Istriku! Oon!?.
Eric Alaric Wiguna , seorang Mafia & CEO perfeksionis, mendapati hidupnya jungkir balik setelah menikahi Mini.
Mini Chacha Pramesti adalah definisi bencana berjalan: ceroboh, pelupa, dan selalu sukses membuat Eric naik darah—mulai dari masakan gosong hingga kekacauan rumah tangga yang tak terduga.
Bagi Eric, Mini itu oon tingkat dewa.
Namun, di balik ke-oon-annya, Mini punya hati yang tulus dan hangat. Mampukah Eric bertahan dengan istrinya yang super oon ini?
Atau justru kekonyolan Mini yang akan menjadi bumbu terlezat dalam pernikahan kaku mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon simeeee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 7: Perjalanan Darat ke Neraka dan Kode Ksatria
Selamat Membaca 👇
Eric Alaric Wiguna menatap Mini yang kini sudah tertidur pulas di sofa, mulutnya sedikit terbuka, masih memeluk bantal bebek kesayangannya. Cincin besi Seguro di jari manisnya berkilauan samar di bawah lampu kamar hotel. Eric merasa otaknya sudah mencapai batas. Dia bukan hanya membawa seorang tunangan ceroboh, tapi juga bom waktu berjalan dengan kunci menuju rahasia terdalam klannya.
Eric segera menghubungi Marco. “Kita tinggalkan Milan segera. Batalkan jet pribadi, pesan mobil mewah yang kuat dan cepat, unmarked. Kita harus berkendara ke Calabria. Malam ini juga.”
Perjalanan darat, meskipun lebih lambat, memberikan Eric kendali penuh atas rute dan keamanan mereka. Setelah serangan di toko perhiasan, Eric tidak percaya lagi pada siapa pun, bahkan pengawalnya di bandara Milan.
Eric mendekati Mini dan dengan lembut mengguncangnya. "Mini, bangun. Kita harus pergi."
Mini mengerang, matanya setengah terbuka. "Sudah pagi? Bibi Titi biasanya masak nasi goreng jam segini."
"Ini jam tiga pagi, dan kita sedang diburu oleh klan Mafia rival yang ingin membunuhmu. Lupakan nasi goreng. Bangun!" Eric menarik
Mini berdiri.
Mini yang masih setengah sadar, berjalan terhuyung-huyung. Saat Eric membawanya menuju pintu, Mini secara tak sengaja menjatuhkan bantal bebeknya ke atas meja rias, menyebabkan semua botol parfum Eric tumpah dan pecah di karpet.
Eric hanya menutup mata, menahan napas dalam-dalam. "Ayo. Cepat."
"Maaf, Eric. Saya akan ganti semua botol parfum Bapak," bisik Mini, merasa bersalah.
"Cukup bawa tubuhmu yang super ceroboh itu keluar tanpa merusak apa pun lagi, itu sudah ganti rugi yang cukup," sahut Eric dingin.
Di mobil sport mewah yang melaju kencang melintasi jalanan Italia menuju selatan, Eric menyetir sendiri. Marco mengikutinya di mobil lain, menjaga jarak aman.
Mini duduk di kursi penumpang, kini lebih sadar. Ia memandangi cincin Seguro di jarinya.
"Eric, apa benar cincin ini kunci?"
Eric mengangguk, tanpa mengalihkan pandangan dari jalan. "Gelang kusammu adalah passwordnya. Cincin ini adalah keycard fisik. Kakek Pranoto telah memecah akses ke Ruang Kaca menjadi dua bagian—satu di tanganmu, satu di tubuhmu."
Mini memutar-mutar gelang manik-maniknya. "Gelang ini? Cuma manik-manik murahan."
"Valerius sangat percaya pada benda-benda kuno dan simbolik. Gelang itu pasti mengandung artefak kecil yang tidak terlihat. Klan Conti selalu menganggapnya sebagai takhayul, tapi sekarang kita tahu itu nyata."
Eric menatap Mini sekilas. "Dengar. Ketika kita tiba di Markas Conti, kau harus bersikap sangat oon seperti biasa. Jangan tunjukkan kalau kau tahu apa-apa soal cincin, gelang, atau Ruang Kaca. Nenek Alessandra tidak boleh tahu."
Mini mengerutkan kening. "Kenapa? Nenek kan Matriark klan Bapak? Beliau yang paling berhak tahu."
"Justru itu. Nenek terlalu terpaku pada tradisi. Jika dia tahu kau memegang kunci ganda Ruang Kaca, dia akan melihatmu bukan sebagai tunangan, tapi sebagai ancaman yang harus dimusnahkan. Dia tidak akan ragu."
Mini menatap Eric. Ini pertama kalinya Eric berbicara begitu terbuka dan penuh kepercayaan padanya. Mini, meskipun ceroboh, menangkap ketulusan dalam ketegasan Eric.
"Baik, Eric. Aku akan pura-pura sangat oon. Tapi aku memang sudah oon dari sananya," ujar Mini.
Pagi hari, mereka tiba di perbatasan wilayah Calabria, memasuki wilayah kekuasaan klan Conti. Eric menghentikan mobil sebentar di sebuah kafe pinggir jalan yang tersembunyi.
