Gendis baru saja melahirkan, tetapi bayinya tak kunjung diberikan usai lelahnya mempertaruhkan nyawa. Jangankan melihat wajahnya, bahkan dia tidak tahu jenis kelamin bayi yang sudah dilahirkan. Tim medis justru mengatakan bahwa bayinya tidak selamat.
Di tengah rasa frustrasinya, Gendis kembali bertemu dengan Hiro. Seorang kolega bisnis di masa lalu. Dia meminta bantuan Gendis untuk menjadi ibu susu putrinya.
Awalnya Gendis menolak, tetapi naluri seorang ibu mendorongnya untuk menyusui Reina, putri Hiro. Berawal dari menyusui, mulai timbul rasa nyaman dan bergantung pada kehadiran Hiro. Akankah rasa cinta itu terus berkembang, ataukah harus berganti kecewa karena rahasia Hiro yang terungkap seiring berjalannya waktu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Perubahan
“Ya.” Hiro membuka map, mengeluarkan beberapa lembar kertas.
“Ini saran medis. Aku sudah minta detailnya dari dokter. Kalau kamu setuju, aku akan urus semua yang diperlukan termasuk kebutuhan makananmu sehari-hari. Aku tidak akan membiarkanmu kesulitan.”
Tatapan Gendis jatuh ke lembaran kertas itu. Kata-kata medis berjejer rapi, sebagian dia pahami, sebagian lain terasa asing. Akan tetapi, ada satu hal jelas, hidupnya akan berubah.
Hiro menarik napas, lalu mengeluarkan satu dokumen lain dari tas kerjanya. Kali ini, bukan catatan dokter, melainkan selembar kontrak dengan logo firma hukum di sudut kanan atas. Kertas putih itu seakan menyala di bawah lampu ruang rawat.
“Aku menyiapkan ini.” Hiro mendorong kontrak itu ke arah Gendis. “Hitam di atas putih. Aku tidak mau ada kebingungan, apalagi salah paham, di kemudian hari.”
Jemari Gendis gemetar ketika menyentuh tepi kertas. Mata cokelatnya bergetar, menelusuri baris demi baris. Di sana tertulis, Jika Gendis bersedia menyusui Reina sampai usia satu tahun penuh, harus sanggup diet bebas susu sapi sesuai saran dokter.
Gendis berhenti membaca ketika menemukan pasal yang menyebutkan kompensasi, jadwal pemeriksaan rutin, hingga aturan larangan tertentu, bahkan dia wajib hidup satu atap dengan Hiro untuk memastikan makanan yang masuk ke tubuhnya. Kata-kata itu terasa seperti jerat halus yang perlahan melingkari pergelangan tangannya.
“Hiro .…” Suara Gendis pecah. Ia menatap lelaki itu, mencari celah kelembutan. “Apa aku benar-benar harus mematuhi ini semua?”
Hiro menunduk sebentar, lalu menghela napas panjang. “Aku tidak bisa ambil risiko, Ndis. Ini tentang hidup Reina. Kalau hanya janji lisan, siapa yang bisa menjamin? Aku butuh kepastian.”
Gendis menelan ludah. Pandangannya kembali jatuh pada Reina, yang masih tidur pulas tanpa tahu dua orang dewasa sedang memperdebatkan masa depannya. Ada desir hangat di dadanya, tetapi juga perih yang menekan.
Gendis ingin menyusui Reina. Dia ingin menjadi bagian dari hidup bayi itu. Namun, kontrak itu terasa seperti dinding tinggi yang memisahkannya dari kebebasan memilih.
Suasana hening menekan ruangan. Hanya suara mesin monitor dan napas bayi yang terdengar. Hiro memajukan tubuh, kedua sikunya bertumpu di lutut, mata menatap lurus ke arah Gendis.
“Aku sangat berharap kamu bersedia. Demi Reina, Ndis. Kalian saling membutuhkan. Aku akan membantumu juga agar semia terasa ringan.”
Kalimat itu menggantung di udara, berat seperti beban batu. Jemari Gendis meremas kertas di tangannya. Matanya berkaca-kaca, tetapi tidak ada air yang jatuh.
Wajah Gendis menegang, menahan badai dalam hati. Dia mengalihkan pandangan dari kontrak itu ke Hiro. Sekilas, ada cahaya luka di balik tatapannya.
“Aku butuh waktu,” ucap Gendis pelan, nyaris berbisik.
Hiro terdiam. Tatapan matanya melembut sejenak, tetapi hanya sebentar. Dia mengangguk pelan, lalu berdiri.
“Ambil waktu yang kamu butuhkan. Tapi jangan terlalu lama. Reina tidak bisa menunggu.” Langkah Hiro bergema di lantai, meninggalkan ruangan dengan pintu yang menutup perlahan.
