Bayinya tak selamat, suaminya berkhianat, dan ia bahkan diusir serta dikirim ke rumah sakit jiwa oleh Ibu mertuanya.
Namun, takdir membawa Sahira ke jalan yang tak terduga. Ia menjadi ibu susu untuk bayi seorang Mafia berhati dingin. Di sana, ia bertemu Zandereo, bos Mafia beristri, yang mulai tertarik kepadanya.
Di tengah dendam yang membara, mampukah Sahira bangkit dan membalas rasa sakitnya? Atau akankah ia terjebak dalam pesona pria yang seharusnya tak ia cintai?
Ikuti kisahnya...
update tiap hari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7 #Berbahaya
Tok Tok Tok
Mendengar seseorang mengetuk pintu rumah, Rani yang kebetulan keluar dari kamar segera membukakan pintu untuknya.
“Pak Rames?” Rupanya yang datang adalah mantan atasannya dengan jas putih yang rapi dan tampan. Rames sengaja berpenampilan begitu agar Sahira terpikat padanya lagi. Tak lupa sebuah buket bunga merah untuk Sahira.
“Rani, aku ingin bertemu dengan Sahira. Apa kau bisa memanggilnya keluar sebentar?” Dua hari sudah berlalu, hari ini Rames ingin melihat keadaan Sahira dan bayinya, sekaligus ingin memberi popok bayi dan susu untuk Sahira.
Rani ragu, tapi ia harus mengatakannya. “Mba Sahira sudah tidak ada di sini, Pak.”
“Apa maksudmu?” Popok di tangan kiri Rames seketika terlepas. Ia syok mendengarnya.
“Dua hari yang lalu, Mbak Sahira sudah pergi membawa bayinya, Pak.”
“Kemana dia pergi?” tanya Rames cepat.
“Saya tidak tahu, tapi katanya, Mbak Sahira mulai bekerja. Mungkin sekarang Mbak Sahira tinggal di tempat kerjanya,” jelas Rani.
Tanpa berpikir panjang lagi, Rames beranjak dari tempatnya berdiri. Ia menuju ke arah ojek di sana kemudian menyuruh pengojek itu pergi ke rumah sakit.
“Ram… mana Sahira? Kenapa hanya kau saja yang masuk?” tanya Marisa, Ibu Rames yang terbaring sakit di sana. Arah matanya melirik buket bunga yang masih dalam genggaman putranya.
“Maaf, Bu. Sahira sudah pergi dari rumah Rani. Sepertinya Sahira tidak mau lagi bertemu lagi dengan kita,” jawab Rames tertunduk sedih.
Marisa beranjak duduk, “Jangan menyerah, Rames. Kau harus bawa Sahira kembali. Ibu… Ibu mau minta maaf, Ibu juga merindukan cucu Ibu,” mohon Marisa. Ia akhirnya sadar dan menyesal telah mendzolimi Sahira dan bayinya. Karena kekejamannya, ia mendapat karma sampai di vonis kanker otak.
“Sekarang kita pulang,” lanjut Marisa hendak turun dan melepaskan infusnya.
“Jangan, Bu. Ibu masih butuh perawatan,” larang Rames.
“Tidak, jika Ibu tetap di sini, yang ada Ibu bisa cepat mati sebelum ketemu Sahira sama cucu Ibu. Ibu harus pergi mencari mereka.”
“Tenanglah, Bu. Jangan memaksakan diri,” mohon Rames menahan Ibunya.
“Rames, Ibu akan baik-baik saja, toh penyakit Ibu belum parah, Ibu yakin pasti bisa sembuh setelah minta maaf pada Sahira. Sekarang ayo kita pulang, jangan buang uangmu di sini lagi. Uangmu lebih berguna dipakai mencari Sahira dan bayinya daripada biaya perawatan Ibu.”
Rames terdiam dengan jemari mengepal. Ia tampak murung karena memikirkan bisnisnya yang telah bangkrut dan sekarang mereka tak punya tabungan lagi. Rames sadar, dampak bercerai dengan Sahira membuat hidupnya menderita. Sebaliknya, saat ia masih bersama Sahira, tak pernah ada masalah yang datang kepadanya. Perusahaannya bisa sukses berkat Sahira. Karena itu, Rames membutuhkannya agar bisa memulai kehidupan baru yang lebih baik bersama mantan istrinya itu.
Apa boleh buat, Rames membawa Marisa pergi, menuju ke sebuah rumah kontrakan.
Di waktu yang bersamaan, semua anggota keluarga Raymond berkumpul di meja makan. Semua menikmati makanan dengan hikmat, kecuali Balchia yang tak menyentuh piringnya.
“Cari siapa, Cia?” tanya Raymond dengan lembut pada istri cucu kesayangannya itu.
“Kakek, dari tadi aku cuma lihat pembantu, ke mana pengasuh anakku?” tanya Balchia lalu melirik ke arah Zander yang hanya diam dan belum menyapanya pagi ini.
“Oh, barusan sebelum Mama masuk ke sini, Mama suruh dia kasih makan bayimu.” Mauren menjawab, setelah itu bertanya, “Memangnya kenapa kau cari dia?”
