Kehidupan Aira yang mulanya penuh bahagia tiba-tiba mulai terbalik sejak papanya menikah lagi.
Lukanya diiris kian dalam dari orang terkasihnya. Malvino Algara, pacarnya itu ternyata palsu.
" Pa ... Aira butuh papa. "
" Angel juga butuh papa. Dia ngga punya papa yang menyayanginya, Aira. "
****
" Vin ... Aku sakit liat kamu sama dia. "
" Ngga usah lebai. Dulu lo udah dapat semuanya. Jangan berpikir kalo semuanya harus berpusat ke lo, Ra. "
" Kenapa kamu berubah? "
" Berubah? Gue ngga berubah. Ini gue yang sesungguhnya. Ekspetasi lo aja yang berlebihan. "
****
" Ra ... Apapun yang terjadi. Gue tetap ada disamping lo. "
" Makasih, Alin. "
****
" Putusin. Jangan paksain hubungan kalian. Malvino itu brengsek. Lupain. Banyak cowok yang tulus suka sama lo. Gue bakal lindungin lo."
" Makasih, Rean. "
****
" Alvin ... Aku cape. Kalau aku pergi dari kamu. Kamu bakal kehilangan ngga? "
" Engga sama sekali. "
" Termasuk kalo aku mati? "
" Hm. Itu lebih bagus. "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sutia Pristika Sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan kedua kali
Kasir cekatan menghitung setumpuk belanjaan yang teronggok di atas meja. Mengambil satu-persatu memasukkannya ke dalam plastik besar.
" Totalnya 355.000 pak." Ujar kasir kepada seorang pria dewasa di depannya.
" Saya bayar pake kartu saja." Jawab si pembeli. Merogoh dompet dari saku celana polo. Mengambil kartu warna hitam yang terselip di lipatan dalam dompet. Ada kartu identitas juga di dalam situ. Kemudian, menyerahkan kartu tersebut untuk membayar belanjaannya.
Pembayaran berhasil. Ia segera mengambil plastik yang sudah terisi dengan segala macam barang belanja. Saat akan membuka pintu market, bahunya terdorong ke belakang agak kuat. Ia meringis sedikit. Melihat cepat ke sekitar. Ternyata dia ditabrak seseorang. Barang belanjanya pun sudah terjatuh ke lantai.
" Maaf, maaf mas. Saya nggak sengaja." Suara itu berasal dari wanita yang tadi menabraknya. Ia tergesa membantu memungut belanjaan yang berserak mengenaskan karena ulahnya.
" Iya, tidak apa-apa Mbak. Tapi, lain kali lebih perhatikan jalannya."
Pria dewasa itu ikut mengutip belanjaannya. Tak sengaja menatap ke punggung wanita itu agak lama. Posisinya si wanita sedang jongkok membelakanginya. Wanita itu terlihat sangat familiar.
" Iya mas. Maaf, saya sedang buru-buru."
Beberapa detik si wanita menoleh ke belakang untuk memberikan barang yang dipungutnya.
Dan 'deg'
Waktu terasa bergerak lebih lama. Abimanyu terdiam dengan mulut yang sedikit terbuka. Ya, pria dewasa yang sedang berbelanja tadi adalah Abimanyu. Ia masih ingat wajah wanita ini. Bahkan masih sangat hafal detailnya. Sudah 18 tahun berlalu. Kini mereka kembali dipertemukan di market ini. Market langganan mendiang Inaya dulu. Kerap kali Abimanyu di ajak belanja kesini. Murah dan nyaman lingkungannya. Kata Inaya pada saat itu.
Wanita itu tak kalah terkejut. Matanya menyipit agak sedikit memiringkan kepala. Benar. Pria ini lah yang dulu menolongnya di jalan. Pria yang begitu saja meninggalkannya tanpa sempat mereka berkenalan. Pria yang membuat rasa penasarannya semakin memuncak.
" Mas? Mas yang waktu itu nolong saya 18 tahun lalu, kan?"