Gendis tetap duduk di sana, memandangi kontrak di tangannya. Lemah, dingin, dan kaku. Bayangan masa lalu berkelebat di kepalanya. Pilihan-pilihan sulit, luka yang belum sembuh, dan kini kontrak baru yang kembali membatasi langkahnya.
Perempuan tersebut menatap Reina. Bibirnya bergerak, seolah ingin berkata sesuatu, tetapi tidak ada suara yang keluar. Hanya keheningan yang menggantung, meninggalkan tanda tanya besar dan kebimbangan dalam kepalanya.
"Baik, aku akan segera memutuskan." Gendis melirik Reina yang kini terlelap.
Reina menggeliat pelan, suaranya lirih seperti desir angin yang merambat di sela-sela tirai rumah sakit. Gendis menunduk, menepuk pelan bokong mungil itu. Jemarinya sempat berhenti di atas selimut, lalu perlahan dia menarik napas panjang. Ada sesuatu yang menahan langkah kakinya untuk segera pulang.
Kontrak di dalam tasnya terasa lebih berat dari yang seharusnya. Sesekali, dia meraba ujung map itu, lalu buru-buru menarik tangannya seolah menyentuh bara.
Malam-malam berikutnya, rumah kecil Gendis dipenuhi sunyi yang ganjil. Sendok di tangannya lebih sering berhenti di udara, menatap piring berisi lauk yang mendadak tak menggugah. Dia duduk di meja makan, menatap nasi yang perlahan mengeras karena dingin.
Dalam televisi yang menampilkan acara khusus terdengar suara anak-anak bercampur dengan tangis bayi yang samar. Gendis menutup mata, dan seolah-olah tangisan itu berubah menjadi suara Reina. Dia buru-buru meneguk air putih, berharap bisa menghalau sesak di dadanya.
Di atas meja, kontrak yang sudah dia baca berkali-kali terbuka lagi. Tulisan tinta hitam terasa seperti mata-mata yang mengawasinya, menuntut jawaban.
Hari-hari berikutnya, tubuh Gendis seperti menolak ketenangan. Dia sering terjaga tengah malam, menatap langit-langit kamar yang retaknya membentuk pola aneh. Wajah Reina kerap hadir di sana, menatapnya dengan mata bundar yang belum tahu arti luka.
Seminggu penuh Gendis bertarung dengan dirinya sendiri. Hingga akhirnya, pagi itu, dia duduk di kursi kayu dekat jendela. Secangkir teh yang mulai dingin terabaikan. Jemarinya meraih ponsel di meja, menatap nama Hiro di layar.
Napas Gendis memburu. Dia menekan tombol panggil. Suara di seberang sana terdengar berat dan terkendali.
“Apa sudah ada jawaban, Ndis?”
Hening sebentar. Gendis menunduk, menekan-nekan meja dengan kukunya. Lalu, dengan suara nyaris tak terdengar, dia berkata,
“Aku setuju.”
***
Hari-hari setelah itu berubah drastis. Gendis tidak lagi berangkat kerja. Dia lebih sering keluar masuk dan mengunjungi rumah sakit untuk menjalani serangkaian tes kesehatan.
Jarum suntik menembus kulit lengan Gendis, cairan bening mengalir ke tabung kecil. Bau antiseptik menusuk hidungnya. Dia menggenggam erat kain baju untuk menahan nyeri.
“Tekanan darah normal. Hasil laboratorium juga baik,” ujar perawat sambil menuliskan catatan.
Di ruang tunggu, Gendis merapatkan jaket tipis ke tubuhnya. Hiro duduk di samping, tangan memegang map hasil pemeriksaan. Dia tak banyak bicara, hanya sesekali melirik ke arah Gendis, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.
Semua hasilnya baik. Kamu bisa tanda tangan kontraknya sekarang. Hiro mengetuk map yang diletakkan Gendis di sampingnya.
Jemari perempuan tersebut menari di atas sana dengan pulpen dalam genggaman. Satu coretan yang terlihat sepele, menjadi begitu berharga karena ikut menggores materai yang menempel di sana. Diet pun dimulai sejak hari itu.
Hari pertama, Gendis membuka lemari es, menatap botol susu segar yang masih setengah penuh. Tangannya sempat ragu, lalu akhirnya menuang isinya ke dalam wastafel. Cairan putih mengalir deras, membentur bak dengan suara yang terdengar seperti irama keputusasaan.
Hari kedua, Gendis menolak segelas kopi susu dari Ayaka yang biasanya jadi teman pagi. Bibirnya tersenyum kaku saat Ayaka bertanya kenapa. Dia hanya mengangkat bahu, tak sanggup menjelaskan.
"Ndis, kamu ini kenapa? Kamu bersikap aneh akhir-akhir ini!" protes Ayaka.
Semua bersumber dari otak jahat Reiki