"Kamu harus ingat ya, Maira, posisi kamu di rumah ini nggak lebih dari seorang pengasuh. Kamu nggak punya hak buat merubah apa pun di rumah ini!"
Sebuah kalimat yang membuat hati seorang Maira hancur berkeping-keping. Ucapan Arka seperti agar Maira tahu posisinya. Ia bukan istri yang diinginkan. Ia hanya istri yang dibutuhkan untuk merawat putrinya yang telah kehilangan ibu sejak lahir.
Tidak ada cinta untuknya di hati Arka untuk Maira. Semua hubungan ini hanya transaksional. Ia menikah karena ia butuh uang, dan Arka memberikan itu.
Akankah selamanya pernikahan transaksional ini bejalan sedingin ini, ataukah akan ada cinta seiring waktu berjalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon annin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 7 Laporan Penjualan
Tiga minggu sudah ibu Maira di rawat di rumah sakit. Sekarang ia diperbolehkan pulang dan diharuskan kontrol rutin untuk melihat kondisi kesehatannya secara berkala. Bu Rosmala meyakinkan Maira soal biaya pengobatan ibunya ke depan akan ia tanggung.
Maira merasa bersyukur akan hal itu, tapi di sisi lain ia juga merasa beban. Hutang budi akan semua kebaikan Bu Rosmala tak akan mungkin bisa ia bayar.
"Ibumu sudah pulang, Mai?" tanya Bu Rosmala.
"Sudah, Bu."
"Jadi kapan kami boleh main ke rumahmu untuk membicarakan soal pernikahanmu dengan Arka?"
Maira tersentak kaget akan pertanyaan bosnya. Ia bahkan tak berpikir sejauh itu. Membayangkan saja ia tak berani. Ia memang setuju menikah dengan Arka, tapi sampai detik ini, pria itu masih saja tak acuh padanya. Itu sebabnya Maira tak berharap banyak. Kalaupun Arka membatalkan pernikahan yang sudah direncanakan oleh ibunya, Maira juga juga sudah siap.
"I-Itu, nanti saya bilang dulu pada ibu saya ya, Bu. Supaya tidak kaget."
"Itu ide bagus, mengingat riwayat penyakit jantung ibumu, kamu memang harus bilang dulu padanya soal kedatangan kami nanti." Rosmala tak keberatan sama sekali.
"Apa ada yang bisa saya bantu lagi, Bu?" Maira rasa sudah cukup. Ia tak mau terlalu banyak membahas masalah pribadi di kantor ini.
"Nggak ada, Mai, kamu boleh keluar."
Maira mengangguk sopan dan berpamitan.
"Oh ya, Mai, tolong panggil Desi ke sini, ya."
"Baik, Bu."
Sesuai permintaan Bu Rosmala, usai keluar dari ruangan bos itu ia ke ruangan Desi—Kepala admin penjualan.
"Permisi, Bu,
"Iya, Mai." jawab Desi dari bangkunya.
"Bu Desi, dipanggil Ibu Rosmala ke ruangannya."
Desi mengernyit. "Ada apa, Mai?".
"Nggak tahu, Bu, saya hanya disuruh menyampaikan itu."
"Ok." Desi gegas ke ruangan Rosmala. Sedang Maira kembali ke kubikelnya.
"Selamat siang, Bu," sapa Desi setelah masuk.
"Duduk, Des," jawab Rosmala ramah.
"Terima kasih, Bu."
Rosmala menatap Desi dengan serius. Membuat Desi canggung sekaligus bingung. Ada apa ini sebenarnya?
"Gimana kabar kamu, Des?" Rosmala mulai berbasa-basi.
"Saya baik, Bu." Desi makin bingung. Sejak kapan bosnya mulai peduli tentang hal-hal semacam ini.
"Baguslah kalau kamu sehat. Saya cuma mau tanya, kamu udah berapa lama kerja di sini?"
"Hah?" Desi semakin dibuat tak percaya. Ada apa ini sebenarnya. Kenapa tanya soal lamanya ia bekerja.
"Jawab aja."
"Ehm ... sudah hampir lima belas tahun, Bu," jawab Desi akhirnya.
"Terus, gaji kamu berapa?"
Oh My God, apa-apan lagi ini. Masalah gaji?
Rosmala memberikan instruksi agar Desi menjawab saja.
"Itu Bu, lima belas juta belum termasuk tunjangan."
Masih dengan gaya ramah dan santai, Rosmala kembali melanjutkan pertanyaannya. "Cukup nggak gaji itu buat memenuhi kebutuhan hidup kamu?"
Desi terdiam. Jujur ia belum tahu ke mana arah pembicaraan bosnya ini.
"Kebutuhan hidup lo ya, bukan gaya hidup!" Rosmala menekankan.
"Cukup kok, Bu." Desi bahkan tersenyum datar di akhir kalimat. Agar tidak begitu kentara kalau saat ini ia gugup karena pertanyaan random bosnya ini.
Rosmala manggut-manggut. "Kira-kira gaji yang saya berikan selama ini sudah pantas atau belum untuk seseorang yang menjabat sebagai Kepala admin penjualan seperti kamu?"
Desi kembali tertegun dengan pertanyaan-pertanyaan yang menurutnya begitu aneh saja. Bahkan setelah sekian lama ia bekerja di sini, tak sekalipun bosnya ini menanyakan hal tersebut.
"Jawab saja desi, nggak usah malu."
"Sudah, Bu. Gaji yang saya terima memang sudah sewajarnya." Bahkan mungkin lebih banyak dari penghasilan di tempat lain. Selain gaji dan tunjangan, Rosmala sering memberinya bonus jika penjualan bisa over target.