" Ya?? Berarti benar ya ... Kamu orangnya. Saya sedikit ragu. Takut salah orang." Ujar Abimanyu menggaruk kecil keningnya. Seluruh belanjaan sudah dimasukkan kembali ke plastik. Ia kembali memegang handle pintu market dan menariknya.
Sebelah kakinya sudah melangkah keluar. Namun, gerakannya tertahan saat terasa jemari hangat melingkar di lengannya. Abimanyu kembali menoleh.
" Maaf ... Apa mas ada waktu? Kalau ada, boleh kita duduk di kursi itu sebentar?" Ucap si wanita paruh baya itu setelah melepaskan lilitan tangannya dari lengan Abimanyu.
Abimanyu benar-benar keluar dari market. Disusul si wanita di belakangnya. Melihat ke arah kursi yang dimaksud. Berpikir sejenak, kemudian segera beranjak menuju ke pojok kiri yang sudah tersedia 2 kursi saling berhadapan. Biasanya banyak anak-anak SMA atau pasangan muda-mudi yang menempatinya. Sekedar meminum minuman segar, kerja kelompok, atau ngumpul bersama.
Belanjaannya sudah di letakkan di atas meja. Si wanita sudah duduk di kursi yang satunya. Abimanyu berdeham pelan.
" Kenapa anda mengajak saya duduk disini?" Tanya nya memecah keheningan.
" Saya cuma mau ngucapin makasih untuk kebaikan mas dulu. Sekalian saya juga mau bilang maaf untuk kejadian tadi. Saya ga sengaja."
" Anda sudah pernah mengucapkan terimakasih ke saya saat itu. Lagi pula, saya ga masalah. Saya cuma mau membantu, kan?"
" Eeemm ... I-iya. Tapi, tetap aja .. anu.." Jawab wanita itu gugup.
" Sure, it's okay. Ada lagi yang mau dibicarakan?" Tanya Abimanyu seolah mendesak.
Sungguh! Abimanyu tak biasa dengan keadaan ini. Sebelumnya, ia tak pernah berduaan dengan wanita selain Inaya. Tapi, tak ditampik ada rasa nyaman mengalir di hatinya. Mungkin karena disana sudah kosong belasan tahun tanpa ada yang mengisi.
Wanita di depannya ini masih menatap dalam ke arahnya. Tersentak kecil karena pertanyaan barusan yang masuk ke gendang telinga.
" Huh? Enggak, nggak ada lagi." Sahutnya kemudian.
" Kalau begitu. Saya permisi dulu." Ujar Abimanyu.
Ia berdiri dan meraih plastik belanjaan. Mengambil kacamata hitamnya dari saku celana lalu memakainya. Huh! Meskipun usianya makin menua, tapi karisma yang dimilikinya tetap terpancar. Lihatlah kacamata itu. Tersangkut sempurna di hidung mancungnya.
" Sebentar ... Nama mas, siapa?"
Lagi-lagi langkah Abimanyu terhenti untuk kesekian kalinya. Aneh, biasanya dia akan jengkel kalau sudah berhadapan dengan orang seperti ini. Seperti cari perhatian dan sok ingin tau. Tapi, kali ini dia biasa saja. Mungkin merasa kasihan dengan sosok di depannya.
" Saya Abimanyu. Abimanyu Wardana. " Ucap Abimanyu pada akhirnya.
" Saya Saras Marlina. Bisa dipanggil Saras atau Marlina. Senyamannya aja." Sahut Saras gesit. Matanya berbinar-binar.
" Oh, oke."
" Satu lagi. Maaf lancang. Tapi, saya pinjam ponselnya sebentar. Boleh ya?" Tanya Saras lagi.
" Buat apa?"
" Sudah. Pinjam saja. Cuma sebentar kok. " Jawab Saras terdengar seperti memaksa menurut author. Menurut kalian juga kan? Iyalah. Kelihatan jelas itu maksa.
Abimanyu sedikit ragu. Namun, tak urung menyerahkan ponselnya. Dengan senang hati tangan berkuku panjang itu menerima benda pipih tersebut. Saras menggulir layar ponsel yang sudah dibuka kuncinya oleh Abimanyu tadi. Menekan-nekan tepat pada papan ketik.
