Malam itu, mereka mengubur seorang dukun. Yang bangkit adalah mimpi buruk mereka.
Kematian brutal Ki Anom melahirkan sumpah terkutuk. Kesalahan fatal saat pemakamannya melepaskan arwahnya dalam wujud Pocong pendendam. Desa Sukawaringin nyaris hancur oleh amukannya.
Lima tahun berlalu. Kedamaian yang mereka rebut dengan susah payah kembali terkoyak. Sebuah korporasi ingin mengosongkan desa mereka, dan mereka menyewa seorang ahli teror gaib, Ki Jagaraga, untuk melakukannya.
Ki Jagaraga tidak mengulangi sejarah. Ia menyempurnakannya.
Ia membangkitkan Ki Anom sebagai panglima pasukan orang mati, dan bersamanya... tiga Pocong Wedon. Arwah tiga wanita yang mati tragis, masing-masing membawa metode teror unik: satu dengan isak tangis di tepi sungai, satu dengan obsesi gila di sumur tua, dan satu lagi dengan nyanyian merdu yang menghipnotis.
Desa Sukawaringin kini dikepung. Warganya diteror satu per satu. Ini bukan lagi hantu yang tersesat, ini adalah invasi arwah yang terencana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Habibi Nurpalah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pagi yang Baru di Sukawaringin - penutup season 1
Sebulan Kemudian...
Pagi di Desa Sukawaringin kini telah kembali ke aroma aslinya: kopi tubruk, singkong goreng, dan tawa hangat warganya. Spanduk-spanduk Pilkades yang sudah agak kusam masih terpasang di beberapa sudut, menjadi pengingat bisu akan ketegangan yang pernah mencengkeram desa itu.
Di warung Teh Marni, suasananya riuh rendah. Pilkades telah usai, berjalan dengan lancar dan damai. Mas Bowo, sang guru muda yang idealis, terpilih menjadi kepala desa yang baru. Kemenangannya seolah menjadi simbol fajar baru bagi Sukawaringin, sebuah langkah menuju masa depan yang lebih cerah, meninggalkan masa lalu yang kelam.
Di salah satu bangku panjang, duduk empat sosok yang kini menjadi legenda hidup di desa itu. Ustadz Badrul menyeruput tehnya dengan tenang, Pak RT sedang asyik membaca koran bekas, dan Juna tertawa mendengar sebuah lelucon dari petani di meja sebelah. Hubungannya dengan warga kini jauh lebih akrab. Ia tidak lagi menjadi "orang kota" yang sinis, melainkan bagian dari komunitas. Pengalaman mengerikan itu telah meruntuhkan tembok kesombongannya dan menggantinya dengan rasa hormat pada hal-hal yang tak bisa dijelaskan oleh logika.
Dan tentu saja, ada Mang Udin, yang sedang berada di puncak kejayaannya sebagai pencerita.
Mang Udin:
(Dengan gaya penuh drama, pada sekelompok pemuda yang mendengarkan dengan takjub)
"Jadi, waktu si Juna sama Pak RT masih gemetaran, saya lihat mata si pocong itu melotot ke saya. Dia tahu, saya ini ancaman utamanya! Saya tatap balik matanya, lalu saya keluarkan jurus pamungkas..."
Ia berhenti sejenak untuk efek dramatis.
Mang Udin:
"...Lemparan Garam Suci Penyegel Arwah!"
Juna dan Pak RT yang mendengar itu hanya bisa saling lirik sambil menggelengkan kepala dan tersenyum tipis. Mereka membiarkan sang hansip menikmati panggungnya.
Mang Udin:
"Begitu garam itu kena, BYARRR! Arwahnya langsung jerit-jerit kepanasan! Dia langsung minta ampun sama saya. Dia bilang, 'Ampun, Mang Udin! Jurus apa itu?!' Saya jawab dengan gagah berani, 'Ini jurus dari Desa Sukawaringin! Jangan macam-macam kau!'"
Para pemuda bertepuk tangan. Teh Marni tersenyum geli. Di tengah bualan heroik Mang Udin, sekelompok anak kecil berlarian di jalan depan warung, sedang asyik bermain kejar-kejaran. Desa itu telah hidup kembali.
Salah satu anak yang paling jahil, yang badannya dibungkus sarung putih seadanya hingga menyerupai pocong-pocongan, bersembunyi di balik tiang warung. Melihat Mang Udin sedang lengah di puncak ceritanya, ia pun melompat keluar.
"DOR!"
Mang Udin, sang pahlawan penakluk arwah penasaran, sang master "Lemparan Garam Suci", menjerit dengan suara melengking yang lebih kencang dari jeritan Pak Misto sebulan yang lalu.
"AAAAA... POCONG!!!"
Cangkir kopi di tangannya terbang ke udara. Matanya membelalak putih, dan tubuhnya ambruk ke belakang, jatuh pingsan di lantai warung dengan gaya yang sangat tidak heroik.
Hening sesaat.
Lalu, ledakan tawa membahana. Juna, Pak RT, Ustadz Badrul, Teh Marni, dan semua pengunjung warung tertawa terbahak-bahak hingga memegangi perut mereka. Anak kecil yang menjadi biang keladi itu, melihat korbannya tergeletak tak berdaya, ikut tertawa cekikikan lalu lari tunggang langgang.
Ustadz Badrul menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Ada-ada saja," gumamnya.
Juna, di sela tawanya, menatap ke sekeliling. Ia melihat wajah-wajah warga yang ceria, mendengar canda tawa mereka, dan merasakan kehangatan yang tulus. Mimpi buruk itu telah usai. Luka-lukanya mungkin akan selalu membekas, menjadi cerita pengantar tidur yang mengerikan untuk anak cucu mereka.
Tapi pagi itu, di bawah langit Sukawaringin yang cerah, semua terasa baik-baik saja. Kehidupan terus berjalan, lebih kuat, lebih erat, dan mungkin... sedikit lebih bijaksana.
- TAMAT -
Penutup
Kisah teror di Desa Sukawaringin memang telah berakhir. Tawa telah kembali, ketakutan telah sirna, dan kehidupan berjalan seperti sedia kala. Cerita ini akan menjadi pengingat, sebuah legenda lokal yang akan dituturkan dari generasi ke generasi.
Namun, saat Anda selesai membaca baris terakhir ini, coba pejamkan mata sejenak dan dengarkan baik-baik.
Dengarkan kesunyian di dalam kamar Anda.
Apakah... kesunyian itu benar-benar kosong?
Bukankah sudut tergelap di ruangan ini terasa sedikit lebih pekat dari biasanya? Dan suara aneh yang tadi Anda dengar, yang Anda kira hanya tikus atau tetangga sebelah... yakin itu sumbernya?
Arwah Ki Anom mungkin telah tenang.
...tapi siapa yang tahu, arwah mana lagi yang terbangun karena ceritanya dikisahkan kembali?
Selamat malam. Semoga Anda tidak tidur sendirian.
Ingat, malam yang tenang bukan berarti tak ada gangguan, pantau terus pojok ruangan, balik pintu yang gelap dan... Jendela luar
jangan lupa paket lengkapnya juga ya