Saat Eric sedang menghubungi Marco, Mini melihat sebuah poster di dinding kafe. Itu adalah poster pencarian orang hilang: "Silvio Valerius, Tuan Muda Klan Valerius."
Di bawah foto pria tampan berambut gelap itu, ada deskripsi: Mampu mengendalikan emosi musuh melalui sentuhan fisik yang halus.
Mini teringat reaksi Nenek Alessandra dan Elara saat menyentuhnya. Dan juga bagaimana Eric mendadak merasa lebih tenang dan protektif sejak ia mulai menyentuh Eric.
"Eric!" panggil Mini. "Coba lihat ini."
Eric mendekat dan melihat poster itu. Wajahnya mengeras. "Silvio Valerius. Sepupu jauh yang mencoba menghidupkan kembali klan. Dia yang mengirim orang ke toko perhiasan."
"Bukan itu! Lihat deskripsinya!"
Mini menunjuk. "Mampu mengendalikan emosi musuh melalui sentuhan fisik yang halus. Eric, aku tidak sengaja menyentuh Nenek, dan dia langsung kaget dan melihat 'bau darah'. Aku menyentuh Elara, dia panik. Dan aku menyentuhmu—"
Mini berhenti. Eric menatapnya intens.
"—dan kau berhenti panik, mulai percaya padaku, dan sekarang kau bahkan mengkhawatirkanku," Mini menyimpulkan.
"Mungkin darah Valerius itu bukan hanya kode akses, tapi juga kode emosi."
Eric terdiam. Dia memproses kata-kata Mini. Dia memang merasa Mini, gadis yang seharusnya membuatnya jengkel, justru membuatnya merasa lebih tenang dan fokus sejak insiden kemeja itu. Eric tiba-tiba teringat pelukan Mini yang erat di Vespa tadi malam, dan bagaimana ia tidak menyuruh Mini menjauh.
"Jika ini benar, Mini," kata Eric pelan, "maka kau adalah senjata biologis paling berbahaya bagi klan Conti. Dan kau harus menjauhkan dirimu dari Nenek Alessandra dan Ayah."
Mereka melanjutkan perjalanan. Eric mulai menyusun rencana. Mini harus belajar beberapa trik klan Conti agar ia tampak sebagai pengantin yang berharga.
"Dengar, Mini. Kita akan membuatmu tampak seperti calon istri yang sempurna, meskipun dalam kekacauan. Aku akan mengajarimu beberapa 'kode' klan. Tujuannya adalah membuat Nenek Alessandra percaya kau memiliki potensi," jelas Eric.
"Kode apa?" tanya Mini bersemangat.
Eric mengambil sebongkah roti dari bekal Mini, lalu mematahkannya menjadi dua bagian yang tidak sama rata.
"Kode pertama: Jangan pernah mengambil potongan terbesar, tapi pastikan yang kau ambil adalah yang paling penting."
Mini menatap roti itu, lalu mengangguk.
Mereka tiba di sebuah pos pemeriksaan terpencil, gerbang menuju komplek Markas Besar Conti. Penjaga bersenjata langsung mengenali Eric dan memberi hormat.
Ketika mobil berhenti, Mini panik lagi. Ia melihat Eric merapikan jasnya, memasang wajah CEO yang dingin dan tanpa emosi.
Mini ingin membantu. Ia melihat serpihan remah roti bekal tadi jatuh di bahu Eric. Mini refleks mengulurkan tangan. Sambil berusaha membersihkan remah roti, Mini secara tak sengaja mencengkeram dasi Eric terlalu keras, membuatnya terlihat seperti akan mencekik Eric.
Penjaga gerbang terkejut. Mereka melihat Eric Alaric Wiguna, Capo muda yang dingin, sedang dicekik oleh calon istrinya sendiri.
Eric hanya bisa mendesis. "Mini! Aku... tidak... bisa... bernapas!"
Mini baru sadar dan melepaskan dasi Eric.
"Maaf! Ada remah roti!"
Eric memutar matanya, memperbaiki dasinya yang miring. Ia tahu, sandiwara oon Mini tidak perlu direncanakan; itu murni naluri.
Eric menghela napas, lalu memasang senyum tipis yang terasa asing di wajahnya. Senyum itu tidak untuk Mini, melainkan untuk para penjaga.
"Selamat datang di rumah, Signora Mini. Tunjukkan pada mereka betapa berbahayanya wanita Valerius," bisik Eric di telinga Mini, sebelum keluar dari mobil untuk menyambut Nenek Alessandra yang sudah menunggu di kejauhan.
Mini turun dari mobil, menguatkan dirinya. Eric, si CEO Mafia, sekarang sepenuhnya bergantung pada kode emosi dan kecerobohan taktisnya.
BERSAMBUNG.
Jgn lupa like share dan votenya teman".
contohnya:
"Lari! Jangan diam saja!"
"Dan, kenapa istrimu lama sekali?!"
Begitulah yang di ucapkan konsen padaku.
jadi mudah dipahami kan?