Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.
Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.
Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.
Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7 - Keluarga
Vee
Setelah kencan yang aneh kemarin, aku akhirnya berani jujur ke Adrian kalau kita lebih baik jadi teman saja. Aku tidak suka memberikan harapan palsu, dan Adrian adalah laki-laki yang baik. Jadi itu adalah keputusan yang tepat. Lagipula, pembicaraan singkat dengan Tyler kemarin lebih melekat di pikiranku dibanding 1001 fakta yang disampaikan Adrian.
Dia kelihatannya baik. Kata Tyler kemarin. Dengan nada dingin, sedikit sarkas, seperti mengejekku. Tapi aku menangkap nada lain di baliknya. Sesuatu yang samar—cemburu, mungkin?
“Vee, sudahlah. Kita hanya perlu memberikan 1-2 menit potongan dari total 10 menit. Kita cukup mengambil gambar seperlunya saja” Derek membuyarkan lamunanku. Hari ini syuting perdana untuk tugas film pendek, dan selalu saja Derek membuat ulah
“1-2 menit video itu harus bisa menggambarkan apa yang akan terjadi secara keselurahan film. Aku bilang ulangi adegan tadi, dengan tone yang lebih rapuh, Derek. Dan Penelope, coba pindah angle dari sebelah sini supaya ekspresi Derek jadi center of attention” Aku mengarahkan Derek dan Penelope. Liam berdiri di samping diluar frame memberikan jempol kepadaku “And…action”
Setelah beberapa jam yang terasa seperti seharian, syuting untuk kali ini selesai. Setelah ini, aku akan membantu Penelope dalam proses editing. Terdengar melelahkan, tapi sungguh sangat menyenangkan.
“Gimana kalau aku edit terlebih dahulu sesuai briefing kemarin, lalu kamu review apa saja yang perlu ditambahkan?” Ujar Penelope
“Baiklah, kamu ada perlu habis ini ya?”
“Aku harus jemput adikku. Hari ini dia ku titipkan di tetangga karena kedua orang tuaku sedang pergi keluar kota” Ujarnya, buru-buru merapihkan peralatan “*See you*, Vee”
Keluarga. Satu-satunya keluarga yang kuanggap hanyalah Edward Sinclair, adikku. Walaupun sebenarnya Richard membiayai kuliahku, tapi trauma yang ia tinggalkan selama aku hidup tidak akan pernah ku lupakan.
Beberapa memori menyeruak di benakku saat merapihkan peralatan dan beranjak pergi.
Ibu, bangun bu
Dia tidak akan pernah bangun lagi, Kiddo
Tenanglah, aku sedang mencari ibu baru untukmu
Aku tidak punya waktu, kau lah yang seharusnya mengurus adikmu
Aku benci Richard Sinclair, ayahku. Aku teringat memori masa kecil sebelum Eddie lahir, betapa bahagianya keluarga kami, makan malam bersama. Ibu menghidangkan chicken curry, yang dimakan dengan lahap oleh ayah, kenangan kami menonton film bersama di ruang tamu. Namun semuanya berubah saat Eddie lahir, Ibu terasa jauh, asing, seperti bukan dirinya lagi. Dan ayah? Sibuk dengan pekerjaannya. Eddie masih berusia beberapa bulan saat aku menemukan Ibu dengan mulut berbusa setelah menenggak pil dengan jumlah banyak. Aku langsung menelepon ayah, dan ibu dilarikan ke rumah sakit. Ibu tidak langsung meninggal, ia koma selama 5 tahun di rumah sakit, sebelum tubuhnya menyerah.
Dan tau apa bagian yang paling menyedihkan? Ayah sibuk berpacaran dengan banyak wanita selama ibu koma. Aku yang masih berusia 7 tahun waktu itu harus mengurus Eddie. Anak kecil ini harus menjadi dewasa lebih cepat karena ayahnya menelantarkannya. Satu-satunya pelarianku, tempat ternyamanku adalah film. Aku menonton film yang sama berulang kali, The Last Duchess. Setiap kali nonton, aku seperti dibawa kembali ke masa dimana ibu dan ayah masih saling mencintai.
Sebuah sentuhan lembut di bahu membuatku tersentak.
“Kamu baik-baik saja?”
Liam berdiri di sampingku, ekspresinya khawatir.
