Terutama Raina, si bungsu yang cantik jelita, sangat lengket padanya.
Di sudut ruang keluarga, tampak pemandangan kontras yang mustahil ditemui di kantor. Gilbert, si pria COO yang dikenal tanpa emosi, kini duduk di lantai, wajahnya penuh coretan lipstik merah muda dan eyeliner tebal dari set mainan salon-salonan Raina. Rambutnya diikat acak-acakan oleh jepit rambut berwarna-warni yang mengkilap.
“Om Gilbert! Aku mau warna merah muda! Bukan biru!” rengek Raina, memprotes kuas eyeliner Gilbert yang melenceng.
Gilbert menghela napas pasrah, tetapi matanya memancarkan kehangatan yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun di luar lingkaran keluarga ini.
“Ya, Nyonya Raina. Warna merah muda. Om hanya mencoba sedikit variasi gothic chic di mata kiri Om,” ujar Gilbert, memejamkan mata saat Raina menambahkan blush on di hidungnya, membuat Gilbert tampak seperti badut yang baru selesai dirias oleh Picasso.
“Om Giiii! Jangan berkedip! Matanya harus dihias seperti princess!” seru Raina, dengan fokus luar biasa yang mirip ibunya saat sedang bernegosiasi.
Raina, sang putri kecil, begitu lengket pada Gilbert, jauh lebih lengket daripada kepada ayahnya sendiri. Raina tampak memegang cermin kecil, mengagumi hasil karyanya di wajah sang Paman.
Dari sofa di seberang ruangan, Althaf terkekeh melihat pemandangan itu. Ia menghirup kopi paginya dengan santai.
“Gilbert, kau adalah Paman terbaik di dunia. Tapi aku serius, kau harusnya mencari istri. Jangan sampai kau menjadi paman saja selamanya, sementara wajahmu dihias oleh keponakanmu,” sindir Althaf, masih geli melihat lipstik shocking pink di bibir Gilbert.
Gilbert membuka satu mata, memelototi Althaf. “Aku sibuk menjaga stabilitas perusahaanmu, Tuan Althaf, dan merawat anak-anakmu. Aku tidak punya waktu untuk drama asmara. Selain itu, Raina sudah menjadi wanita utama dalam hidupku,” jawab Gilbert, memeluk Raina dengan erat. Itu adalah salah satu cara untuk menghindari topik asmara.
“Bohong! Om Gilbert punya banyak tante yang menelepon! Bahkan kemarin ada yang menangis!” Samudra, putra sulung Althaf yang berusia tujuh tahun, menyela dari balik sofa, bangkit dan berlari menghampiri mereka.
“Samudra!” Gilbert mendelik, wajahnya merah. Samudra memang anak yang terlalu jujur dan pengamat yang jeli.
Althaf tertawa terbahak-bahak. “Ternyata Ice King kita tidak sedingin itu, ya? Ada drama dan air mata. Menarik, menarik.”
Tiba-tiba, suara bel rumah yang elegan berbunyi.
Ting tong!
Pak Ma, kepala pelayan yang setia, segera berjalan ke pintu depan.
“Biar aku yang lihat, Mama!” teriak Samudra, bersemangat. Ia adalah anak yang sangat ingin tahu. Ia berlari kencang mendahului Pak Ma.
Beberapa detik kemudian, Samudra kembali ke ruang keluarga. Ia berlari kencang, berhenti tepat di depan Gilbert yang masih berjuang melepaskan jepit rambut dari poninya. Napasnya terengah-engah, menandakan ada sesuatu yang penting.
“Om Giiii!” panggil Samudra dengan suara keras dan polos.
“Ada apa, Samudra? Apakah itu Paman Zaldo?” tanya Gilbert, mengernyitkan dahi.
Samudra menunjuk ke pintu depan dengan jempolnya, wajahnya sangat serius dan penuh rasa ingin tahu.
“Di depan ada Tante cantik, Om,” lapor Samudra. Nada suaranya penuh kekaguman.
Althaf dan Alena saling pandang. Siapa yang datang hari Sabtu pagi tanpa pemberitahuan?
Samudra melanjutkan kalimatnya dengan intonasi yang begitu polos, tetapi efeknya seperti ledakan bom di ruang keluarga itu.
“Katanya… katanya Om sudah membuatnya hamil.”
kesian anaknya kalo kenapa2 😭
btw jen, dia suamimu loo, bapak dari si bayi 😌