“Aku belum pernah melihatnya sih, Ma,” jawab Balchia mengulas senyum manisnya yang palsu.
“Ya sudah, nanti habis sarapan, kau ikut Mama ke kamar beby Zee. Nanti Mama kenalkan kau dengan dia,” balas Mauren tersenyum.
“Hari ini kau tidak ada pemotretan kan, Chia?” tanya Raymond sebelum selesai sarapan.
“Tidak ada, Kek. Memangnya kenapa?” tanya Balchia menatap Raymond.
Raymond beralih menatap Zander. “Zan, hari ini kau harus pergi temani Istrimu konsultasi ke Dokter.”
“Kenapa?” tanya Zander singkat, datar dan malas.
“Kakek kemarin sudah panggil Dokter dari luar negeri yang bisa membantu melancarkan ASI istrimu. Kakek tidak mau anakmu diurus terus sama wanita lain. Kakek khawatir ASInya bikin cucu Kakek jadi bodoh. Siapa tahu ASInya itu mengandung zat berbahaya,” tutur Raymond.
“Ayah, jangan menjelekkan Sahira seperti itu. ASInya sehat kok. Cocok sama beby Zee. Ayah nggak boleh bersangka buruk dulu,” tegur Mauren tak suka Sahira dihina.
“Mauren benar, kita tidak boleh menuduhnya yang tidak-tidak. Jika bukan karena dia, bayinya masih kelaparan sekarang,” ucap Daren membela Sahira juga.
Raymond mencebik, tak seperti Zander yang tersenyum tipis. Ia tak perlu membela Sahira sebab Daren dan Mauren percaya kepadanya.
“Ma, Papa pergi dulu, Mama jaga baik-baik mereka,” ucap Daren sudah bersiap berangkat ke luar negeri.
“Hm, Papa hati-hati.” Lalu, Mauren mencium tangan suaminya sebelum mengantarnya ke depan rumah.
“Sahira? Nama ini kenapa terasa familiar ya?” Pikir Balchia.
“Zander, tunggu! Mau kemana kau?” tanya Raymond melihat Zander berdiri.
“Kerja.”
“Tidak, Zander. Kau tidak boleh pergi bekeja. Kau harus bawa Chia ke Dokternya sekarang!” larang Raymond berdiri.
“Ck,” Zander mendecak lidah. “Dia bisa jalan sendiri, tidak lumpuh, jadi suruh saja dia pergi sendiri ke sana,” lanjutnya menolak.
“Zander!!” bentak Raymond kesal melihat Zander mengabaikan perintahnya dan malah pergi bersama Hansel.
“Kakek, tidak apa-apa, Chia bisa kok suruh supir bawa Chia ke sana nanti atau besok.”
Raymond membuang napas panjang, lalu meninggalkan kursinya dan Balchia yang diam menggerutu di sana.
“Cih, dasar Zander gila kerja!” umpatnya menghentakkan kaki. Ia kemudian diam ketika Mauren datang mengajaknya melihat Sahira.
Sepanjang jalan menuju kamar beby Zee, Mauren begitu antusias membicarakan Sahira. Memuji Sahira yang mampu menenangkan beby Zee hanya dalam hitungan detik.
Selama Ibu mertuanya bercerita, Balchia hanya memutar bola mata. Ia muak mendengarnya.
Namun, begitu mereka masuk ke kamar beby Zee, wanita blonde berpenampilan anggun itu seketika ternganga melihat Sahira.
“Dia... kenapa bisa ada di sini?!” batin Balchia heran. Wanita yang ingin ia bunuh, ternyata berada di rumah suaminya.
“Sahira, dia Ibunya beby Zee, menantu saya. Tolong ajarkan Balchia merawat bayi, ya,” ucap Mauren.
Sahira mengangguk, lalu mengulurkan tangan pada Balchia sebagai tanda persetujuan, tetapi mendadak Mauren terlonjak setelah tamparan keras dari Balchia melayang ke pipi Sahira. Hal itu membuat dua bayi di tempat tidur serentak menangis. Sahira juga tak menduga ditampar tiba-tiba.
“Cia, kenapa kau memukulnya, Nak?” Mauren segera menarik Sahira menjauh dari Balchia yang terbakar amarah.
“Ma, usir wanita ini sekarang juga! Dia bukan wanita baik-baik. Dia pasien rumah sakit jiwa yang kabur!”
“APA?!”
Sahira menunduk, segera mengambil bayi girlnya. Ia juga ingin mengambil beby Zee tapi Balchia merebutnya dengan cepat.
“Jangan sentuh bayiku lagi, wanita gila!” cecar Balchia, membuat Sahira mengepal tangan, mencoba menahan perasaannya yang bergejolak dalam hatinya. Jelas, ia sakit hati disebut wanita gila. Mau di rumah Rames, atau di rumah Raymond, pasti ada seseorang yang menghinanya~gila.
“Aneh, bagaimana dia tahu aku pernah ada di sana?” pikir Sahira.
percays sama jalang, yg akhir hiduo ny tragis, itu karma. ngejahati sahira, tapi di jahati teman sendiri. 😀😀😀