“Oh… ya. Aku hanya memikirkan bagian editing nanti,” jawabku cepat.
Ia menatapku lama, seolah tahu itu bukan jawaban sebenarnya. Tapi ia tidak menekan lebih jauh. “Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, oke? Ayo, kuantar ke asrama.”
Aku mengangguk, tersenyum kecil.
Kami berjalan bersama, bertukar gurau tentang betapa menyebalkannya Derek Vaughn selama 4 tahun Liam sekelas bersamanya. Liam bukan tipe yang banyak bicara, tapi malam ini, Ia berusaha untuk menghiburku, dan itu sudah cukup.
\~\~\~
Malam itu aku memutuskan untuk menelepon Eddie, adikku. Sudah beberapa hari aku menunda, dan rasa bersalah mulai menghantuiku.
“Hey, Ed. Bagaimana sekolahmu hari ini?” tanyaku, mencoba terdengar ceria.
Eddie sekarang berusia 15 tahun. Baru masuk SMA. Di depan orang lain, ia selalu tampak dewasa—lebih dewasa dari usianya. Tapi denganku, dia tidak lain hanya anak 15 tahun yang manja.
“Aku masuk klub debat, Vee. Kami lagi persiapan lomba debat nasional beberapa bulan lagi.”
“Wow, hebat dong,” kataku sambil tersenyum. “Tapi ingat, jangan arogan saat debat. Gunakan fakta, bukan emosi.”
Dia menghela napas keras. “Ya, ya. Aku tahu. Kan aku anak debat di antara kita berdua. Kamu cuma anak film.”
Aku terkekeh. “Hei, aku bakal jadi sutradara terkenal, tahu. Kamu harus bangga punya kakak seperti aku.”
“Aku cuma berharap kakakku nggak harus terbang sejauh ini buat ngejar mimpinya…” suaranya menurun, lalu terdengar isakan kecil di ujung sana.
Dadaku menegang. “Ed... ada apa? Ada yang terjadi?”
“Tidak ada apa-apa,” suaranya bergetar. “Aku cuma kangen. Rumah rasanya sepi banget tanpa kamu, Vee.”
Aku terdiam beberapa detik. Lalu tersenyum lembut, meski mataku terasa panas. “Aww, aku juga kangen kamu, Eddie. Nanti kalau kamu sempat ke Ashenwood, aku traktir es krim sebanyak yang kamu mau, janji.”
Terdengar tawa kecil di seberang. “Oke. Tapi kamu harus tepati janji itu.”
“Selalu,” kataku.
Percakapan kami bergeser ke hal-hal ringan. Ia menceritakan tentang pelatih klub debatnya yang perfeksionis, teman barunya yang selalu membawa kamus ke mana pun, dan aku bercerita sedikit tentang proyek film pendekku. Kami berbicara hampir 45 menit sampai akhirnya kudengar ia menguap.
“Ya sudah, tidur sana. Besok kamu sekolah lagi.”
“Janji kamu sering telepon aku, ya?”
“Janji.”
Sambungan terputus. Aku menatap layar ponsel lama sekali, membiarkan rasa hangat dan sepi bercampur jadi satu. Lima belas tahun Eddie hidup, dan hampir semuanya bersamaku. Sekarang ia harus belajar hidup tanpaku—dan aku tahu itu tidak mudah baginya.
Beberapa menit kemudian, notifikasi email muncul. Dari Penelope. Draft pertama editan.
Aku langsung menyalakan laptop, membuka file, dan mulai bekerja. Memberi catatan kecil di setiap bagian, adegan mana yang perlu dipotong, mana yang perlu ditahan beberapa detik lebih lama agar emosi terasa lebih kuat.
Kepalaku berat, mataku perih karena lelah, tapi aku tidak berhenti. Setiap frame, setiap potongan suara, setiap transisi terasa hidup.
Aku mendengar Chloe membuka pintu kamarku sembari mengucek matanya “Hey Zombie, jam berapa sekarang? Tidurlah!” lalu menutup pintu
“Sebentar lagi, Chlo..” seruku dari kamar.
Jam menunjukkan lewat tengah malam. Tapi anehnya, aku tersenyum. Di antara semua hal yang kacau di hidupku, aku tahu satu hal pasti: aku mencintai apa yang kulakukan.
Dan mungkin, untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku merasa berada di tempat yang seharusnya.
\~\~\~