"Benar?"
"Benar, Bu."
Rosmala mengambil map yang sudah ia siapkan sebelumnya. "Lalu ini apa, Desi?"
Map itu terlempar pelan ke depan Desi.
Gelagapan, Desi membuka map tersebut. Matanya seketika membola, tak percaya jika yang ia baca sekarang adalah laporan penjualan selama satu semester terakhir. Laporan penjualan yang sebenarnya dan Laporan yang sudah ia rekayasa.
"Tolong jelaskan pada saya, Desi, apa maksud dari semua laporan ini?"
Desi panik. Ia baru sadar, semua pertanyaan-pertanyaan Rosmala sebelumnya tujuannya adalah ini. "Ibu, saya ...."
"Kenapa kamu lakukan ini pada saya? Padahal saya sudah memberikan kepercayaan pada kamu. Kamu yang sejak dulu menemani saya berjuang, sudah saya anggap seperti anak sendiri, lalu kenapa sekarang kamu membohongi saya? Apa uang yang selama ini saya berikan ke kamu kurang sampai kamu harus mencuri?" Terlihat jelas raut kecewa di wajah Rosmala. Apa yang ia katakan memang tulus dari hati.
"Ibu, maafkan saya, Bu. Saya bisa jelaskan semuanya." Desi yang panik mulai menangis. Ia merasa begitu bersalah, terlebih melihat raut kecewa di wajah Rosmala.
"Kamu memang harus menjelaskannya Desi, tapi bukan pada saya. Jelaskan semua di depan polisi."
Desi makin takut. "Tidak Bu, saya mohon jangan bawa saya ke kantor polisi. Saya terpaksa melakukan semua ini. Kalau perlu saya akan kembalikan semua uang yang sudah saya ambil.
"Ini bukan hanya soal nominal, Des. Ini soal kepercayaan. Tidak peduli seribu atau seratus juta, tapi kamu sudah membuat melukai kepercayaan saya sama kamu!"
Desi berdiri. Ia bahkan berlutut di kaki Rosmala. "Bu, saya mohon maafkan saya. Saya janji akan berubah, tolong jangan laporkan saya ke polisi."
"Bangun, Desi! Saya nggak suka kamu kayak ini!" Melihat sikap Desi, Rosmala justru emosi.
"Saya nggak akan bangun sebelum Ibu memaafkan saya." Biarlah Desi dibilang tak tahu malu, yang pasti ia tak mau dipenjara.
"Saya bilang bangun!" Emosi Rosmala meluap. Ia sampai harus menarik napas dalam, untuk menurunkan emosinya.
"Karena mengingat kerja keras kamu bersama RoseSkin dalam membangun bisnis ini, saya tidak akan melaporkan kamu ke polisi. Tapi saya minta kamu keluar dari perusahaan ini sekarang juga, dan kembalikan semua uang yang sudah kamu curi!"
"Bu ...." Berat bagi Desi mengiyakan permintaan Rosmala.
"Kamu bisa menolak apa yang saya katakan jika kamu lebih memilih bertemu saya di pengadilan."
"Ti-tidak, Bu, saya akan ikuti apa yang Ibu mau."
"Sekarang keluar dan kemasi semua barang-barang kamu!"
"Mohon maafkan saya, Bu. Saya ...."
"Pergi sekarang Desi sebelum saya berubah pikiran!"
Desi masih ingin minta maaf, dan berharap Rosmala berubah pikiran, tapi gertakan Rosmala membuat nyalinya ciut. Mau tak mau ia gegas berdiri dan angkat kaki dari ruangan Rosmala.
Di luar pintu ruangan Rosmala, ada beberapa karyawan yang mencuri dengar langsung berlari ke meja kerja masing-masing.
"Balik-balik-balik!" seru Meta yang ikut menguping karena mendengar teriakan Rosmala sebelumnya.
Desi keluar ruangan dengan muka ditekuk. Ia tahu tadi anak buahnya ikut menguping, tapi ia pura-pura saja tidak tahu dan langung berlalu ke ruangannya.
"Mai, lo lihat tadi, kan? Bu Desi kayak sedih banget gitu. Dia pasti dipecat, Mai," cerocos Meta.
"Kayaknya ada kasus besar yang kita nggak tahu, Mai," oceh Meta lagi.
Ocehan Meta mampu menarik perhatian Maira. Ia pun mendongak menatap temannya itu. Tanpa bicara apa pun, Maira pergi ke ruangan Desi.
"Bu Desi." Maira masuk begitu saja karena melihat pintu ruangan Desi sedikit terbuka. Ia cukup kaget melihat Desi berkemas.
Memang ia yang membuat laporan penjualan yang diminta oleh Bu Rosmala, tapi apa hubungannya dengan apa yang Desi lakukan sekarang.
"Kenapa Bu Desi berkemas?"
Desi mengusap air matanya. Ia menatap Maira. "Aku nggak akan kerja di RoseSkin lagi, Mai. Aku berhenti."
Maira makin kaget. "Kenapa, Bu?"
"Kayaknya ada yang nggak suka sama aku, Mai," jawab Desi mengingat laporan yang tadi ia lihat. Pasti ada yang melaporkan itu pada Rosmala.
"Maksud, Ibu?"
"Nanti kamu juga akan tahu, Mai. Dan aku nggak akan biarin orang itu hidup tenang!"
Maira masih bingung, tapi otaknya mulai berusaha merangkai apa-apa saja yang ia tahu. Kalau benar ini karena laporan penjualan yang ia buat atas permintaan Rosmala, bisa jadi yang di maksud Desi adalah dirinya.