Davin menemukan catatan rahasia ayahnya, Dr. Adrian Hermawan, di attic yang merupakan "museum pribadi' Adrian. Dia bukan tak sengaja menemukan buku itu. Namun dia "dituntun" untuk menguak rahasia Umbral.
Pada halaman terakhir, di bagian bawah, ada semacam catatan kaki Adrian. Peringatan keras.
“Aku telah menemukan faktanya. Umbral memang eksis. Tapi dia tetap harus terkurung di dimensinya. Tak boleh diusik oleh siapa pun. Atau kiamat datang lebih awal di muka bumi ini.”
Davin merinding.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuka portal Umbral. Ketika entitas nonmanusia itu keluar dari portalnya, bencana pun tak terhindarkan. Umbral menciptakan halusinasi (distorsi persepsi akut) terhadap para korbannya.
Mampukah Adrian dan Davin mengembalikan Umbral ke dimensinya—atau bahkan menghancurkan entitas tersebut?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Setyawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 — Ruang Loker
DAVIN dan Tari melangkah ke bangunan dalam yang dulunya digunakan sebagai ruang ganti. Pintu kayunya setengah menganga. Engselnya berdecit pelan saat tersentuh seperti mengeluh karena dibangunkan dari tidur panjang. Tidak ada penerangan sama sekali di situ. Cahaya matahari sore yang temaram hanya menyusup lewat celah ventilasi—membuat sudut-sudut ruangan diselimuti kegelapan.
Koridor sempit dipenuhi deretan loker logam berkarat. Beberapa pintunya terbuka menampakkan tumpukan seragam renang berjamur dan handuk sobek. Bau apek menusuk hidung. Cermin panjang di dinding retak di beberapa bagian. Potongan retakan itu menciptakan pantulan terdistorsi dari wajah siapa pun yang lewat. Di lantai, ubin kusam licin oleh lapisan lumut tipis—membuat langkah mereka pelan dan waspada.
Davin mengangkat kameranya. Dia memeriksa rak tinggi di sudut ruangan. Lapisan debu yang tebal menandakan rak itu tak pernah tersentuh selama bertahun-tahun. Dia mencari benda apa pun yang bisa dipakai sebagai b-roll dramatis untuk vlog Rayan—sesuatu yang memberi kesan “kisah tak terselesaikan.” Dia sudah terlatih untuk mencari potongan gambar tambahan yang bisa membuat video Rayan terasa lebih creepy dan sinematik.
Sementara itu, Tari berdiri di dekat pintu loker yang sedikit terbuka. Hembusan hawa dingin samar mengusap tengkuknya—membuat bulu kuduknya berdiri tanpa alasan jelas. Dia sudah sering berada di tempat-tempat aneh. Tapi energi ganjil di ruang loker itu terasa sangat berbeda.
Dia memiringkan kepalanya. Pandangannya tertuju pada deretan pakaian renang anak-anak yang tergantung di dalam loker—warnanya pudar, beberapa robek di tepi, dan… basah.
Sesaat Tari memejamkan mata—berharap semua hanya permainan imajinasinya. Ketika dia membuka mata, pemandangan ganjil di depannya tak berubah. Butiran air menetes pelan—menimpa lantai berdebu—dan membentuk noda gelap yang tak seharusnya ada. Udara di ruangan itu kering dan berbau apak, jadi dari mana datangnya air itu?
“Dev…?” panggilnya lirih. Tapi suaranya seolah teredam—seperti diselimuti kain tebal. Dia menelan ludah. “Dev—”
BRAK!
Tari terperanjat. Salah satu pintu loker menutup sendiri dengan keras—membanting udara menjadi gema yang memantul-mantul di dinding. Lalu, dari dalam loker itu, terdengar bunyi denting logam seperti gantungan kawat berayun cepat.
Davin menoleh dengan dahi berkerut. Dentuman pintu loker membuat keduanya saling menatap—mencoba membaca reaksi satu sama lain.
Davin melangkah mendekat. Tak ada ekspresi takut—atau gugup—pada wajahnya. Dia menarik pegangan loker itu—dan membukanya dengan lebar.
Kosong.
Hanya ada semburan bau kaporit menyengat yang muncul begitu saja—menusuk hidung mereka.
Tari berdiri membeku. Wajahnya memucat seperti tak dialiri darah. Matanya membesar menatap Davin. Ada ketakutan membayang dalam tatapannya.
Davin mencoba memasang wajah santai. “Ah, mungkin cuma angin,” ujarnya—walaupun dalam hati dia tahu bahwa itu alasan yang kosong.
Belum sempat dia menutup pintu loker, dari ujung ruangan terdengar suara klik dari loker di sudut… seperti kunci yang diputar dari dalam loker.
Tari menengok ke arah datangnya suara itu. Seperti tanpa sadar dia mundur setengah langkah.
“Bukan angin, Dev,” bisiknya dengan suara bergetar. “Kita… nggak sendiri di sini.”
Baru sekarang eskpresi Davin berubah. Dia merasa bulu kuduknya begitu saja berdiri.
Oh, shit!
Davin melirik ke arah pintu keluar. Sunyi. Kesenyapan yang terasa begitu janggal. Tidak ada teriakan Rayan, atau suara Sasha, atau suara Naya dan Elisa. Tak terdengar suara apa pun di luar. Seolah semua orang tiba-tiba menghilang.
Davin cepat-cepat mengeluarkan EMF detector dari ranselnya seperti digerakkan oleh suatu dorongan aneh.
Tari bergegas mendekat. Detak jantungnya berdegup cepat. Matanya terpaku pada lonjakan grafik di layar. Lampu indikatornya berkedip cepat. Grafiknya naik-turun tak menentu. Terlihat jelas medan elektromagnetik di sekitar mereka berubah secara signifikan. Seperti sebelumnya, keganjilan yang dirasakan Tari sejalan dengan anomali yang ditunjukkan oleh EMF detector.
Tari menatap Davin dengan nanar. “Aku jarang merasa takut. Tapi tempat ini… bikin aku merinding.”
Davin tersenyum tipis. Matanya tak lepas dari layar EMF detector.
“Apa gue musti bilang “welcome to the club”?” ujarnya masih berusaha dengan nada santai. Tapi jemarinya mencengkeram EMF detector lebih erat dari biasanya.
“Kita keluar,” bisik Tari dengan nada mendesak. Napasnya terdengar lebih cepat.
“Ya,” sahut Davin singkat.
Namun ketika mereka melangkah, langkah kaki mereka terasa berat. Udara di ruang loker seperti menarik mereka untuk tetap di sana. Dada mereka terasa sesak. Setiap tarikan napas seperti harus melawan sesuatu yang tak kasatmata.
Davin dan Tari saling bertukar pandang. Grafik di EMF detector merosot sedikit, tapi tetap ada… konstan… seolah sesuatu mengikuti mereka—menjaga jarak tepat di belakang.
Tari mencengkeram lengan Davin dengan erat.
Ya Tuhan, tempat apa ini?