" Ini nomor telepon saya. Saya berharap kedepannya kita sering berkomunikasi." Ujar Saras sambil mengembalikan ponsel ke pemiliknya.
" Jadi, anda memberikan saya nomor pribadi anda sendiri?"
" Iya? Kenapa memangnya? Tidak masalah kan? Saya cuma mau mengenal mas lebih dalam. Siapa tau setelah ini kita bisa akrab. Kita juga bisa saling bantu dalam pekerjaan. Gini-gini, saya juga bisa dihandalkan loh. "
Ayolah! Saras ini punya kepercayaan diri yang tinggi juga. Nada bicaranya optimis banget.
Abimanyu terdiam heran. Berani sekali wanita ini. Sampai-sampai memberikan nomor pribadi ke orang yang baru dikenal. Kalau dirinya ini orang jahat gimana? Ah, ada-ada saja pikirnya.
" Ya ... Ya . Terserah anda saja. Saya sudah lama banget disini. Kali ini saya harus benar-benar pergi." Tukas Abimanyu.
" Iya ... Silakan! Hati-hati." Ujarnya.
Tak ada sahutan dari Abimanyu. Ia segera menuju mobil. Membuka pintu mobil dengan kunci kontrol. Kedua lampu sein menyala di sisi kiri dan kanan. Pria itu duduk di kursi kemudi. Meletakkan plastik belanja di kursi belakang. Melirik sebentar ke arah Sarah yang masih setia berdiri di tempat mereka tadi. Tak lama mobilnya bergerak meninggalkan kawasan itu.
Sementara, Saras bergerak-gerak di tempat. Memegang kedua pipi beralih ke dadanya. Ia merasakan detak jantung yang memompa cepat. Akhirnya, ia menemukan pria itu. Setelah 18 tahun lamanya ia mencari sana-sini. Pria tampan dan gagah.Pria paling kaya sepuluh besar se-Asia. Ia harus bisa memiliki pria itu. Bagaimanapun caranya. Ucapnya dalam hati. Muncul senyuman yang lama-lama berubah menjadi sebuah seringai culas.
***
Abimanyu sudah sampai rumah 30 menit yang lalu. Kini, ia sedang bersantai di pondok kecil. Tempat yang biasanya ia datangi jika sekadar berbincang ringan dengan Aira, mengerjakan tugas kantor, atau menghirup udara segar langsung dari alam. Di sekeliling bangunan kecil ini ditumbuhi berbagai macam jenis bunga. Juga terdapat kebun miliknya di seberang pondok.
" Tuan. Ini cemilan yang Tuan minta." Kata Siti, keponakan Bi Darmi.
" Iya ... Terimakasih, Siti."
" Sama-sama tuan. Siti permisi dulu. Silakan dinikmati"
Siti meninggalkan sang majikan sendiri. Sementara Abimanyu sudah memasukkan beberapa camilan ke dalam mulut. Di cuaca cerah seperti ini, memang pas jika ditambah dengan makanan enak. Bikin mood bagus.
Mulutnya masih mengunyah. Tapi, jari tangannya bergerak merogoh ponsel. Memeriksa apakah ada info terbaru dari kantor atau semacamnya.
Satu notifikasi muncul di bar atas. Keningnya mengerut. Segera mengkliknya diarahkan langsung ke ruang obrolan WhatsApp. Satu nama terpampang jelas.
Saras
✉️ Hai, mas. Kaget ya? Maaf deh. Jangan dihapus nomor saya, ya. Simpan aja! Siapa tau bakal berguna. Oke mau bilang itu aja. Sampai jumpa lagi. Hehe ...
Abimanyu melipat sepasang bibirnya ke dalam. Wanita itu lagi. Tingkahnya, agresif. Persis seperti Inaya dulu waktu mereka masih zaman pendekatan. Tak hayal, perlahan ia pun tersenyum singkat. Saras, nama itu mulai terus muncul di pikirannya.
****